Jumat, 22 November 2013

Filsafat “Sebelum Cahaya"


“Sebelum Cahaya”/SC adalah salah satu lagunya Letto, dan berfilsafat adalah kegiatan pemikiran yang menyelidiki segala yang ada. Tema-tema penting dalam filsafat diantaranya adalah metafisika, aksiologi, dan epistemology. Kali ini saya akan mencoba memfilsafati salah satu being dalam kehidupan, yaitu SC, dengan menggunakan pendekatan metafisik, aksiologis, dan epistemologis. Berikut ini adalah lirik lagu Sebelum Cahaya sekaligus ketiga pendekatan tersebut:

Ku teringat hati
Yang bertabur mimpi
Ke mana kau pergi cinta


Perjalanan sunyi
Engkau tempuh sendiri
Kuatkanlah hati cinta


Ingatkan engkau kepada
Embun pagi bersahaja
Yang menemanimu sebelum cahaya


Ingatkan engkau kepada
Angin yang berhembus mesra
Yang kan membelaimu cinta


Kekuatan hati yang berpegang janji
Genggamlah tanganku cinta
Ku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri
Temani hatimu cinta


   1.          Tinjauan Metafisik

Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta  yang berarti setelah atau di balik, dan phúsika yang berarti hal-hal di alam.  Melihat sesuatu secara metafisik berarti mengenali sesuatu tersebut melalui sifat-sifat dan peranannya dalam kehidupan. 

Jadi, ketika lirik Sebelum Cahaya itu ditelaah secara metafisik, itu artinya adalah mengupas makna yang terbungkus oleh kata-kata yang ada dalam lirik lagu tersebut. Dalam makna itulah akan terlihat bagaimana sifat-sifat “sesuatu” itu dan peranannya dalam kehidupan. Selain itu, pendekatan metafisik akan menghadirkan kesadaran transendental kepada seseorang. Berikut ini adalah lirik sekaligus tinjauan metafisik terhadap lagu Sebelum Cahaya:

     a.      Perjalanan Sunyi

Perjalanan (secara metafisik) adalah perpindahan kedudukan spiritual seseorang dari satu suasana ke suasana lain. Sedangkan kesunyian (secara metafisik) adalah kondisi spiritual yang terfokus pada satu hal sehingga hal-hal yang lain seolah menjadi asing.

 Misalnya: seseorang yang ingin “menutup lubang di hati”, ia akan menyalurkan tenaganya untuk mencari yang dapat menutupi lubang hati tersebut sehingga persoalan-persoalan lain, seperti, keramaian kota, hiruk pikuk politik, atau ambisi-ambisi kekuasaan, tidak menarik dirinya karena semua itu tidak memberi arti. Di situlah kesunyian dapat dirasakan.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud perjalanan sunyi adalah kondisi spiritual yang membuat seseorang merasakan keterasingan melihat hal-hal yang di sekelilingnya yang tidak dapat memberikan jawaban atas kegelisahan. Sebenarnya, kesunyian bukanlah sesuatu yang hakiki karena keberadaannya mensyaratkan kondisi lain, yaitu perjalanan. Dengan kata lain, kesunyian tidak akan dirasakan oleh seseorang yang tidak mengalami perjalanan.

      b.     Embun Pagi

Embun pagi adalah sebuah kehadiran yang membuat jiwa terasa sejuk meski sedang dalam keadaan gelap. Embun pagi ini semacam pemberi kabar gembira bagi para pejalan dalam kesunyian, sehingga pejalan tersebut merasa memiliki teman meski dalam kesunyian. 

Embun pagi tersebut hadir di saat sebelum cahaya. Kata “sebelum cahaya” mengisyaratkan bahwa suatu saat dan secara pasti cahaya akan datang. Dalam perjalanan metafisik, seorang pejalan akan mengalami pertemuan dengan embun pagi, baik di alam imajinalnya maupun di alam fisik. Biasanya, apa yang terlintas secara imajinal akan dijumpai di alam fisik dalam waktu yang tidak terlalu lama.

   2.      Tinjauan Aksiologis


Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori tentang nilai. Aksiologi lebih bersifat aplikatif karena berkaitan langsung dengan akibat yang ditimbulkan oleh pilihan nilai yang diterapkan dalam perilaku. Intinya, aksiologi memberikan alasan mengapa sesuatu itu baik atau buruk. Aksiologi tidak hanya berhenti pada kesimpulan bahwa ilmu hanya untuk ilmu, melainkan juga manfaat ilmu itu sendiri.

      a.          Kuatkanlah Hati


Kata “kuatkanlah hati” merupakan ekspresi kesadaran bahwa perjalanan sunyi tidaklah sia-sia, maka sang pejalan diharuskan untuk memiliki sikap secara aksiologis, yaitu menguatkan hati. “Kuatkanlah hati” adalah kata perintah, namun bukan perintah yang bersifat militeristik atau memaksa, melainkan perintah yang timbul atas dasar rasa, dan rasa tersebut adalah cinta. Maka “kuatkanlah hati cinta” adalah rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan suasana metafisik sekaligus mengambil tindakan yang tepat secara aksiologis.

     b.     Genggamlah Tanganku


“Genggamlah Tanganku” menggambarkan kondisi perjalan yang lebih jauh dari “Kuatkanlah Hati”. Dalam maqom/kedudukan ini, seorang pejalan sudah sampai pada pintu gerbang perjumpaan, maka tugas pejalan secara aksiologis adalah “menggenggam”.

Aktifitas menggenggam lebih dari sekedar kesadaran spiritual melainkan juga melibatkan kekuatan fisik. Dalam kehidupan sehari-hari, pesan aksiologis ini dapat diterjemahkan sebagai kegiatan fisik yang dilakukan dalam rangka menjawab panggilan “kekasih” yang akan dijumpai, dan semua kegiatan tersebut diilhami oleh semangat yang bersifat spiritual.

   3.      Tinjauan Epistemologis

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme: pengetahuan, dan logos: ilmu.  Epistemology berperan sebagai “hakim” yang menilai pengetahuan. Sah dan tidaknya pengetahuan menjadi hal yang penting dalam epistemology. Selain itu, epistemology juga berkaitan dengan bagaimana seseorang mengetahui sesuatu. 

   a.      Angin yang Berhembus Mesra

Kalimat “angin yang berhembus mesra” adalah sesuatu yang sejak awal diketahui keberadaannya oleh subjek/pejalan, sehingga dalam lirik tersebut kalimat itu didahului dengan kata “ingatkah engkau kepada”. Artinya adalah bahwa sang pejalan mengalami peristiwa epistemik berupa mengetahui. Yang menjadi pertanyaan dalam epistemology adalah, pengalaman mengetahui seperti apa yang dialami oleh sang pejalan sehingga ia diminta untuk mengingat kepada angin yang berhembus mesra?

Pasalnya, pengalaman mengetahu itu bermacam-macam, ada yang dari tidak mengetahui sama sekali menjadi sedikit mengetahui. Ada pula yang sudah mengetahui sedikit kemudian menjadi mengetahui banyak. Tapi ada juga yang sebenarnya sudah mengetahui namun lupa sehingga harus diingatkan. Bagi para pejalan, pengalam mengetahu lebih condong kepada yang terakhir, yaitu mengetahui sesuatu yang sebenarnya sudah diketahui namun terlupakan. Kesimpulan sementara saya, bahwa “angin yang berhembus mesra” adalah salah satu pemaknaan mengenai fitrah manusia.

      b.     Ku Tak Akan Pergi

Kalimat “ku tak akan pergi” ini hadir sebagai sebuah pengetahuan yang ada dalam sang pejalan. Tentu saja pengetahuan seperti ini tidak sama dengan ketika orang mengetahui bahwa rumput berwarna hijau atau kopi berwarna hitam. Subjek pejalan berada pada kondisi di mana dia merasakan keraguan dan keyakinan pada waktu yang sama. Keraguan dan keyakinan seolah sedang merebut hati sang pejalan tersebut.

Dalam kondisi itulah, alat-alat epistemology bermunculan, seperti: kesiapan (untuk menerima segala sesuatu yang dapat meyakinkan), kewaspadaan (terhadap segala sesuatu terasa asing dan mengancam), dan harapan (terhadap kondisi final atau keberakhiran yang selamat). Kesiapan, kewaspadaan, dan harapan itulah yang memungkinkan sang pejalan untuk mengetahui bahwa ada subjek di luar dirinya yang berkata kepadanya bahwa “aku tak akan pergi”.

               Tulisan di atas adalah salah satu caraku menikmati kehidupan.))))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar