Keimanan
merupakan sesuatu yang esensial dalam setiap agama. Sedangkan dalam Islam
sendiri, keimanan tersebut termanifestasi dalam ajaran tauhid. Di satu sisi,
tauhid berarti penghambaan kepada Yang Esa. Dan di sisi lain ia berarti
penolakan eksistensi selain Yang Esa. Doktrin tersebut berujung pada persamaan,
keadilan, dan kesatuan bagi seluruh manusia.[1]
Membahas
tentang persamaan, dan keadilan memang tiada habisnya. Apalagi di tengah
kondisi kemanusiaan yang terancam, atau penindasan dan penghisapan manusia atas
manusia. Tentu hal ini menjadi isu yang serius. Maka tidak mengherankan mengapa
wacana mengenai Teologi Pembebasan kemudian menjadi salah satu alternative
dalam menyikapi permasalahan tersebut.
Isu yang satu
ini memang syarat dengan ideologi. Upaya pembelaan terhadap kaum yang tertindas
menjadi dasar mengapa isu tersebut dimunculkan. Teologi perlawanan atau yang
identik dengan “teologi kiri”. Pada dasarnya ilmu tidaklah netral karena syarat
dengan keberpihakan terhadap sesuatu. Begitu juga dengan isu- mengenai teologi
pembebasan. Berdasarkan kenyataan sejarah bahwa Muhammad s.a.w. adalah seorang
pembebas dan berpihak kepada yang lemah, maka sangat relevan untuk mengangkat
isu teologi pembebasan di tengah kekuasaan yang tiranik.
Teologi
bukanlah hal yang muncul pada saat masa nabi Awal perkembangannya dimulai saat
akhir kekalifahan shabat empat, dimana usman bin affan mengangkat sebahagian
besar pengawainya dari kaumnya sendiri. Ini melahirkan akumalisi hak milik
hanya pada sebagian pegawai usman saja, tanah banyak dimiliki oleh
kaumnya. Saat terjadinya penaklukan yang sangat luas begitu banyak mendatangkan
kekayaan di Madinah, sehingga mendesak usman untuk memberi tempat kepada orang
kaya baru. Dengan terbentuknya kelas baru dalam masyarakat madinah ketegangan
semakin memuncak antara sikaya dengan si miskin.[2]
Ini
melahirkan konflik berdarah yang berkepanjangan hingga terbunuhnya Usman dan
digantikan oleh Ali, perkembangan aliran teologi semakin kentara, dengan
munculnya kelompok syi’ah yang memboikotnya yang idkenal dengan kaum khawarij.
Pada saat pemerintahan dipegang oleh Muawwiyah, kelompok ini dan kelompok
zindiyah yang pendiri adalah bermazhab mu’tazilah, yaitu washil bin Atha’
menentang begitu keras kebijakan pemerintahan Muawiyah yang terus mengumpulkan
milik pribadi.[3]
Muhmmad s.a.w. membangun masyarakat dengan konsep tauhid, yaitu
menciptakan keadilan dan kebajikan. Nabi Muhammad memang sangat peduli dengan
kaum tertindas yang berada dalam suatu system yang kapitalistik.[4]
Nabi Muhammad ialah orang yang sederhana, berasal dari golongaQuraisy namun
tidak tergolong mewah. Dengan kesederhanaannya itulah Muhammad berangkat menuju
pembebasan umat dari penindasan. Ia adalah bagian dari warga bangsa, sehingga
tidak elitis dan ekslusif.[5]
Sebagai
sebuah gerakan modern, teologi pembebasan pada mulanya berkembang dan menjadi
fenomena di negara-negara Amerika Latin. Gerakan tesebut mendapat perhatian
besar tidak hanya di Vatikan namun juga di Pentagon. Gerakan teologi pembebasan
ini melibatkan sector-sektor penting gereja seperti para pengamal
tarekat-tarekat, ordo-ordo keagamaan, Pemuda Perguruan Tinggi Katolik dan
Pemuda Buruh Kristen.[6]
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa teologi pembebasan muncul dan
berkembang di Gereja Amerika Latin pada tahap sejarah tertentu, yakni pada awal
1960-an?
