Senin, 04 November 2013

Tasawuf Imam Khomeini



          Pendahuluan
            Dalam tradisi ilmu-ilmu Islam, tasawuf atau irfan (istilah yang akrab digunakan dalam tradisi Syi’ah) termasuk pengetahuan yang terbilang tua. Dalam sejarah kita mengenal misalnya Hasan al-Bashri yang lahir pada tahun 22 H / 624 M. Usianya mencapai 88 tahun. Meskipun istilah sufi muncul belakangan setelah wafatnya, akan tetapi ada alasan mengapa kemudian dia disebut sebagai sufi. Ibn Nadhim dalam karyanya al-Fihrist, menghubungkan asal muasal rangkaian spiritual Abu Muhammad Ja’far Khuldi kepada Hasan Basri, dan Ibn Nadhim menyatakan bahwa Hasan Basri pernah bertemu tujuh puluh sahabat veteran perang badar.[1] Nama lain yang tak asing dalam sejarah tasawuf adalah Abu Yazid al-Busthomi, seorang sufi yang dianggap pertama kali bicara tentang “pelenyapan diri di dalam Allah” atau dikenal dengan istilah fana. Juga konsep tentang baqa’ atau hidup abadi bersama Allah.
Seorang sufi memang tidak menjalani hidup sesuai dengan keinginannya. Karena ia hidup berdasarkan keinginannya Tuannya. Ia menjadi pelayan Tuhan dan makhluknNya di muka bumi. Jika di abad awal Islam kita melihat para sufi-yang sebagian penulis paparkan di atas-dengan konsepnya yang masih sulit untuk dipahami masyarakat awam, maka bagaimana dengan sufi kontemporer yang berhadapan dengan problematika zaman yang berbeda? Pertanyaan inilah yang menggiring penulis untuk menulis makalah ini. Imam Khomeini adalah salah satu sufi di zaman modern yang penguasaan terhadap tasawuf sebelumnya juga tak perlu dirtanyakan lagi. Perbedaan mencolok antara filsafat di zaman modern dan abad pertengahan atau kuno adalah pandangan terhadap alam. Filsafat kuno meyakini kesatuan, sementara filsafat modern tidak. Dan pandangan ini memiliki konsekuensi yang luas terhadap kehidupan manusia hingga saat ini. Di sinilah tasawuf menjadi penting untuk dikaji, terlebih pemikiran seorang tokoh yang otoritatif dalam suatu tradisi tertentu.




b.     Pembahasan
1.     Tasawuf dalam tradisi Syi’ah
            Jalaluddin Rahmat mendefinisikan bahwa Syi’ah adalah orang yang memandang penggantian Nabi SAWW sebagai hak khusus keluarga Nabi SAWW, dan mereka adalah orang yang mengikuti Ahlul Bayt dalam keilmuan dan budaya Islami. [2] Dalam persoalan tasawuf, orang Syi’ah menyebutnya sebagai ‘Irfan, yaitu sebuah kecenderungan menguak rahasia dan ajaran-ajaran Ahlul Bayt.[3] Dalam pandangan Syi’ah, posisi Ahlul Bayt sangat penting dalam agama maupun dunia.[4] Mereka adalah fondasi agama dan tiang keyakinan.[5] Yang senantiasa menjaga hatinya, menjaga semua anggota badannya, mencurahkan segala kebaikannya, dan senantiasa menahan diri dari perbuatan yang tidak baik.[6]
            Irfan mesti dipandang sebagai bagian sentral dan sangat penting dari semua agama. Irfan merupakan cara yang paripurna untuk mencapai pengabdian yang didasarkan pada cinta, bukan pada rasa takut atau harapan dengan memposisikan Tuhan sebagai rekan bisnis. Irfan juga merupakan metode untuk memahami fakta-fakta agama secara mendasar.[7] Keunikan irfan dalam tradisi Syi’ah adalah penggunaan filsafat sebagai metode penjelas. Syiah memang terkenal dengan apresiasinya yang tinggi terhadap filsafat sehingga mereka meyakini bahwa pengalaman mistis pun bisa dipaparkan secara rasional.[8]
            Dalam tradisi Syi’ah, menggali ajaran-ajaran Ahlul Bayt yang berkenaan dengan cita rasa irfan dapat dilihat dari kumpulan do’a-do’a yang diajarkan oleh mereka para Imam. Kata-kata mereka mengekspresikan hubungan mesra dengan Tuhan. Dalam do’a terdapat ungkapan cinta, ikhlas, rindu, harapan, ketakutan, pujian, dan lain-lain. Imam Ali dengan indah mengungkapkan:
 Sembahanku, cukup bagiku sebagai kemuliaan jika aku menjadi hamba-Mu
Dan cukup bagiku sebagai kebanggan jika Engkau menjadi Tuhanku
Engkau adalah seperti yang kucintai. Maka, jadikan aku seperti yang Kau cintai”[9]
            Kalimat dalam do’a tersebut menggambarkan betapa Allah dalam hati seorang wali adalah satu-satunya. Seseorang tidak memiliki ketergantungan kepada selain Allah, bahkan kepada amalnya sekalipun. Sehingga kemanapun seorang wali berjalan, apapun yang ia lakukan, semuanya adalah ekspresi dari kandungan hati tersebut. sehingga tidak mengherankan Imam Ali sendiri adalah seorang yang aktif dalam dunia social, bukan karena aktifitas itu sendiri melainkan karena posisinya sebagai hamba Allah. Inilah yang membedakan orang yang aktif dalam dunia social politik karena kepentingan tertentu dengan orang yang aktif karena menjalankan perintah Allah.
             Imam Ali juga bercocok tanam, berkebun, menanam pohon, melakukan perniagaan, dan mengumpulkan harta namum tidak untuk disimpan. Dalam kezuhudan, Imam Ali menyertakan dirinya dalam kedukaan orang lain. Bahkan dalam soal makan, meskipun beliau bisa untuk memuaskan diri dengan segala fasilitas, beliau memilih untuk lapar.[10] Dalam pandangan Syiah, para muballigh bukanlah seorang muslim biasa dan bukan sekedar pengiku Ahlul Bayt, namun juga sebagai pelanjut risalah Ilahi, risalah yang telah disampaikan Rasulullah saw dan para Imam suci. Karena itu mereka harus memiliki syarat ilmu, akhlah dan kesucian jiwa.[11]
            Imam Sajjad/Ali Zainal Abidin juga meninggalkan warisan do’a-do’a dahsyat yang dikenal dengan Shahifah Sajjadiyah. Isi dari Shahifah tersebut adalah munajat seorang hamba kepada Tuhan. Dalam salah satu lembar munajat para Pecinta Allah, Imam Sajjad mengungkapkan Ilahi, jadikan kami di antara orang-orang yang Kau pilih untuk pendamping dan kekasih Mu…[12]
Imam Khomeini dan Irfan
Karya-karyanya dalam bidang Irfan
a.            Syarh Du’a al-Sahar atau Mukhtar al-Du’a al-Muta’alliq bi al-Sahar, yang membahas mengenai spiritualitas yang tinggi dalam do’a-do’a Islam yang paling inspiratif. Buku tersebut merupakan karya beliau yang pertama dan ditulis ketika usianya masih 27 tahun.
b.     Misbah al-Hidayah fi al-Khilafah wa al-Wilayah, yang ditulis ketika beliau berusia 29 tahun. pembahasannya mengenai Khilafah dan Wilayah Nabi SAWW dari perspektif sufistik Ibn ‘Arabi.
c.      Syarah Fushus al-Hikam, yang berisi mengenai komentar-komentar atas karya Ibn ‘Arabi tersebut.
d.     Mi’raj al-Shalikhin wa Sholat al-Arifin, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Imam Khomeini, Hakekat & Rahasia Sholat; Mi’raj Ruhani: Tuntunan Sholat Ahli Ma’rifat, terj. Hasan Rahmat, dkk (Bandung; Mizan, 2004).
e.      Al-Arba’una Haditsan
            Imam Khomeini belajar irfan pada Agha Mirza Muhammad Ali Syahabadi yang memiliki karya berjudul Risyatul Bihar. Imam Khomeini belajar pada Syahabadi mengenai irfan selama 6 tahun. pada usia 27 tahun beliau belajar Fushushul Hikam pada guru yang sama. Setelah beliau hijrah ke Tehran, belia mengomentari Fushushul Hikam dan Misbahul Uns, kemudian beliau menulis Misbahul Hidayah dan komentar mengenai doa Sahar.
            Bagi Ayatullah Khomeini seorang arif tak akan benar-benar mencapai maqam spiritual tertinggi jika tidak memanifestasikan keimanan puncak yang telah diraihnya  dalam bentuk concern sosial politik untuk mereformasi masyarakat dan membebaskan kaum tertindas dari rantai penindasannya. Irfan, dalam diri Imam Khomeini, merupakan pusat dari setiap pandangannya. Baik itu politik, filsafat, maupun pandangan mengenai persoalan-persoalan kemanusiaan. Menurut Imam, seluruh tujuan para nabi adalah untuk ma’rifatullah. Jika ada seruan untuk beramal sholeh, mencari ilmu, atau tazkiyatun nafs, maka segala seruan tersebut kembali pada satu tujuan.  Segala hijab harus disingkirkan sehingga manusia bisa sampai pada tujuan ma’rifatullah (ma’rifatul Haq).
            Irfan di tangan Imam Khomeini sangat kental dengan nuansa akhlak dan perncerahan diri.  Secara individu, beliau sangat keras melatih diri dan memberi teladan kepada banyak orang tentang kesederhanaan dan sikap cinta kebenaran. Allah memberi manusia berbagai fasilitas berupa akal, para nabi dan para wali supaya manusia menyelamatkan diri dari siksaan neraka. Dan bagi siapa saja yang selalu menggunakan fasilitas Allah itu, Imam Khomeini mengatakan “tunjukkan sikap hormat kepada mereka yang selalu mencari pencerahan diri”.[13]
            Imam Khomeini meyakini bahwa kedaulatan seluruh eksistensi berada di tangan Tuhan. Sehingga alam semesta merupakan tajalli-Nya. Implementasi dari prinsip tersebut bersifat takwini dan tasyri’i.
            Adapun konsep mendasar dari beliau mengenai 40 Hadits, do’a Sahar dan  Misbahul Hidayah adalah tentang manusia sempurna. Imam Khomeini, seperti para sufi lainnya, memiliki perhatian khusus dalam menelusuri pembahasan dasar-dasar manifestasi al-Haq beserta tingkatannya. Beliau berkata setiap wujud memiliki aspek ilahiyah, yang akan mempersiapkan dirinya dalam menerima kehadiran aspek Rububiyyah-Nya, dimana segala fenomena berasal dari-Nya. Penampakan Rububiyyah ini berbeda-beda tergantung pada tingkatan manifestasinya. Tingkatan-tingkatan manifestasi tersebut adalah:
1.     Tingkatan kegaiban pertama, ta’ayyun awwal, hazrat zat, dan haqiqatul haqaiq.
2.     Kegaiban kedua, ta’ayyun tsani, dimana segala sesuatu akan nampak dengan sifat keilmuannya.
3.     Tingkatan ruh dan nampaknya hakikat-hakikat nonmateri dan basith (simple), alam ghaib, alam malakut.
4.     Alam mitsal, yaitu sebuah alam di antara alam ruh dan alam materi, atau yang biasa disebut alam barzakh.
5.     Alam jasmani, atau alamnya fenomena materi.
6.     Tingkatan Insan Kamil yang meliputi seluruh fenomena Ilahi.[14] 
            Bagi Imam Khomeini, manusia sempurna tidak pernah mengerjakan sesuatu yang berdasarkan pada keinginannya sendiri, karena kerja mereka adalah kerja Tuhan. Kerja mereka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu,[15] sehingga mereka bisa melewati berbagai tingkatan hanya dalam beberapa saat saja. Kualitas spiritual diukur dari sejauh mana ia bisa keluar dari pengaruh materi dan kembali pada alam spiritual atau alam ghaib.
Hubungan antara Irfan dan Wilayah Fiqih
            Dalam Syi’ah, seorang wali faqih didudukkan sebagai pemimpin politik masyarakat. Wilayah spiritual dan lahiriah Rasulullah dan imam-imam maksum adalah sesuatu yang tidak terpisahkan. Pemerintah dalam kedaulatan pemerintahannya harus mengatur politik dan kebijakannya secara menyeluruh. Berkenaan dengan keadilan, mereka harus dipilih sedemikian rupa sehingga tidak terjadi dualism antara dunia dan akhirat. Jadi, seorang yang terpenjara dalam nafsunya sendiri tidak dapat menduduki posisi wilayah meskipun secara lahiriah memenuhi memungkinkan itu. Dalam keyakinan Imam Khomeini, begitu juga Syiah Imamiyah, bahwa selama masa keghaiban, kepemimpinan dipegangn oleh Insan Kamil dan segala kekuatan yang ada di masyarakat diarahkan untuk mendapatkan kesempurnaan spiritual mereka.
            Bagi Imam Khomeini, “wilayah” dalam pembahasan wilayah faqih  bermakna kedaulatan dan mengatur kebijakan negara serta menjalankan hukum-hukum syariat, bukan dalam pemaknaan bahwa wilayah faqih memiliki maqam yang luar biasa dan bahkan telah melewati batasan manusia yang adil. Wilayah dalam pembahasan ini adalah wilayah faqih yang memiliki dua ukuran mendasar yaitu ilmu dan amal. Persyaratan ini diperlukan supaya manusia tetap berjalan dalam koridor insane kamil. Maka, Rasulullah adalah manusia yang berada di puncak pyramid dalam menjalankan dan mengatur masyarakat muslim.[16]
            Kewajiban dalam menjalankan hukum-hukum, membangun struktur, dan dasar-dasar pemerintahan Islam akan meniscahayakan keharusan adanya khilafah, karena tanpanya risalah Rasulullah tak akan terwujud. Sepeninggal Rasulullah, umat Islam tetap membutuhkan seseorang untuk menjalankan peraturan dalam masyarakat. Di sinilah teori Insan Kamil memiliki konsekuensi secara kosmologis dan sebagia pandangan dunia. Dalam realitas masyarakat, keyakinan mengenai Insan Kamil menggiring pada peningkatan intelektual dan spiritual. Insane Kamil adalah bingkai dari “greget” masyarakat. Tugas penting danri para wali dan nabi adalah untuk menggiring manusia pada maqam tauhid haqiqi. Gerakan ini sangat mungkin untuk diikuti oleh semua manusia, karena pada dasarnya, meski sulit, manusia selalu merindukan dan mencari wujud yang lebih tinggi.[17]
            Imam Khomeini sendiri adalah salah satu dari Insan Kamil yang berusaha bangkit melawan budaya jahiliyyah di masa modern. Beliau tidak hanya menjadi rujukan untuk Irfan teoritik tapi juga Irfan praksis, atau disebut juga dengan istilah Irfan Nazhari dan Irfan ‘Amali. Irfan amali merupakan bagian yang menjelaskan hubungna antara kewajiban-kewajiban manusia dengan dirinya, alam, dan Tuhan, sedangkan irfan nazhari adalah ilmu yang praksis. Terlebih lagi di zaman yang penuh dengan fitnah, maka kemunculan orang alim adalah keharusan.[18]
            Keyakinan Imam Khomeini mengenai Islam adalah bahwa Islam untuk segala hal, Islam datang untuk memperbaiki manusia, dan manusia adalah segalanya, seluruh alam adalah manusia. Mereka yang akan pembimbing manusia harus mengetahui seluruh alam, sehingga dapat mengantarkan manusia pada derajat yang dimilikinya. Bagi mereka yang hanya memperhatikan segi syari’at saja dan melupakan sisi batin, maka mereka tak akan sampai pada hakikat dan ma’rifat. Imam mengajak pada tazkiyatun nafs dan tidak menjauh dari masyarakat dan social.  Hukum-hukum akhlaki Islam adalah politik. Sebagaimana Imam Ali r.a menyatakan: Demi Allah, aku akan menuntut balas terhadap si penindas untuk kepentingan si tertindas, lalu aku akan ikat hidung si penindas dengan tali, kemudian aku seret dia menuju sumber kebenaran, sekalipun ia tidak mau.[19]Kalimat ini semakin meyakinkan bahwa Islam pararel dengan langkah-langkah politik yang sejati, bukan politik golongan. Langkah-langkah irfani yang dijalankan melalui jalur politik tentu bukanlah tugas yang ringan, dan ini adalah bagian dari ujian para sufi dalam menegakkan tiang kebenaran di muka bumi sebagaimana para nabi. Imam Ja’far Shadiq a.s menyatakan: Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla menjanjikan cobaan kepada seorang Mukmin sebagai mana seseorang menjanjikan oleh-oleh kepada keluarganya dari perjalanan jauh.[20]
Irfan dan Hadits
            Pembahasan tasawuf dalam tradisi Syiah tidak mengalami keterputusan dengan teks-teks hadits, keduanya merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dan yang dimaksud hadits di sini tidak terbatas pada tradisi Rasulullah saja tetapi berlanjut kepada para Imam. Sebagaimana penulis sebutkan di awal (mengutip Jalaluddin Rahmat) bahwa Irfan merupakan sebuah kecenderungan untuk  menguak rahasia dan ajaran-ajaran Ahlul Bayt, karena dalam pandangan Syi’ah, posisi Ahlul Bayt sangat penting dalam agama maupun dunia.
            Untuk membuktikan kalimat tersebut, penulis mencoba menelaah karya Imam Khomeini yang berjudul 40 Hadits-telaah atas hadis-hadis mistis dan akhlak, karya tersebut berisi 40 hadis diantaranya:

1.     Hadits tentang Jihad al-Nafs                          21. Hadis tentang Syukur                  
2.     Hadis tentang Riya’                                        22. Hadis tentang takut Mati 
3.     Hadis tentang Ujub                                         23. Tipe-tipe Para Penuntut Ilmu
4.     Hadis tentang Takabur                                   24. Tentang Klasifikasi Ilmu
5.     Hadis tentang Hasad                                       25. Hadis tentang Waswas
6.     Hadis tentang Cinta Dunia                             26. Tentang Penuntut Ilmu
7.     Hadis tentang Ghadab                                                27. Konsentrasi dan Perhatian Hati
8.     Hadis tentang ‘Ashabiyyah                            28. Pertemuan dengan Allah
9.     Hadis tentang Nifaq                                       29. Wasiat Rasulullah kepada Ali
10.  Hadis tentang Hawa Nafsu dan Harapan       30. Tentang Bagian-bagian Hati
11.  Hadis tentang Fitrah                                       31. Allah tak bisa disifati
12.  Hadis tentang Tafakur                                                32. Hadis tentang Rizki
13.  Hadis tentang Tawakkal                                 33. Hubungan Iman dan Amal
14.  Hadis tentang Kecemasan dan Harapan         34. Hadis tentang orang Mukmin
15.  Cobaan dan Penderitaan sang Mukmin         35. Kebaikan Allah dan Keburukan Manusia
16.  Hadis tentang Sabar                                       36. Sifat-sifat Dzatiyyah Allah
17.  Hadis tentang Tobat                                       37. Mema’rifati Allah dengan Allah, Mema’
18.  Zikir kepada Allah                                               rifati Rasul dengan Risalah
19.  Ghibah                                                                        38. Allah menciptakan Adam dg bentukNya
20.  Hadis tentang Ikhlas                                       39. Kebaikan dan Keburukan
                                                                        40. Tafsir Surah al-Tauhid dan Ayat-ayat                                                                                   Pertama Surah al-Hadid
            Salah satu keunikan tasawuf adalah memiliki perspektif yang cenderung membalikkan pandangan dunia pada umumnya, terutama pandangan dunia yang melandaskan diri pada hal-hal yang materialistic. Jika kita membaca dan menikmati pandangan sufistik Imam Khomeini dalam telaah 40 Hadis, akan didapatkan pemikiran yang otentik buah dari kelezatan Irfany. Irfan selalu mengembalikkan segala sesuatu kepada Pemiliknya, tidak kepada penjarahnya (segala sesuatu yang menghalangi pandangan manusia kepada Allah). Sehingga nampak jelas perbedaan antara mana yang asli dan palsu. Untuk mencicipi karya Imam tersebut, mungkin ada baiknya jika penulis mengambil beberapa contoh penjelasan beliau tentang salah satu hadis dalam buku tersebut.
           

Hadits tentang Fitrah
            Muhammad Ibn Ya’qub (al-Kulaini) meriwayatkan dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad, dari Abu Mahmud, dari ‘Ali ibn Riab, dari Zurarah, yang mengatakan, “Saya bertanya kepada al-Imam al-Shodiq mengenai firman Allah, ‘…fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya…’ (QS al-Rum (30): 30. Imam menjawab, ‘Ia menciptakan manusia atas dasar tauhid’.[21]
          Kata fithrah berarti penciptaan. Juga dari kata fathara yang memiliki arti menggoyahkan atau membelah. Seakan-akan proses penciptaan adalah proses pembelahan. Tindakan orang berbuka puasa disebut ifthar yang bermakna memutuskan kelanjutan puasa. Yang dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Meskipun dalam hadis ini kata fitrah dijelaskan sebagai kecenderungan alamiah tauhid, bagi Imam Khomeini kata itu hanya merupakan penjelasan salah satu makna terpenting dari kata fithrah. Jadi, fitrah mencakup segala seluruh ajaran dan prinsip-prinsip yang benar.
          Imam Khomeini memberikan tiga contoh berkenaan dengan hadis tersebut. Sesuatu yang fitri dalam diri manusia diantaranya:


Kecintaan manusia pada kesempurnaan,
          Setiap contoh memiliki penjelasan masing yang membawa pada kesimpulan bahwa ketiganya adalah sesuatu yang sudah ada dalam diri setiap manusia. Dengan tegas, Imam mengatakan bahwa seluruh umat manusi, baik dari penganut ajaran materialism maupun penganut ajaran-ajaran agama, di negara maju maupun tertinggal, semua terdorong untuk mencapai kesempurnaan mutlak. Tak satu pun individu yang memiliki karakter yang bertentangan sifat ini. Seluruh manusia berusaha mencapai kesempurnaannya. Sehingga apabila ada anggapan kesempurnaan terhadap sesuatu, meskipunn anggapan itu salah, manusia akan melakukan percobaan demi percobaan untuk mengejar apa yang ia anggap sempurna itu.
          Kecintaan yang hakiki menuntut Kekasih Yang Hakiki pula. Tak mungkin fitrah akan mencari sesuatu yang dapat dibayangkan oleh akal, karena setiap yang dikhayalkan adalah tanda ketidaksempurnaan. Di sinilah Pecinta dan Cinta hakiki dimungkinkan untuk bertemu. Untuk mendorong manusia sampai pada pertemuan sejati tersebut, manusia diberikan dorongan berupa kebutuhan-kebutuhan spiritual.[22]

Penegasan Zat Yang Hak dan Sifat-Sifat-Nya,
dalam pembahasan ini, Imam Khomeini meyakinkan bahwa fitrah cenderung menyukai Zat Yang Esa, karena semua yang mengandung ketersusunan dari dua bagian atau lebih adalah tak sempurna. Jadi, contoh yang kedua ini adalah konsekuensi dari contoh yang pertama. Keberadaan Zat yang Esa juga berdampak pada sifatNya yang bebas dari ketidaksempurnaan. Ahad, adalah satu dalam pengertian yang tidak tersusun dari unsure apa pun, tidak juga satu dalam arti bilangan.

Keyakinan akan Kebangkitan.
          Allah menanamkan sifat dalam diri manusia berupa kerinduannya terhadap ketenangan dan kenyamanan. Tujuan dari setiap tingkah laku manusia dalam sejarah, dari manapun itu berasal, semua pasti menghendaki sebuah keadaan yang nyaman secara mutlak dan tidak tercemari oleh sedikit pun kelelahan. Akan tetapi pada kenyataannya, kehidupan dunia tak pernah menyuguhkan fakta tersebut. Oleh karena itu, apa yang menjadi impian manusia-yang sangat mendasar itu-bisa didapatkan di dunia. Jika kita amati secara lebih teliti, ternyata hukum alam dan sifat manusia pun seolah mengatakan bahwa “dunia bukanlah rumahmu”. [23]
          Tasawuf/Irfan di tangan Imam Khomeini memang sangat kental dengan tarbiyah. Untuk menempa manusia mencapai kesempurnaan. Memang semua sufi menuju kearah yang sama. Akan tetapi metode yang digunakannya berbeda. Dalam buku yang berjudul Wasiat Sufi Imam Khomeini kepada Putranya,
          Cobalah untuk menjadi salah satu di antara orang-orang yang bersahabat dengan orang-orang sholeh dan ‘arif, meski kamu bukan salah satu dari mereka. Dan jangan meninggalkan dunia ini dengan perasaan   bermusuhan dengan mereka.[24]
Keyakinan akan kebangkitan membuat jiwa menjadi tenang menghadapi kehiduapan. Tak ada yang perlu ditakutkan karena jiwa sepenuhnya sadar bahwa kebangkitan yang sesungguhnya adalah setelah kematian. Kehidupan adalah awal kematian, dan kematian adalah awal kehidupan.[25] Tentu keyakinan seperti itu tidak akan tumbuh dalam hati orang yang masih terikat oleh dunia dan kabut hitam berupa kepentingan-kepentingan egosentrisme. Karena yang mampu melihat Allah bukanlah pancaindera namun hati melihat-Nya dengan iman.[26]

c.      Penutup
          Dari pembahasan di atas, sedikit menggambarkan tentang bagaimana tekanan irfan Imam Khomeini. Tentu masih banyak persoalan lain yang bisa menjadi subjek pembahasan. akan tetapi dari sini terlihat bagaimana perbedaan Imam Khomeini dibandingkan para sufi sebelumnya. Konsep Wilayah faqih adalah hal baru dalam tradisi Syiah. Karena para Imam Syi’ah tidak menjalani perjuangan dengan berada pada pusat kekuasaan, akan tetapi Imam Khomeini tampil dengan memerankan para agamawan di pusat kekuasaan politik. Selain mengandung unsur tasawuf, konsep tersebut juga menegaskan bahwa dunia dan akhirat tidaklah terpisah. Inilah barangkali titik tekan Imam Khomeini yang ingin membawa manusia pada kesempurnaan dengan dan mencapai ma’rifatullah.

Daftar Pustaka
1.     Abidin, Imam Zainal Ali, Shahifah Sajjadiyah, terj. Jalaluddin Rahmat, Bandung: Muthahhari Press, 2002,
2.     Al-Qummi, Syeikh Abbas, Mafatihul Jinan I, Jakarta: al-Huda, 2008.
3.     Fakhr, al-Allammah al-Hujjah dkk, Bihar al-Anwar, terj. Tim Penerjemah Padepokan Thaha, (nama kota tidak tertulis )Majelis Ta’lim Padepokan Thaha, 2004.
4.     Hasan, Abdullah (peny.), Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib, terj. Tholib Anis, Bandung: Pustaka Hidayah, 2009.
