Jumat, 22 November 2013

Filsafat Bukan Induk Segala Ilmu (Sebuah perspektif)



Jika Anda searching google tentang filsafa sebagai induk ilmu, atau membaca buku-buku filsafat, maka Anda akan menemukan banyak pernyataan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu. Pernytaan tersebut berangkat dari anggapan bahwa metode filsafati mampu menelaah berbagai persoalan sehingga lahirlah ilmu-ilmu sejarah, sosiologi, tafsir, dan lain sebagainya.

Misalnya, dalam filsafat dikenal dengan istilah epistemology yang fungsinya adalah untuk menguji keabsahan sebuah pengetahuan. Cara kerja epistemology memungkinkan lahirnya ilmu baru, Contoh: sebuah pernyataan: Tuhan itu ada.

Dengan epistemology, pernyataan “Tuhan itu ada” akan diuji dengan pertanyaan sebagai berikut:  Apa landasan (sumber, rujukan) pernyataan tersebut? Mengapa Anda percaya dengan pernyataan tersebut?  mengapa Tuhan ada? Apa bedanya keberadaan Tuhan dengan keberadaan alam dan segala isinya? Dan seterusnya.

Nah, dengan kerja epistemology itulah maka lahirlah teologi (dari kata theos: yang berarti Tuhan, dan logos: yang berarti ilmu).

Akan tetapi, masih tersisa pertanyaan yang belum terdeteksi oleh para filosof, yaitu: apa yang menyebabkan manusia mampu berfilsafat secara sistematis, terus menerus menggali dan mencari kebenaran, dan bergairah terhadap ilmu? Jawabannya adalah keindahan.

Keindahan tersebut menempati ruang dalam hati manusia sehingga ia tertarik untuk mencari kebenaran secara terus menerus, memiliki skeptisisme untuk mempertanyakan apa-apa yang sampai padanya, bahkan melakukan segala cara untuk mendapatkan kebenaran.

Keindahan membuat manusia merasa nyaman untuk melakukan sesuatu, bahkan keindahan melahirkan kekuatan.

Jadi, Induk segala ilmu adalah keindahan, bukan filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar