Jika Anda searching google tentang filsafa sebagai
induk ilmu, atau membaca buku-buku filsafat, maka Anda akan menemukan banyak
pernyataan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu. Pernytaan tersebut berangkat
dari anggapan bahwa metode filsafati mampu menelaah berbagai persoalan sehingga
lahirlah ilmu-ilmu sejarah, sosiologi, tafsir, dan lain sebagainya.
Misalnya, dalam filsafat dikenal dengan istilah
epistemology yang fungsinya adalah untuk menguji keabsahan sebuah pengetahuan.
Cara kerja epistemology memungkinkan lahirnya ilmu baru, Contoh: sebuah
pernyataan: Tuhan itu ada.
Dengan epistemology, pernyataan “Tuhan itu ada”
akan diuji dengan pertanyaan sebagai berikut: Apa landasan (sumber,
rujukan) pernyataan tersebut? Mengapa Anda percaya dengan pernyataan tersebut?
mengapa Tuhan ada? Apa bedanya keberadaan Tuhan dengan keberadaan alam
dan segala isinya? Dan seterusnya.
Nah, dengan kerja epistemology itulah maka lahirlah
teologi (dari kata theos: yang berarti Tuhan, dan logos: yang berarti ilmu).
Akan tetapi, masih tersisa pertanyaan yang belum
terdeteksi oleh para filosof, yaitu: apa yang menyebabkan manusia mampu
berfilsafat secara sistematis, terus menerus menggali dan mencari kebenaran,
dan bergairah terhadap ilmu? Jawabannya adalah keindahan.
Keindahan tersebut menempati ruang dalam hati
manusia sehingga ia tertarik untuk mencari kebenaran secara terus menerus,
memiliki skeptisisme untuk mempertanyakan apa-apa yang sampai padanya, bahkan
melakukan segala cara untuk mendapatkan kebenaran.
Keindahan membuat manusia merasa nyaman untuk
melakukan sesuatu, bahkan keindahan melahirkan kekuatan.
Jadi, Induk segala ilmu adalah keindahan, bukan filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar