Jelas sekali bahwa
kedudukan manusia dihadapan Tuhan ditentukan oleh taqwanya. Taqwa itu berarti
menghindar. Menghidari segala hal yang menyebabkan Tuhan tidak berkenan atas
diri kita. Itulah taqwa. Semakin tinggi kemampuan dan antisipasi seseorang dalam
menghindari kebencian Tuhan kepadanya, maka semakin tinggi pula keduduka orang
tersebut.
Kalau sudah jelas
rumusnya seperti ini, maka jangan ditambahi lagi dengan hal-hal yang tidak
perlu. Maksud saya jangan ada yang membuat criteria kehormatan atau ketinggian
derajat manusia selain taqwa. Tidak boleh mengunggulkan orang tua atas anak
(ini yang sering terjadi di masyarakat), tidak boleh mengunggulkan kyai atas
santri, tidak boleh mengunggulkan guru atas murid. Semua sama, yang membedakan
hanyalah taqwanya.
Orang tua menghormati
anak, dan anak juga menghormati orang tua. Tapi cara orang tua menghormati
anaknya berbeda dengan cara anaknya menghormati orang tuanya. Begitu juga
dengan kyai dan santri.
Jadi, kalau santri
bisa kuwalat kepada kyai, maka kyai juga bisa kualat kepada santri. Sebab kalau
santri dianggap bisa berdosa kepada kyai, sedangkan kyai dianggap tidak bisa
punya dosa kepada santri, itu jelas ajaran yang bertentangan dengan prinsip
taqwa. Itu namanya feodalisme.
Saya mendefinisikan
feodalisme di sini sebagai: pandangan yang menilai ketinggian derajat manusia
tidak berdasarkan taqwanya kepada Tuhan melainkan berdasarkan posisi sosialnya.
Itulah feodalisme yang saya maksud.