Sejauh
yang penulis ketahui, isu seputar HAM berangkat dari persoalan-persoalan social
yang dihadapi manusia, meskipun juga mengandung kepercayaan bahwa manusia pada dasarnya memiliki hak. Akan tetapi, penulis
juga meyakini bahwa manusia terdorong oleh daya yang ia sendiri terkadang
menyadari dan terkadang tidak menyadari. Sehingga, perspektif mengenai Hak
Asasi Manusia perlu disambung dengan Kewajiban Asasi Manusia.[1]
Sifat
dasar manusia salah satunya adalah memiliki kehendak untuk memecahkan teka-teki
dalam kehidupan yang ia alami. Karena besarnya hasrat tersebut maka ia pun
membutuhkan sesuatu yang lebih besar untuk menemukan jawaban tersebut. Dan
keyakinan mengenai Sesuatu Yang Lebih Besar itu terjawab dalam agama-agama yang
secara empiris member manfaat kepada manusia. Jika ada konflik yang
mengatasnamakan agama, maka itu bersifat aksidental dan bukan prinsip dari
agama itu sendiri. Dengan agama lah manusia dapat melatih rasa dalam dirinya
mengenai Kewajiban Asasi Manusia, dorongan untuk berkorban, merasakan kesadaran
bahwa umat manusia itu satu,dan bergabai bentuk lain yang intinya adalah
bangkitnya spirit ketuhanan.
Dalam Undang-Undang No. 39 tahun
1999 mengenai Hak-Hak Asasi manusia dirumuskan: “hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu
harus dilindungi, dihomati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”, dan “Hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[2]
Berangkat dari pengertian tersebutlah penulis
menyimpulkan bahwa definisi itu masih bersambung dan belum final untuk
menggambarkan manusia secara lebih utuh. Karena manusia masih mengandung
misteri yang sejauh ini masih membuat para pemikir pusing dengan kelakuan-kelakuan
dan segala dinamika yang dialaminya. Untuk itu, penulis merasa perlu untuk
menggali sesuatu yang berbeda dari apa yang selama ini menjadi wacana publik
yaitu Hak Asasi Manusia. Tentu saja ini bukan hanya pergantian istilah dari Hak
menjadi Kewajiban, namun yang terpenting barangkali adalah proses secara
seimbang dalam cara berpikir dan memandang dunia.
Dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak-Hak Masyarakat adat pasal penulis melihat bahwa substansi dari deklarasi
tersebut bersifat universal. Intinya adalah kesadaran mengenai kemanusiaan dan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Dalam sidang umum, dijelaskan
”mendorong Negara-Negara untuk tunduk pada dan
melaksanakan secara efektif semua Kewajiban yang berlaku terhadap Masyarakat
Adat sesuai dengan instrumen-instrumen internasional, khususnya yang berkaitan
dengan Hak Asasi Manusia, melalui konsultasi dan bekerja sama dengna masyarakat
adat yang bersangkutan”[3]
Dalam judul makalah ini penulis
mengkhususkan pembahasan pada tinjauan filosofis, karena jika dilihat secara
praksis hampir tidak bisa dibedakan antara orang yang sedang menikmati hak dan
yang sedang menjalani kewajiban. Menarik untuk dicermati penggunaak kata wajib
yang ada dalam deklarasi tersebut kemudian membandingkannya dengan pernyataan Paulus Uskup terkait Konstitusi
Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini.[4]
Dalam bab Harapan dan kegelisan, di paragraph pertama ditegaskan bahwa “Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda
zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil”. Demikian juga denan Asas-Asas
Umum dalam Wilayah Faqih (sebuah system yang digunakan di Iran), dalam pasal
yang ketiga ditegaskan: “Pemerintah
Republik Islam Iran memiliki kewajiban untuk mengarahkan seumber daya ke tujuan
berikut”[5](sasaran
sumber daya tersebut berjumlah 16 ayat yang seluruhnya berkaitan dengan
pembangunan fisik dan non fisik).
Bagi penulis, kemampuan seseorang
dalam mewajibkan diri sendiri itulah yang memiliki nilai tambah dalam kesadaran
posisi manusia. Pandangan manusia mampu menembus batas-batas fisikal yang
melingkupinya sehingga ia bertindak tidak hanya didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan material saja. Karena itulah, pengembangan kesadaran yang
tidak hanya raga namun juga jiwa, harus dibangun. Sebagaimana dalam lagu
Indonesia “bangunlah jiwanya bangunlah raganya”.
Sejauh ini penulis meyakini, semakin
banyak seseorang berpikir tentang kewajiban apa yang ia harus laksanakan, maka
ia akan tergiring untuk hidup secara teratur, baik secara rohani maupun
jasmani. Karena akar dari semua persoalan sebenarnya adalah kurangnya manajemen
internal terhadap hati manusia. Dimensi tersebut selalu terisi oleh angan-angan
yang seringkali menipu diri sendiri. Jika rumusan mengenai untuk apa hidup,
kemana hidup akan berjaln dan hal-hal yang mendasar lainnya, itu saja sudah
salah, maka malapetaka di depan mata. Di sinilah sebenarnya agama-agama
menjawab persoalan tersebut. sikap memasrahkan diri ada dalam semua agama, dan
mendorong manusia untuk berendah hati dan menghargai alam sebagai ciptaan
sehingga tidak mengeksploitasi. Dengan demikian ambisi untuk menguasai lebih
bisa ditekan dengan kesadara tersebut.
Kewajiban
Asasi Manusia
Yang
penulis maksud dengan Kewajiban Asasi Manusia adalah tuntutan terhadap diri sendiri untuk menegakkan kewajiban asasi.
Diri sendiri bisa berarti individu, kelompok, organisasi, lembaga, dan
lain-lain. Ketika kewajiban asasi terlaksana maka hak asasi otomatis tegak.
Secara transcendental, tuntutan terhadap diri sendiri dapat diketahui dengan
menyadari posisi seorang individu secara hakiki. Misalnya memikirkan dari mana
asal-usulnya, siapa diri yang sejati, dan siapa yang sebenarnya memiliki hak
penuh atas dirinya itu. Dengan menyadari ketiga hal tersebut maka manusia akan
menyusun rencana-rencana dalam hidupnya untuk memenuhi kewajibannya secara
transcendental.
Secara
horizontal, Kewajiban Asasi didasarkan pada prinsip yang diyakini secara
transcendental dan kemudian diaplikasikan secara teritorial (posisi seseorang
atau kelompok dalam batas-batas tanggungjawabnya). Kesadaran mengenai Kewajiban Asasi Manusia secara
otomatis membawa seseorang pada penegakkan Hak Asasi Manusia. Karena dengan
menjalankan kewajiban itulah maka hak-hak akan terpenuhi. Baik hak untuk orang
lain atau hak untuk diri sendiri. Di sinilah
Kewajiban Asasi dan Hak Asasi bertemu, karena pada dasarnya salah satu Hak
Asasi Manusia adalah menjalankan kewajibannya.
Sebuah
perumpaan, seorang laki-laki hanya bisa menjalankan kewajiban seorang suami jika ia sudah beristri. Dengan
kata lain, hak untuk menjalankan kewajiban baru ada ketika ia diakui sebagai
suami. Sehingga, Kewajiban Asasinya adalah ekspresi cinta dari sebuah pengakuan
kedua belah pihak. Penting dicatat di sini adalah prinsip saling mengakui satu sama lain. Di situlah manusia
merasakan “surga turun ke bumi”, sehingga tak perlu menunggu mati untuk
merasakan surga, karena rumus dan sifat-sifatnya sudah bisa dideteksi saat ini.
Dengan pengakuan satu sama lain orang akan melupakan jasa yang telah ia berikan
tapi senantiasa mengingat kebaikan orang lain. Cintng dasa sesama yang bukan
lagi didasarkan pada kepentingan egosentrisme sesaat. Dan melakukan kewajiban
menjadi semacam undangan yang dasarnya adalah cinta.[6]
Akibat
ketidaksadaran terhadap Kewajiban Asasi Manusia
Banyak
sekali kasus-kasus di Indonesia ini pelanggaran HAM yang akar permasalahannya
adalah ketidaktahuan mengenai kewajiban apa yang harus dilaksanakan terkait
posisi seseorang. Atau sudah mengetahui akan tetapi bersikap acuh karena tidak
sesuai dengan kepentingannya.
Orang
Indonesia kebanyakan, jika disadarkan mengenai hak-haknya, mereka akan mengukur
dari seberapa nyaman dan cukup kehidupan yang mereka jalani. Sehingga ketika
kebutuhan-kebutuhan hidup dinilai sudah memadai,[7]
berarti Hak Asasi sudah dianggap tercukupi, sehingga daya kritis terhadap
masalah Hak Asasi Manusia yang lebih universal terabaikan. Dan kesadaran
mengenai kemanusiaan menjadi dangkal.
Untuk
kejelasan mengenai bentuk pengabaian Kewajiban Asasi Manusia, penulis mengambil
contoh dari buku Ilusi Negara Islam tentang Klasifikasi kelompok garis keras.[8]
Yaitu:
Individu
garis keras adalah orang yang menganut pemutlakan atau absolutism pemahaman agama; bersikap tidak
toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda;
berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya
sendiri kepada orang lain; memusuhi dan
membenci orang lain Karena berbeda pandangan; mendukng pelarangan oleh pemerintah dan/ atau pihak lain atas keberadaan
pemahaman dan keyakinan agama yang berbeda;
membenarkan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda paham dan keyakinan tersebut; menolak Dasar
Negara Pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa Indonesia; dan/atau menginginkan adanya Dasar Negara Islam,
bentuk Negara Islam, atau pun Khilafah
Islamiyah.[9]
Dari criteria kelompok garis keras tersebut penulis
mengamati beberapa pengabaian Kewajiban Hak Asasi Manusia, diantaranya:
· Dalam
criteria pertama mengenai absolutism, kewajiban asasi yang terlanggar adalah
keharusan untuk mencari kebenaran secara terus menerus. Dan selalu siap dengan
kebenaran baru.
· Criteria
kedua sampai keenam, memiliki pengertian yang sama yang intinya adalah
intoleran. Kewajiban Asasi yang dilanggar adalah keharusan untuk saling
menyelamatkan.
· Untuk
criteria yang ketujuh, penulis lebih melihat pada sikap para pengusung ide-ide
formalis: Khilafah Islamiyah, dan/atau Dasar Negara Islam, sikap para pengusung
ide tersebut adalah sebagaimana disebutkan pada criteria sebelumnya. Dan
ternyata, sikap-sikap seperti itu tidak hanya diamalkan oleh para penganut
formalism Islam melainkan juga oleh para pengaku Pancasila. Sehingga melihat
identitas seseorang di sini menjadi tidak lagi efektif untuk melihat persoalan
sebagaimana mestinya. Karena dengan mudah siapa saja menggunakan slogan
tertentu untuk kepentingan golongan.
Diawal makalah penulis menyebut
agama dalam kaitannya dengan Kewajiban Asasi Manusia. Mengapa demikian? Karena
kewajiban dirasa lebih berat daripada hak. Sedangkan media yang ada dalam
kehidupan manusia lebih banyak dikuasai oleh
didorong oleh rasa kehendak untuk mendapatkan hak. Kecenderungan
tersebut mendorong seseorang tidak rela melihat kemerdekaan orang lain.
Munculnya hegemoni dalam berbagai bidang kehidupan disebabkan oleh dorongan
rasa ini. Agama, yang intinya adalah kembali kepada Tuhan dengan kesucian,
tidak mengajarkan untuk membangun egosentrisme.
Pengabaian Kewajiban Asasi Manusia
mendorong pada pelemparan tanggungjawab kepada yang lain. Sebagaimana yang
menjadi keyakina para kapitalis dalam memandang manusia secara sempit. Manusia
hanya diukur lewat dahaganya akan keuntungan dan lewat kapasitas konsumsinya.a[10]
Untuk persoalan cara berpikir seperti ini-yang mempunyai implikasi luas dalam
kehidupan manusia-pemahaman Hak Asasi Manusia barangkali belum menjangkau,
karena masih pada taraf keyakinan. Dan akan dengan mudah bagi siapa saja untuk
merasa bahwa cara hidup yang konsumtif adalah bagian dari ekspresi Hak Asasi.
Akhir kata, memang sudah saatnya
manusia untuk kembali pada kemurnian yang intinya adalah membawa orang pada
keyakinan akan Allah.[11]Masyarakat
dunia sudah terlalu bosan dengan peperangan ,pertikaian, ketidakadilan,
dominasi, konflik-konflik sectarian, kesenjangan, dan rencana-rencana jahat
untuk menghancurkan manusia. Masyarakat manusia adalah satu, berposisi sebagai
pengemban amanah dari Penciptanya.
Daftar Pustaka
Wahid, Abdurrahman (Peny.)
Ilusi Negara Islam, Jakarta: Wahid
Institute, 2009.
Yamani, antara
al-Farabi dan Imam Khomeini, Bandung: Mizan, 2002.
Zohar, Danah &
Marshall, Ian, Spiritual Capital,
Bandung: Mizan Media Utama, 2005.
[1]
Pernyataan Paulus Uskup di Gereja Santo Petrus 28 Oktober 1065, dalam Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan
Kristiani, dalam paragraph pertama mengesankan penulis bahwa sikap seperti
itulah yang merupakan cermin dari kesadaran mengenai Kewajiban Asasi Manusia.
Sebuah inisiatif yang muncul dari dalam diri dan kesadaran yang bersifat transcendental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar