Senin, 14 Oktober 2013

Dirimu Bukanlah Namamu

     

Sahabat...setiap orang memiliki kemampuan untuk merekam apa saja yang didengarkan, dialami, dan dilihat. Semua pengalaman tersebut membekas dan menjadi sesuatu yang dipercaya secara tidak sadar. Lamanya sebuah pengalaman berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan seseorang. 

Misalnya, semakin lama orang merasakan sakit karena menjadi korban kekerasan, maka semakin kuat kepercayaan orang tersebut bahwa kekerasan itu buruk. Sekarang mari kita ingat, hal apakah yang begitu lama kita dengar, kita alami, dan kita lihat dalam hidup kita? jawabannya adalah pemberian nama.

 Nama kita adalah sesuatu yang kita bawa hingga saat ini, berbeda dengan pengalaman-pengalaman lain ketika kita masih bayi yang sudah kita tinggalkan. Karena saking lamanya inilah, diri kita kemudian membenarkan bahwa kita adalah (misalnya) 'A'. Padahal A hanyalah pemberian dari orang tua kita untuk menandai siapa diri kita. 

Tidak hanya itu, perasaan bahwa 'aku adalah A' semakin dipertebal setelah seseorang memiliki banyak link dan pencapaian-pencapaian yang lain, misalnya: siswa di sekolah, pengusaha, pegawai, dan lain-lain. 

Semakin lama semakin banyak kepercayaan tentang diri sendiri yang dasarnya bukanlah diri sendiri. Padahal, semua pencapaian ataupun identitas A tersebut tidak akan sanggup bertahan di tengah luas dan panjangnya kehidupan ini. Anjing saja, tidak akan mengenal majikannya sebagai 'A', siswa ataupun pengusaha, karena anjing hanya tau bahwa sang majikan adalah orang baik yang memeliharanya. 

Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana pandangan makhluk-makhluk lain terhadap kita  yang dahulu pernah bersama kita saat kita belum punya nama, sebelum kita dilahirkan, bahkan sebelum kita dalam kandungan ibu, siapakah kita pada saat itu? dan siapakah kita di masa yang akan datang setelah kita merasa yakin bahwa kita adalah 'A'?

      Ada kata-kata yang merupakan kunci untuk mengenal diri yang misterius itu, yaitu mati sebelum mati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar