Jumat, 23 Januari 2015

ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN

       Keimanan merupakan sesuatu yang esensial dalam setiap agama. Sedangkan dalam Islam sendiri, keimanan tersebut termanifestasi dalam ajaran tauhid. Di satu sisi, tauhid berarti penghambaan kepada Yang Esa. Dan di sisi lain ia berarti penolakan eksistensi selain Yang Esa. Doktrin tersebut berujung pada persamaan, keadilan, dan kesatuan bagi seluruh manusia.[1]
       Membahas tentang persamaan, dan keadilan memang tiada habisnya. Apalagi di tengah kondisi kemanusiaan yang terancam, atau penindasan dan penghisapan manusia atas manusia. Tentu hal ini menjadi isu yang serius. Maka tidak mengherankan mengapa wacana mengenai Teologi Pembebasan kemudian menjadi salah satu alternative dalam menyikapi permasalahan tersebut.
      Isu yang satu ini memang syarat dengan ideologi. Upaya pembelaan terhadap kaum yang tertindas menjadi dasar mengapa isu tersebut dimunculkan. Teologi perlawanan atau yang identik dengan “teologi kiri”. Pada dasarnya ilmu tidaklah netral karena syarat dengan keberpihakan terhadap sesuatu. Begitu juga dengan isu- mengenai teologi pembebasan. Berdasarkan kenyataan sejarah bahwa Muhammad s.a.w. adalah seorang pembebas dan berpihak kepada yang lemah, maka sangat relevan untuk mengangkat isu teologi pembebasan di tengah kekuasaan yang tiranik.
       Teologi bukanlah hal yang muncul pada saat masa nabi Awal perkembangannya dimulai saat akhir kekalifahan shabat empat, dimana usman bin affan mengangkat sebahagian besar pengawainya dari kaumnya sendiri. Ini melahirkan akumalisi hak milik hanya pada sebagian pegawai usman saja, tanah banyak dimiliki  oleh kaumnya. Saat terjadinya penaklukan yang sangat luas begitu banyak mendatangkan kekayaan di Madinah, sehingga mendesak usman untuk memberi tempat kepada orang kaya baru. Dengan terbentuknya kelas baru dalam masyarakat madinah ketegangan semakin memuncak antara sikaya dengan si miskin.[2]
       Ini melahirkan konflik berdarah yang berkepanjangan hingga terbunuhnya Usman dan digantikan oleh Ali, perkembangan aliran teologi semakin kentara, dengan munculnya kelompok syi’ah yang memboikotnya yang idkenal dengan kaum khawarij. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Muawwiyah, kelompok ini dan kelompok zindiyah yang pendiri adalah bermazhab mu’tazilah, yaitu washil bin Atha’ menentang begitu keras kebijakan pemerintahan Muawiyah yang terus mengumpulkan milik pribadi.[3]
       Muhmmad s.a.w. membangun masyarakat dengan konsep tauhid, yaitu menciptakan keadilan dan kebajikan. Nabi Muhammad memang sangat peduli dengan kaum tertindas yang berada dalam suatu system yang kapitalistik.[4] Nabi Muhammad ialah orang yang sederhana, berasal dari golongaQuraisy namun tidak tergolong mewah. Dengan kesederhanaannya itulah Muhammad berangkat menuju pembebasan umat dari penindasan. Ia adalah bagian dari warga bangsa, sehingga tidak elitis dan ekslusif.[5]
       Sebagai sebuah gerakan modern, teologi pembebasan pada mulanya berkembang dan menjadi fenomena di negara-negara Amerika Latin. Gerakan tesebut mendapat perhatian besar tidak hanya di Vatikan namun juga di Pentagon. Gerakan teologi pembebasan ini melibatkan sector-sektor penting gereja seperti para pengamal tarekat-tarekat, ordo-ordo keagamaan, Pemuda Perguruan Tinggi Katolik dan Pemuda Buruh Kristen.[6] Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa teologi pembebasan muncul dan berkembang di Gereja Amerika Latin pada tahap sejarah tertentu, yakni pada awal 1960-an?
       Dalam menjelaskan persoalan tersebut, seorang analis fungsionalis, Thomas C. Bruneau, mengatakan bahwa yang menjadi penyebab munculnya teologi pembebasan adalah karena Gereja Amerika Latin pada saat itu hendak memperkuat pengaruhnya karena merasa “terancam” oleh pesaing agama lain serta gerakan-gerakan sayap kiri. Sadar akan ancaman tersebut, kemudian para pemimpin Gereja merasa perlu untuk merebut simpati rakyat atau lapisan menengah ke bawah. Apa yang menjadi tonggak pancang pertamanya, pada analisis terakhir adalah kepentingan-kepentingan kelembagaan Gereja itu sendiri.
       Tesis tersebut dianggap lemah oleh Micheal Lowy. Ia menepis argumen Thomas C. Bruneau bahwa ujung dari gerakan tersebut ialah memperkuat elitisme Gereja. Micheal Lowly justru mengatakan bahwa gerakan Teologi Pembebasan justru muncul dari para petugas awam Gereja, kelompok-kelompok kerukunan tetangga, kalangan mahasiswa muda, serta serikat-serikat buruh perkotaan maupun pedesaan.  Dengan alasan inilah Micheal Lowy mengatakan bahwa yang gerakan Teologi Pembebasan tidak bermuara pada elitisme Gereja sebagaimana yang dikemukakan oleh analis fungsionalis. Artinya bahwa proses radikalisasi gereja lebih “membumi” karena dibentuk berdasarkan kehendak lapisan masyarakat bawah.
       Selain kelompok-kelompok yang disebutkan tadi, masih banyak kelompok lain seperti; Pemuda Perguruan Tinggi Katolik Gerakan-gerakan Katolik awam, Pemuda Buruh Katolik, Aksi Katolik, gerakan-gerakan pendidikan masyarakat akar-rumput (Brazilia), federasi Petani Kristen di El Savador, dan kelompok-kelompok masyarakat basis. Menurut Micheal Lowy, justru kelompok-kelompok tersebut terlibat secara aktif dalam prosess radikalisasi Gereja Katolik.[7]
       Teologi ini (pembebasan) tidak menghendaki status quo yang melindungi orang kaya berhadapan dengan golongan miskin. Dengan demikian teologi ini bersifat anti kemapanan. Teologi pembebasan memainkan peranannya dalam membela kaum tertindas dan membekali mereka dengan senjata ideologis.[8] Secara normatif, pembebasan manusia dari kemiskinan, kebodohan, ancaman ketrtindasan, serta perlakuan tidak adil adalah merupakan pokok pewahyuan ajaran Islam. Tanpa melihat latar belakang manusia tersebut, Islam berkepentingan untuk membebaskan mereka dari penderitaan hidup.[9]
       Dalam pandangan Asghar Ali Enginer, agama harus berdiri sepihak dengan revolusi, perubahan dan kemajuan. Dengan kata lain “haram’ hukumnya menempatkan agama sebagai pelindung status quo yang melakukan penindasan. Agama yang bercorak metafisik mesti disingkirkan karena akan menghipnotis masyarakat.[10] Bagi Ali Syari’ati, Islam sebagai suatu madzhab sosiologi ilmiah harus difungsikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat tertindas, baik secara structural maupub politik. Perubahan tidak didasarkan pada sesuatu yang kebetulan. Masyarakat mempunyai organisme dan norma. Manusia mempunyai kebebasan untuk bertindak sehingga camputangannya dibutuhkan untuk mencapai perubahan.[11]
        Kalau agama adalah sebuah proses, dan penurunannya pun tidak secara tiba-tiba, maka berbicara wahyu berarti berbicara sejarah. Di dalam sejarah itu ada pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang kompleks. Agama hadir dalam keadaan di mana manusia membutuhkan kehadirannya. Artinya bahwa berbicara Islam berarti bericara kemanusiaan, pun demikia halnya dengan pembahasan mengenai teologi pembebasan.
       Dalam pandangan Asghar Ali Enginer, teologi pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang telah mapan, sekaligus berusaha melihat kemungkinan-kemungkinan diciptakannya sesuatu yang baru. Teologi yang berkembang selam abad pertengahan tidak mampu melayani kebutuhan masyarkat yang sangat kompleks. Teologi hanya bermanfaat manakala ia mampu mengambil tempat dalam sejarah dalam kehidupan yang nyata.[12]
       Menurtu Muhammad Syahrur, Islam sejak diutusnya Nabi Muhammad sebagai rasul hingga kini tidak mengalami krisis peribadatan. Jama’ah haji tidak pernah surut, jumlah masjid kian bertambah, orang yang menjalankan puasa juga banyak. Tetapi tidak demikian dengan kehidupan umat Islam yang banyak dipengaruhi oleh situasi tirani. Baik itu yang termanifestasi dalam fenomena menyerahkan diri kepada Barat dengan konsep inferior, tirani berupa monopoli pemikiran maupun tirani social yang menempatkan satu golongan lebih tinggi dari pada golongan lain.[13]
       Teologi pembebasan mengambil beberapa hal positif dari teologi-teologi sebelumnya sekaligus melebihi batasan-batasan dari paradigma sebelumnya. Adapun kelebihan dari teologi ini adalah; memprioritaskan hal-hal yang praksis dari pada yang teoritis, mengambil tempat di tengah kaum yang tertindas, sebagai alat perjuangan dalam wilayah social dan politik, dan melakukan pembebasan melalui teologi sekaligus berlaku bagi semua manusia.[14]
       Dalam teologi pembebasan, tidak ada ruangan untuk hermeneutika, hal ini disebabkan karena penempatan yang mutlak terhadap realitas. Tidak ada “kata’ ambigu dalam realitas. Bahwa kemiskinan, keterbelakangan, maupun penindasan adalah hal yang kasat mata. Penangguhan hermeneutika disebabkan oleh tuntutan untuk merubah status quo, hal itu hanya dimungkinkan apabila ada pengakuan subjek akan kenyataan kemiskinan, penindasan maupun keterbelakangan itu sendiri. Sementara itu, agama-agama dan teologi-teologi adalah alat sederhana untuk perbaikan umat manusia, sehingga teologi pembebasan tidak memiliki kepentingan atas agama-agama, tetapi hanya memiliki kepentingan atas manusia.. Apapun masalahnya orthopraksis lebih baik dari pada orthidoksi.



       [1] Vhumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 51.
       [2] Dudung Abdurrahman (dkk.), Sejarah Perdaban Islam dari Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hlm. 55.

       [3] W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, terj. Sukoyo (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 9.

       [4] Munir Che Anam, Muhammad & Karl Marx; Tentang Masyarakat Tanpa Kelas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 241.

       [5] Maslahul Falah, Islam ala Soekarno; Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia (Yogyakarta: Keasi Wacana, 2003), hlm. 62.

       [6] Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan hanafi; Menggugat Kemapanan Agama dan Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 12.
       [7] Micheal Lowy, Teologi Pembebasan, terj. Roem Topatimaang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 42.

       [8] Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 2.

       [9] Abdul Munir Mulkan, Teologi Kiri; Landasan Gerakan Membela Kum Mustadl’afin, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 1.

       [10]  Listiyono santoso (dkk.), Epistemologi Kiri  (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), hlm. 303.

       [11] Eko Supriyandi, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syari’ati  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 138.
        [12] Asghar Ali Enginer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus salim & Imam Baihaqy (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 113
      
       [13] Sarbini, Islam di Tepian Revolusi; Ideologi Pemikiran dan Gerakan  (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm, 167.
      
       [14] Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir;Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul Firdaus (Yogyakarta: CV. Arruz Book Gallery, 2003), hlm. 123.