5.     Labib, Muhsin, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, Jakarta: Lentera, 2004.
6.     Muthahhari, Murtadha, Menggapai Gemerlap Cahaya Ilahi, terj. Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2008.
7.     Muthhahhari, Murtadha, Neraca Kebenaran, terj. Najib Husein Alydrus, Bogor: IPABI, 2001.
8.     Muthahhari, Murtadha, Fitrah, terj. Afif Muhammad, Jakarta: Lentera, 2008.
9.     ----------------------------, Pengantar Filsafat Hikmah, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2002.
10.  Muthahhari, Murtadha, Keadilan Ilahi, terj. Agus Efendi, Bandung: Mizan,  2009.
11.  Mohajerniy, Mohsen, “ Prinsip-prinsip Irfani Pemikiran Politik Imam Khomeini dalam Karyanya Misbahul Hidayah”, Al-Qurda 2, Januari 2011.
12.  Yamani, Antara al-Farabi dan Imam Khomeini, Bandung: Mizan, 2002.
13.  Khomeini, Imam, 40 Hadis, Telaah atas Hadis-hadis Mistis dan Akhlaq, terj. Zainal     Abidin, Abdullah Hasan, dan Ilyas Hasan, Jakarta: al-Huda, 2004.
14.  --------------------, Wasiat Sufi Imam Khomeini kepada Putranya, terj. Yamani, Bandung:       Mizan, 2001.
15.  ----------------------, Manajemen Nafsu, terj. Salman Fadhlullah, Jakarta: Al-Huda, 2010.
16.  Syihab, Quraisy, Sunnah-Syiah bergandengan tangan, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
17.  Mohammed Khamene’i, “Ciri Pewaris Nabi”. Jakarta: IKMAL, 2010.
18.  Radhi, Sayid Syarif (peny.), Nahjul Balaghah I, terj. Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2008.
19.  Rahmat, Jalaluddin, Tasawuf dalam Perspektif Syi’ah, Bandung, Mizan, 2003.
20.  Redaksi Misbah (Peny.), Tanya Jawab bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib, terj. Abu Ali Jadid & Nuh Alhaddad, Jakarta: al-Misbah, 2004.
21.  The Ahl-Ul-Bayt World Assembly, Teladan Abadi, Muhammad Saw, terj. Muhammad Alcaff, Jakarta: alh-Huda, 2009.
22.  The Ahlul Bayt World Assembly, Panglima Sepanjang Masa, Amirul Mukmini Ali Kw, terj. Saleh Lapadi, Jakarta: al-Huda, 2008.
23.  Witteven,  H.J. Tasawuf in Action, terj. Ati Cahayani, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.





[1] Ibid, hlm. 36
               [2] Jalaluddin Rahmat, Tasawuf dalam Perspektif Syi’ah, dalam Islam Alternatif, (Bandung, Mizan, 2003), CET III, jlm. 262.
               [3] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, (Jakarta: Lentera, 2004), hlm. 31.
               [4] Semua kelompok dari golongan Syi’ah menganggap bahwa Ahlul Bayt memiliki kedudukan sangat penting dalam hal agama maupun dunia. Begitu juga dengan Syi’ah imamiyah (yang meyakini bahwa Imam ketujuh adalah Imam Musa Kadzim). Pada masa keghaiban Imam Mahdi, posisi para Imam diwakili oleh para faqih. Maka tidak mengherankan jika semangat Irfani dalam Syiah tak pernah jauh dari sikap terhadap kedzaliman.
               [5] Imam Ali menyatakan hal tersebut dalam khutbahnya yang berkaitan dengan masalah Imamah dan Wasiat. Lihat.Kata-kata mutiara Ali bin Abi Thalib.
               [6] Untuk menggali manfaat dari warisan Ahlul Bayt banyak sekali buku-buku yang bisa dijadikan rujukan. Penulis membacanya dalam buku Bihar al-Anwar.
               [7] Murtadha Muthahhari, Menggapai Gemerlap Cahaya Ilahi, terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2008) hlm. 21.
               [8] Bukti rasionalitas Syiah dalam masalah agama misalnya terletak pada keyakinan bahwa baik buruk bisa dikenal oleh akal. Sedangkan asy’ariyah-yang merupakan pembangun teologi ahlussunnah-meyakini bahwa baik buruk tergantung pada syariat. (lihat, Sunnah-Syiah bergandengan tangan), hlm. 94.
               [9] Doa tersebut begitu singkat namun mengena dan mencakup keseluruhan ungkapan mengenai hubungan cinta antara makhluq dan Khaliq. Selebihnya dapat dibaca di Mafatihul Jinan jilid I hlm 391. Kitab Mafatihul Jinan merupakan kumpulan do’a para Imam yang dikumpulkan oleh Syeikh Abbas al-Qummi.
               [10] Ayatullah Muthhahhari, Neraca Kebenaran, terj. Najib Husein Alydrus, (Bogor: IPABI, 2001), hlm. 124.
               [11] Mohammed Khamene’i, “Ciri Pewaris Nabi”, Hawzah, I, April 2010, hlm. 1
[12] Isi dari Shahifah tersebut tidak hanya bermuatan tema-tema tasawuf seperti penempuh jalan thariqat, munajat pendamba, munajat orang yang berharap, munajat para pecinta Allah saja, tetapi juga berkaitan dengan do’a sehari-hari, do’a masuk bulan ramadhan, dan lain-lain yang berkaitan dengan waktu. (lihat. Shahifah Sajjadiyah).
               [13] Sewaktu membaca kalimat tersebut, penulis berhenti sejenak membaca karena hati menggumam “betapa sedikit orang-orang yang ingin melakukan pencerahan diri dan betapa banyak yang meremehkan aktifitas tersebut”.  Sehingga ketika membaca kata-kata Imam Khomeini tersebut penulis merasa bahwa beliau adalah salah satu teman di antara orang-orang yang sedikit itu. (lihat. Manajemen nafsu, hlm. 62)
               [14] Mohsen Mohajerniy, “ Prinsip-prinsip Irfani Pemikiran Politik Imam Khomeini dalam Karyanya Misbahul Hidayah”, Al-Qurda 2, Januari 2011, hlm. 90.
               [15] Merupakan konsekuensi dari pemahaman bahwa satu-satunya yang ada hanyalah Allah itu sendiri. Demikianlah jika dijelaskan secara takwini, namun secara tasyri’I, manusia mengikutinya dengan melakukan penempaan diri sehingga ia tidak lagi dikendalikan oleh hawa nafsunya dan sadar sepenuhnya bahwa ia adalah bagian dari keberadaan Allah.(lihat, Murtadha Muthahhari dalam Pengantar Filsafat Hikmah.)
[16] Yamani, Antara al-Farabi dan Imam Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 16.
               [17] Dejelaskan dengan begitu meyakinkan oleh seorang mantan direktur pelaksana IMF yang berbicara mengenai tawawuf universal, dalam Tasawuf in Action. Tidak hanya menjelaskan tema-tema tasawuf pada umumnya, melainkan juga menghubungkannya dengan aktifitas ekonomi, pendidikan dan negara.
               [18] The Ahl-Ul-Bayt World Assembly, Teladan Abadi, Muhammad Saw, terj. Muhammad Alcaff, (Jakarta: alh-Huda, 2009), hlm. 366.
               [19] Kalimat tersebut jika dipahami secara sederhana akan menimbulkan kesan dangkal yakni kepentingan antara kedua belak pihak untuk urusan duniawi. Akan tetapi, Imam Ali sama sekali tidak berkepentingan terhadapnya, bagi beliau, tindakan seperti semata-mata karena beliau diperintahkan oleh Allah. lihat, Nahjul Balaghah I.
               [20] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, terj. Agus Efendi, (Bandung: Mizan,  2009), hlm. 171.
               [21] Imam Khomeini, 40 Hadis, Telaah atas Hadis-hadis Mistis dan Akhlaq, terj. Zainal Abidin, Abdullah Hasan, dan Ilyas Hasan (Jakarta: al-Huda, 2004), hlm. 206.
               [22] Kebutuhan-kebutuha spiritual sebanarnya bisa dibuktikan dengan berbagai macam bentuk, misalnya rasa cinta pada lawan jenis, cinta kebenaran, cinta keluarga, dll. Dan semua itu adalah tanda-tanda Allah supaya manusia sampai pada cinta yang hakiki.(lihat, Ayatullah Muthahhari dalam fitrah)
[23] Ibid, hlm. 217.
[24] Imam Khomeini, Wasiat Sufi Imam Khomeini kepada Putranya, terj. Yamani (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 86
               [25] Redaksi Misbah (Peny.), Tanya Jawab bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib, terj. Abu Ali Jadid & Nuh Alhaddad, (Jakarta: Misbah, 2004), hlm. 55.
               [26] Penulis mencoba untuk mencari ketersaambungan pemikrian tasawuf Imam akahomeini dengan para Imam, salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib. Lih., Panglima Sepanjang Masa, Amirul Mukmini Ali Kw, terj. Saleh Lapadi, (Jakarta: al-Huda, 2008), hlm. 372.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar