“Sebelum Cahaya”/SC adalah salah satu lagunya Letto, dan
berfilsafat adalah kegiatan pemikiran yang menyelidiki segala yang ada.
Tema-tema penting dalam filsafat diantaranya adalah metafisika, aksiologi, dan
epistemology. Kali ini saya akan mencoba memfilsafati salah satu being dalam kehidupan, yaitu SC, dengan
menggunakan pendekatan metafisik, aksiologis, dan epistemologis. Berikut ini
adalah lirik lagu Sebelum Cahaya sekaligus ketiga pendekatan tersebut:
Yang bertabur mimpi
Ke mana kau pergi cinta
Perjalanan sunyi
Engkau tempuh sendiri
Kuatkanlah hati cinta
Ingatkan engkau kepada
Embun pagi bersahaja
Yang menemanimu sebelum cahaya
Ingatkan engkau kepada
Angin yang berhembus mesra
Yang kan membelaimu cinta
Kekuatan hati yang berpegang janji
Genggamlah tanganku cinta
Ku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri
Temani hatimu cinta
1.
Tinjauan Metafisik
Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta yang
berarti setelah atau di balik, dan phúsika yang berarti hal-hal di alam.
Melihat sesuatu secara metafisik berarti mengenali sesuatu tersebut
melalui sifat-sifat dan peranannya dalam kehidupan.
Jadi, ketika lirik Sebelum
Cahaya itu ditelaah secara metafisik, itu artinya adalah mengupas makna yang
terbungkus oleh kata-kata yang ada dalam lirik lagu tersebut. Dalam makna
itulah akan terlihat bagaimana sifat-sifat “sesuatu” itu dan peranannya dalam
kehidupan. Selain itu, pendekatan metafisik akan menghadirkan kesadaran
transendental kepada seseorang. Berikut ini adalah lirik sekaligus tinjauan
metafisik terhadap lagu Sebelum Cahaya:
a.
Perjalanan Sunyi
Perjalanan (secara metafisik) adalah perpindahan kedudukan
spiritual seseorang dari satu suasana ke suasana lain. Sedangkan kesunyian
(secara metafisik) adalah kondisi spiritual yang terfokus pada satu hal
sehingga hal-hal yang lain seolah menjadi asing.
Misalnya: seseorang yang
ingin “menutup lubang di hati”, ia akan menyalurkan tenaganya untuk mencari
yang dapat menutupi lubang hati tersebut sehingga persoalan-persoalan lain,
seperti, keramaian kota, hiruk pikuk politik, atau ambisi-ambisi kekuasaan,
tidak menarik dirinya karena semua itu tidak memberi arti. Di situlah kesunyian
dapat dirasakan.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud perjalanan
sunyi adalah kondisi spiritual yang membuat seseorang merasakan keterasingan
melihat hal-hal yang di sekelilingnya yang tidak dapat memberikan jawaban atas
kegelisahan. Sebenarnya, kesunyian bukanlah sesuatu yang hakiki karena
keberadaannya mensyaratkan kondisi lain, yaitu perjalanan. Dengan kata lain,
kesunyian tidak akan dirasakan oleh seseorang yang tidak mengalami perjalanan.
b.
Embun Pagi
Embun pagi adalah sebuah kehadiran yang membuat jiwa terasa sejuk
meski sedang dalam keadaan gelap. Embun pagi ini semacam pemberi kabar gembira
bagi para pejalan dalam kesunyian, sehingga pejalan tersebut merasa memiliki
teman meski dalam kesunyian.
Embun pagi tersebut hadir di saat sebelum cahaya.
Kata “sebelum cahaya” mengisyaratkan bahwa suatu saat dan secara pasti cahaya
akan datang. Dalam perjalanan metafisik, seorang pejalan akan mengalami
pertemuan dengan embun pagi, baik di alam imajinalnya maupun di alam fisik.
Biasanya, apa yang terlintas secara imajinal akan dijumpai di alam fisik dalam
waktu yang tidak terlalu lama.
2.
Tinjauan Aksiologis
Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion
(nilai) dan logos (teori), yang berarti teori tentang nilai. Aksiologi
lebih bersifat aplikatif karena berkaitan langsung dengan akibat yang
ditimbulkan oleh pilihan nilai yang diterapkan dalam perilaku. Intinya,
aksiologi memberikan alasan mengapa sesuatu itu baik atau buruk. Aksiologi
tidak hanya berhenti pada kesimpulan bahwa ilmu hanya untuk ilmu, melainkan
juga manfaat ilmu itu sendiri.
a.