Dalam
menjelaskan persoalan tersebut, seorang analis fungsionalis, Thomas C. Bruneau,
mengatakan bahwa yang menjadi penyebab munculnya teologi pembebasan adalah
karena Gereja Amerika Latin pada saat itu hendak memperkuat pengaruhnya karena
merasa “terancam” oleh pesaing agama lain serta gerakan-gerakan sayap kiri.
Sadar akan ancaman tersebut, kemudian para pemimpin Gereja merasa perlu untuk
merebut simpati rakyat atau lapisan menengah ke bawah. Apa yang menjadi tonggak
pancang pertamanya, pada analisis terakhir adalah kepentingan-kepentingan
kelembagaan Gereja itu sendiri.
Tesis tersebut dianggap lemah oleh Micheal
Lowy. Ia menepis argumen Thomas C. Bruneau bahwa ujung dari gerakan tersebut
ialah memperkuat elitisme Gereja. Micheal Lowly justru mengatakan bahwa gerakan
Teologi Pembebasan justru muncul dari para petugas awam Gereja,
kelompok-kelompok kerukunan tetangga, kalangan mahasiswa muda, serta
serikat-serikat buruh perkotaan maupun pedesaan. Dengan alasan inilah Micheal Lowy mengatakan
bahwa yang gerakan Teologi Pembebasan tidak bermuara pada elitisme Gereja
sebagaimana yang dikemukakan oleh analis fungsionalis. Artinya bahwa proses
radikalisasi gereja lebih “membumi” karena dibentuk berdasarkan kehendak
lapisan masyarakat bawah.
Selain
kelompok-kelompok yang disebutkan tadi, masih banyak kelompok lain seperti;
Pemuda Perguruan Tinggi Katolik Gerakan-gerakan Katolik awam, Pemuda Buruh
Katolik, Aksi Katolik, gerakan-gerakan pendidikan masyarakat akar-rumput
(Brazilia), federasi Petani Kristen di El Savador, dan kelompok-kelompok
masyarakat basis. Menurut Micheal Lowy, justru kelompok-kelompok tersebut
terlibat secara aktif dalam prosess radikalisasi Gereja Katolik.[7]
Teologi ini
(pembebasan) tidak menghendaki status quo
yang melindungi orang kaya berhadapan dengan golongan miskin. Dengan
demikian teologi ini bersifat anti kemapanan. Teologi pembebasan memainkan
peranannya dalam membela kaum tertindas dan membekali mereka dengan senjata
ideologis.[8]
Secara normatif, pembebasan manusia dari kemiskinan, kebodohan, ancaman
ketrtindasan, serta perlakuan tidak adil adalah merupakan pokok pewahyuan
ajaran Islam. Tanpa melihat latar belakang manusia tersebut, Islam
berkepentingan untuk membebaskan mereka dari penderitaan hidup.[9]
Dalam
pandangan Asghar Ali Enginer, agama harus berdiri sepihak dengan revolusi,
perubahan dan kemajuan. Dengan kata lain “haram’ hukumnya menempatkan agama
sebagai pelindung status quo yang
melakukan penindasan. Agama yang bercorak metafisik mesti disingkirkan karena
akan menghipnotis masyarakat.[10]
Bagi Ali Syari’ati, Islam sebagai suatu madzhab sosiologi ilmiah harus difungsikan
sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat tertindas, baik secara
structural maupub politik. Perubahan tidak didasarkan pada sesuatu yang
kebetulan. Masyarakat mempunyai organisme dan norma. Manusia mempunyai
kebebasan untuk bertindak sehingga camputangannya dibutuhkan untuk mencapai
perubahan.[11]
Kalau agama
adalah sebuah proses, dan penurunannya pun tidak secara tiba-tiba, maka
berbicara wahyu berarti berbicara sejarah. Di dalam sejarah itu ada
pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang kompleks. Agama hadir dalam keadaan di
mana manusia membutuhkan kehadirannya. Artinya bahwa berbicara Islam berarti
bericara kemanusiaan, pun demikia halnya dengan pembahasan mengenai teologi
pembebasan.
Dalam
pandangan Asghar Ali Enginer, teologi pembebasan harus mendorong sikap kritis
terhadap sesuatu yang telah mapan, sekaligus berusaha melihat
kemungkinan-kemungkinan diciptakannya sesuatu yang baru. Teologi yang
berkembang selam abad pertengahan tidak mampu melayani kebutuhan masyarkat yang
sangat kompleks. Teologi hanya bermanfaat manakala ia mampu mengambil tempat
dalam sejarah dalam kehidupan yang nyata.[12]
Menurtu
Muhammad Syahrur, Islam sejak diutusnya Nabi Muhammad sebagai rasul hingga kini
tidak mengalami krisis peribadatan. Jama’ah haji tidak pernah surut, jumlah
masjid kian bertambah, orang yang menjalankan puasa juga banyak. Tetapi tidak
demikian dengan kehidupan umat Islam yang banyak dipengaruhi oleh situasi
tirani. Baik itu yang termanifestasi dalam fenomena menyerahkan diri kepada
Barat dengan konsep inferior, tirani berupa monopoli pemikiran maupun tirani
social yang menempatkan satu golongan lebih tinggi dari pada golongan lain.[13]
Teologi
pembebasan mengambil beberapa hal positif dari teologi-teologi sebelumnya
sekaligus melebihi batasan-batasan dari paradigma sebelumnya. Adapun kelebihan
dari teologi ini adalah; memprioritaskan hal-hal yang praksis dari pada yang
teoritis, mengambil tempat di tengah kaum yang tertindas, sebagai alat
perjuangan dalam wilayah social dan politik, dan melakukan pembebasan melalui
teologi sekaligus berlaku bagi semua manusia.[14]
Dalam
teologi pembebasan, tidak ada ruangan untuk hermeneutika, hal ini disebabkan
karena penempatan yang mutlak terhadap realitas. Tidak ada “kata’ ambigu dalam
realitas. Bahwa kemiskinan, keterbelakangan, maupun penindasan adalah hal yang
kasat mata. Penangguhan hermeneutika disebabkan oleh tuntutan untuk merubah
status quo, hal itu hanya dimungkinkan apabila ada pengakuan subjek akan
kenyataan kemiskinan, penindasan maupun keterbelakangan itu sendiri. Sementara
itu, agama-agama dan teologi-teologi adalah alat sederhana untuk perbaikan umat
manusia, sehingga teologi pembebasan tidak memiliki kepentingan atas
agama-agama, tetapi hanya memiliki kepentingan atas manusia.. Apapun masalahnya
orthopraksis lebih baik dari pada orthidoksi.
[2] Dudung
Abdurrahman (dkk.), Sejarah Perdaban
Islam dari Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hlm. 55.
[3] W.
Montgomery Watt, Studi Islam Klasik;
Wacana Kritik Sejarah, terj. Sukoyo (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm.
9.
[4] Munir
Che Anam, Muhammad & Karl Marx;
Tentang Masyarakat Tanpa Kelas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.
241.
[5]
Maslahul Falah, Islam ala Soekarno; Jejak
Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia (Yogyakarta: Keasi Wacana, 2003),
hlm. 62.
[7]
Micheal Lowy, Teologi Pembebasan,
terj. Roem Topatimaang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 42.
[8] Asghar
Ali Enginer, Islam dan Teologi
Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 2.
[9] Abdul
Munir Mulkan, Teologi Kiri; Landasan
Gerakan Membela Kum Mustadl’afin, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm.
1.
[13]
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi;
Ideologi Pemikiran dan Gerakan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm, 167.