Kuatkanlah Hati
Kata “kuatkanlah hati” merupakan ekspresi kesadaran bahwa
perjalanan sunyi tidaklah sia-sia, maka sang pejalan diharuskan untuk memiliki
sikap secara aksiologis, yaitu menguatkan hati. “Kuatkanlah hati” adalah kata
perintah, namun bukan perintah yang bersifat militeristik atau memaksa,
melainkan perintah yang timbul atas dasar rasa, dan rasa tersebut adalah cinta.
Maka “kuatkanlah hati cinta” adalah rangkaian kata yang tepat untuk
menggambarkan suasana metafisik sekaligus mengambil tindakan yang tepat secara
aksiologis.
b.
Genggamlah Tanganku
“Genggamlah Tanganku” menggambarkan kondisi perjalan yang lebih
jauh dari “Kuatkanlah Hati”. Dalam maqom/kedudukan ini, seorang pejalan sudah
sampai pada pintu gerbang perjumpaan, maka tugas pejalan secara aksiologis
adalah “menggenggam”.
Aktifitas menggenggam lebih dari sekedar kesadaran spiritual
melainkan juga melibatkan kekuatan fisik. Dalam kehidupan sehari-hari, pesan
aksiologis ini dapat diterjemahkan sebagai kegiatan fisik yang dilakukan dalam
rangka menjawab panggilan “kekasih” yang akan dijumpai, dan semua kegiatan
tersebut diilhami oleh semangat yang bersifat spiritual.
3.
Tinjauan Epistemologis
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme: pengetahuan, dan logos: ilmu.
Epistemology berperan sebagai “hakim” yang menilai pengetahuan. Sah dan
tidaknya pengetahuan menjadi hal yang penting dalam epistemology. Selain itu,
epistemology juga berkaitan dengan bagaimana seseorang mengetahui sesuatu.
a.
Angin yang Berhembus Mesra
Kalimat “angin yang berhembus mesra” adalah sesuatu yang sejak
awal diketahui keberadaannya oleh subjek/pejalan, sehingga dalam lirik tersebut
kalimat itu didahului dengan kata “ingatkah engkau kepada”. Artinya adalah
bahwa sang pejalan mengalami peristiwa epistemik berupa mengetahui. Yang
menjadi pertanyaan dalam epistemology adalah, pengalaman mengetahui seperti apa
yang dialami oleh sang pejalan sehingga ia diminta untuk mengingat kepada angin
yang berhembus mesra?
Pasalnya, pengalaman mengetahu itu bermacam-macam, ada yang dari
tidak mengetahui sama sekali menjadi sedikit mengetahui. Ada pula yang sudah
mengetahui sedikit kemudian menjadi mengetahui banyak. Tapi ada juga yang
sebenarnya sudah mengetahui namun lupa sehingga harus diingatkan. Bagi para
pejalan, pengalam mengetahu lebih condong kepada yang terakhir, yaitu
mengetahui sesuatu yang sebenarnya sudah diketahui namun terlupakan. Kesimpulan
sementara saya, bahwa “angin yang berhembus mesra” adalah salah satu pemaknaan
mengenai fitrah manusia.
b.
Ku Tak Akan Pergi
Kalimat “ku tak akan pergi” ini hadir sebagai sebuah pengetahuan
yang ada dalam sang pejalan. Tentu saja pengetahuan seperti ini tidak sama
dengan ketika orang mengetahui bahwa rumput berwarna hijau atau kopi berwarna
hitam. Subjek pejalan berada pada kondisi di mana dia merasakan keraguan dan
keyakinan pada waktu yang sama. Keraguan dan keyakinan seolah sedang merebut
hati sang pejalan tersebut.
Dalam kondisi itulah, alat-alat epistemology bermunculan, seperti:
kesiapan (untuk menerima segala sesuatu yang dapat meyakinkan), kewaspadaan
(terhadap segala sesuatu terasa asing dan mengancam), dan harapan (terhadap
kondisi final atau keberakhiran yang selamat). Kesiapan, kewaspadaan, dan
harapan itulah yang memungkinkan sang pejalan untuk mengetahui bahwa ada subjek
di luar dirinya yang berkata kepadanya bahwa “aku tak akan pergi”.
Tulisan di atas adalah salah satu caraku menikmati kehidupan.))))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar