Pendahuluan
Dalam
tradisi ilmu-ilmu Islam, tasawuf atau irfan (istilah yang akrab digunakan dalam
tradisi Syi’ah) termasuk pengetahuan yang terbilang tua. Dalam sejarah kita
mengenal misalnya Hasan al-Bashri yang lahir pada
tahun 22 H / 624 M. Usianya mencapai 88 tahun. Meskipun istilah sufi muncul
belakangan setelah wafatnya, akan tetapi ada alasan mengapa kemudian dia
disebut sebagai sufi. Ibn Nadhim dalam karyanya al-Fihrist,
menghubungkan asal muasal rangkaian spiritual Abu Muhammad Ja’far Khuldi kepada
Hasan Basri, dan Ibn Nadhim menyatakan bahwa Hasan Basri pernah bertemu tujuh
puluh sahabat veteran perang badar.[1]
Nama lain yang tak asing dalam sejarah tasawuf adalah Abu Yazid al-Busthomi,
seorang sufi yang dianggap pertama kali bicara tentang “pelenyapan diri di
dalam Allah” atau dikenal dengan istilah fana. Juga konsep tentang baqa’ atau
hidup abadi bersama Allah.
Seorang sufi memang
tidak menjalani hidup sesuai dengan keinginannya. Karena ia hidup berdasarkan
keinginannya Tuannya. Ia menjadi pelayan Tuhan dan makhluknNya di muka bumi.
Jika di abad awal Islam kita melihat para sufi-yang sebagian penulis paparkan
di atas-dengan konsepnya yang masih sulit untuk dipahami masyarakat awam, maka
bagaimana dengan sufi kontemporer yang berhadapan dengan problematika zaman
yang berbeda? Pertanyaan inilah yang menggiring penulis untuk menulis makalah
ini. Imam Khomeini adalah salah satu sufi di zaman modern yang penguasaan
terhadap tasawuf sebelumnya juga tak perlu dirtanyakan lagi. Perbedaan mencolok
antara filsafat di zaman modern dan abad pertengahan atau kuno adalah pandangan
terhadap alam. Filsafat kuno meyakini kesatuan, sementara filsafat modern
tidak. Dan pandangan ini memiliki konsekuensi yang luas terhadap kehidupan
manusia hingga saat ini. Di sinilah tasawuf menjadi penting untuk dikaji,
terlebih pemikiran seorang tokoh yang otoritatif dalam suatu tradisi tertentu.
b.
Pembahasan
1.
Tasawuf
dalam tradisi Syi’ah
Jalaluddin Rahmat mendefinisikan
bahwa Syi’ah adalah orang yang memandang penggantian Nabi SAWW sebagai hak
khusus keluarga Nabi SAWW, dan mereka adalah orang yang mengikuti Ahlul Bayt
dalam keilmuan dan budaya Islami. [2]
Dalam persoalan tasawuf, orang Syi’ah menyebutnya sebagai ‘Irfan, yaitu sebuah
kecenderungan menguak rahasia dan ajaran-ajaran Ahlul Bayt.[3]
Dalam pandangan Syi’ah, posisi Ahlul Bayt sangat penting dalam agama maupun
dunia.[4] Mereka
adalah fondasi agama dan tiang keyakinan.[5]
Yang senantiasa menjaga hatinya, menjaga semua anggota badannya, mencurahkan
segala kebaikannya, dan senantiasa menahan diri dari perbuatan yang tidak baik.[6]
Irfan mesti dipandang sebagai bagian
sentral dan sangat penting dari semua agama. Irfan merupakan cara yang
paripurna untuk mencapai pengabdian yang didasarkan pada cinta, bukan pada rasa
takut atau harapan dengan memposisikan Tuhan sebagai rekan bisnis. Irfan juga
merupakan metode untuk memahami fakta-fakta agama secara mendasar.[7] Keunikan
irfan dalam tradisi Syi’ah adalah penggunaan filsafat sebagai metode penjelas.
Syiah memang terkenal dengan apresiasinya yang tinggi terhadap filsafat
sehingga mereka meyakini bahwa pengalaman mistis pun bisa dipaparkan secara
rasional.[8]
Dalam tradisi Syi’ah, menggali
ajaran-ajaran Ahlul Bayt yang berkenaan dengan cita rasa irfan dapat dilihat
dari kumpulan do’a-do’a yang diajarkan oleh mereka para Imam. Kata-kata mereka
mengekspresikan hubungan mesra dengan Tuhan. Dalam do’a terdapat ungkapan cinta,
ikhlas, rindu, harapan, ketakutan, pujian, dan lain-lain. Imam Ali dengan indah
mengungkapkan:
“Sembahanku,
cukup bagiku sebagai kemuliaan jika aku menjadi hamba-Mu
Dan cukup bagiku sebagai kebanggan jika
Engkau menjadi Tuhanku
Engkau adalah seperti yang kucintai.
Maka, jadikan aku seperti yang Kau cintai”[9]
Kalimat dalam do’a tersebut
menggambarkan betapa Allah dalam hati seorang wali adalah satu-satunya.
Seseorang tidak memiliki ketergantungan kepada selain Allah, bahkan kepada
amalnya sekalipun. Sehingga kemanapun seorang wali berjalan, apapun yang ia
lakukan, semuanya adalah ekspresi dari kandungan hati tersebut. sehingga tidak
mengherankan Imam Ali sendiri adalah seorang yang aktif dalam dunia social,
bukan karena aktifitas itu sendiri melainkan karena posisinya sebagai hamba
Allah. Inilah yang membedakan orang yang aktif dalam dunia social politik
karena kepentingan tertentu dengan orang yang aktif karena menjalankan perintah
Allah.
Imam Ali juga bercocok tanam, berkebun,
menanam pohon, melakukan perniagaan, dan mengumpulkan harta namum tidak untuk
disimpan. Dalam kezuhudan, Imam Ali menyertakan dirinya dalam kedukaan orang
lain. Bahkan dalam soal makan, meskipun beliau bisa untuk memuaskan diri dengan
segala fasilitas, beliau memilih untuk lapar.[10]
Dalam pandangan Syiah, para muballigh bukanlah seorang muslim biasa dan bukan
sekedar pengiku Ahlul Bayt, namun juga sebagai pelanjut risalah Ilahi, risalah
yang telah disampaikan Rasulullah saw dan para Imam suci. Karena itu mereka
harus memiliki syarat ilmu, akhlah dan kesucian jiwa.[11]
Imam Sajjad/Ali Zainal Abidin juga
meninggalkan warisan do’a-do’a dahsyat yang dikenal dengan Shahifah Sajjadiyah. Isi dari Shahifah tersebut adalah munajat
seorang hamba kepada Tuhan. Dalam salah satu lembar munajat para Pecinta Allah, Imam Sajjad mengungkapkan Ilahi, jadikan kami di antara orang-orang
yang Kau pilih untuk pendamping dan kekasih Mu…[12]
Imam Khomeini dan Irfan
Karya-karyanya dalam bidang Irfan
a. Syarh
Du’a al-Sahar atau Mukhtar al-Du’a
al-Muta’alliq bi al-Sahar, yang membahas mengenai spiritualitas yang tinggi
dalam do’a-do’a Islam yang paling inspiratif. Buku tersebut merupakan karya
beliau yang pertama dan ditulis ketika usianya masih 27 tahun.
b. Misbah al-Hidayah fi al-Khilafah wa
al-Wilayah, yang ditulis ketika beliau berusia 29
tahun. pembahasannya mengenai Khilafah dan Wilayah Nabi SAWW dari perspektif
sufistik Ibn ‘Arabi.
c. Syarah Fushus al-Hikam, yang
berisi mengenai komentar-komentar atas karya Ibn ‘Arabi tersebut.
d. Mi’raj al-Shalikhin wa Sholat al-Arifin,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Imam Khomeini, Hakekat & Rahasia Sholat; Mi’raj Ruhani: Tuntunan
Sholat Ahli Ma’rifat, terj. Hasan Rahmat, dkk (Bandung; Mizan, 2004).
e. Al-Arba’una Haditsan
Imam Khomeini belajar irfan pada Agha
Mirza Muhammad Ali Syahabadi yang memiliki karya berjudul Risyatul Bihar. Imam Khomeini belajar pada Syahabadi mengenai irfan
selama 6 tahun. pada usia 27 tahun beliau belajar Fushushul Hikam pada guru yang sama. Setelah beliau hijrah ke
Tehran, belia mengomentari Fushushul Hikam
dan Misbahul Uns, kemudian beliau
menulis Misbahul Hidayah dan komentar
mengenai doa Sahar.
Bagi Ayatullah Khomeini seorang arif
tak akan benar-benar mencapai maqam spiritual tertinggi jika tidak
memanifestasikan keimanan puncak yang telah diraihnya dalam bentuk concern
sosial politik untuk mereformasi masyarakat dan membebaskan kaum tertindas dari
rantai penindasannya. Irfan, dalam diri Imam Khomeini, merupakan pusat dari
setiap pandangannya. Baik itu politik, filsafat, maupun pandangan mengenai
persoalan-persoalan kemanusiaan. Menurut Imam, seluruh tujuan para nabi adalah
untuk ma’rifatullah. Jika ada seruan
untuk beramal sholeh, mencari ilmu, atau tazkiyatun
nafs, maka segala seruan tersebut kembali pada satu tujuan. Segala hijab harus disingkirkan sehingga
manusia bisa sampai pada tujuan ma’rifatullah
(ma’rifatul Haq).
Irfan di tangan Imam Khomeini sangat
kental dengan nuansa akhlak dan perncerahan diri. Secara individu, beliau sangat keras melatih
diri dan memberi teladan kepada banyak orang tentang kesederhanaan dan sikap
cinta kebenaran. Allah memberi manusia berbagai fasilitas berupa akal, para
nabi dan para wali supaya manusia menyelamatkan diri dari siksaan neraka. Dan
bagi siapa saja yang selalu menggunakan fasilitas Allah itu, Imam Khomeini
mengatakan “tunjukkan sikap hormat kepada mereka yang selalu mencari pencerahan
diri”.[13]
Imam Khomeini meyakini bahwa
kedaulatan seluruh eksistensi berada di tangan Tuhan. Sehingga alam semesta
merupakan tajalli-Nya. Implementasi dari prinsip tersebut bersifat takwini dan tasyri’i.
Adapun konsep mendasar dari beliau
mengenai 40 Hadits, do’a Sahar dan Misbahul
Hidayah adalah tentang manusia sempurna. Imam Khomeini, seperti para sufi
lainnya, memiliki perhatian khusus dalam menelusuri pembahasan dasar-dasar
manifestasi al-Haq beserta tingkatannya. Beliau berkata setiap wujud memiliki
aspek ilahiyah, yang akan mempersiapkan dirinya dalam menerima kehadiran aspek
Rububiyyah-Nya, dimana segala fenomena berasal dari-Nya. Penampakan Rububiyyah
ini berbeda-beda tergantung pada tingkatan manifestasinya. Tingkatan-tingkatan
manifestasi tersebut adalah:
1. Tingkatan
kegaiban pertama, ta’ayyun awwal, hazrat
zat, dan haqiqatul haqaiq.
2. Kegaiban
kedua, ta’ayyun tsani, dimana segala sesuatu akan nampak dengan sifat
keilmuannya.
3. Tingkatan
ruh dan nampaknya hakikat-hakikat nonmateri dan basith (simple), alam ghaib,
alam malakut.
4. Alam
mitsal, yaitu sebuah alam di antara alam ruh dan alam materi, atau yang biasa
disebut alam barzakh.
5. Alam
jasmani, atau alamnya fenomena materi.
6. Tingkatan
Insan Kamil yang meliputi seluruh fenomena Ilahi.[14]
Bagi Imam Khomeini, manusia sempurna
tidak pernah mengerjakan sesuatu yang berdasarkan pada keinginannya sendiri,
karena kerja mereka adalah kerja Tuhan. Kerja mereka tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu,[15]
sehingga mereka bisa melewati berbagai tingkatan hanya dalam beberapa saat
saja. Kualitas spiritual diukur dari sejauh mana ia bisa keluar dari pengaruh
materi dan kembali pada alam spiritual atau alam ghaib.
Hubungan antara Irfan
dan Wilayah Fiqih
Dalam Syi’ah, seorang wali faqih
didudukkan sebagai pemimpin politik masyarakat. Wilayah spiritual dan lahiriah
Rasulullah dan imam-imam maksum adalah sesuatu yang tidak terpisahkan.
Pemerintah dalam kedaulatan pemerintahannya harus mengatur politik dan
kebijakannya secara menyeluruh. Berkenaan dengan keadilan, mereka harus dipilih
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi dualism antara dunia dan akhirat. Jadi,
seorang yang terpenjara dalam nafsunya sendiri tidak dapat menduduki posisi
wilayah meskipun secara lahiriah memenuhi memungkinkan itu. Dalam keyakinan
Imam Khomeini, begitu juga Syiah Imamiyah, bahwa selama masa keghaiban,
kepemimpinan dipegangn oleh Insan Kamil dan segala kekuatan yang ada di
masyarakat diarahkan untuk mendapatkan kesempurnaan spiritual mereka.
Bagi Imam Khomeini, “wilayah” dalam
pembahasan wilayah faqih bermakna
kedaulatan dan mengatur kebijakan negara serta menjalankan hukum-hukum syariat,
bukan dalam pemaknaan bahwa wilayah faqih memiliki maqam yang luar biasa dan
bahkan telah melewati batasan manusia yang adil. Wilayah dalam pembahasan ini
adalah wilayah faqih yang memiliki dua ukuran mendasar yaitu ilmu dan amal.
Persyaratan ini diperlukan supaya manusia tetap berjalan dalam koridor insane
kamil. Maka, Rasulullah adalah manusia yang berada di puncak pyramid dalam
menjalankan dan mengatur masyarakat muslim.[16]
Kewajiban dalam menjalankan
hukum-hukum, membangun struktur, dan dasar-dasar pemerintahan Islam akan
meniscahayakan keharusan adanya khilafah, karena tanpanya risalah Rasulullah
tak akan terwujud. Sepeninggal Rasulullah, umat Islam tetap membutuhkan seseorang
untuk menjalankan peraturan dalam masyarakat. Di sinilah teori Insan Kamil
memiliki konsekuensi secara kosmologis dan sebagia pandangan dunia. Dalam
realitas masyarakat, keyakinan mengenai Insan Kamil menggiring pada peningkatan
intelektual dan spiritual. Insane Kamil adalah bingkai dari “greget”
masyarakat. Tugas penting danri para wali dan nabi adalah untuk menggiring
manusia pada maqam tauhid haqiqi. Gerakan ini sangat mungkin untuk diikuti oleh
semua manusia, karena pada dasarnya, meski sulit, manusia selalu merindukan dan
mencari wujud yang lebih tinggi.[17]
Imam Khomeini sendiri adalah salah
satu dari Insan Kamil yang berusaha bangkit melawan budaya jahiliyyah di masa
modern. Beliau tidak hanya menjadi rujukan untuk Irfan teoritik tapi juga Irfan
praksis, atau disebut juga dengan istilah Irfan Nazhari dan Irfan ‘Amali. Irfan
amali merupakan bagian yang menjelaskan hubungna antara kewajiban-kewajiban
manusia dengan dirinya, alam, dan Tuhan, sedangkan irfan nazhari adalah ilmu
yang praksis. Terlebih lagi di zaman yang penuh dengan fitnah, maka kemunculan
orang alim adalah keharusan.[18]
Keyakinan Imam Khomeini mengenai
Islam adalah bahwa Islam untuk segala hal, Islam datang untuk memperbaiki
manusia, dan manusia adalah segalanya, seluruh alam adalah manusia. Mereka yang
akan pembimbing manusia harus mengetahui seluruh alam, sehingga dapat
mengantarkan manusia pada derajat yang dimilikinya. Bagi mereka yang hanya
memperhatikan segi syari’at saja dan melupakan sisi batin, maka mereka tak akan
sampai pada hakikat dan ma’rifat. Imam mengajak pada tazkiyatun nafs dan tidak
menjauh dari masyarakat dan social.
Hukum-hukum akhlaki Islam adalah politik. Sebagaimana Imam Ali r.a
menyatakan: Demi Allah, aku akan menuntut balas terhadap si penindas untuk
kepentingan si tertindas, lalu aku akan ikat hidung si penindas dengan tali,
kemudian aku seret dia menuju sumber kebenaran, sekalipun ia tidak mau.[19]Kalimat
ini semakin meyakinkan bahwa Islam pararel dengan langkah-langkah politik yang
sejati, bukan politik golongan. Langkah-langkah irfani yang dijalankan melalui
jalur politik tentu bukanlah tugas yang ringan, dan ini adalah bagian dari
ujian para sufi dalam menegakkan tiang kebenaran di muka bumi sebagaimana para
nabi. Imam Ja’far Shadiq a.s menyatakan: Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla
menjanjikan cobaan kepada seorang Mukmin sebagai mana seseorang menjanjikan
oleh-oleh kepada keluarganya dari perjalanan jauh.[20]
Irfan dan Hadits
Pembahasan tasawuf dalam tradisi Syiah tidak mengalami keterputusan dengan
teks-teks hadits, keduanya merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dan yang
dimaksud hadits di sini tidak terbatas pada tradisi Rasulullah saja tetapi
berlanjut kepada para Imam. Sebagaimana penulis sebutkan di awal (mengutip
Jalaluddin Rahmat) bahwa Irfan merupakan sebuah kecenderungan untuk menguak rahasia dan ajaran-ajaran Ahlul Bayt,
karena dalam pandangan Syi’ah, posisi Ahlul Bayt sangat penting dalam agama
maupun dunia.
Untuk membuktikan kalimat tersebut,
penulis mencoba menelaah karya Imam Khomeini yang berjudul 40 Hadits-telaah atas hadis-hadis mistis dan akhlak, karya tersebut
berisi 40 hadis diantaranya:
1. Hadits
tentang Jihad al-Nafs 21. Hadis tentang Syukur
2. Hadis
tentang Riya’ 22.
Hadis tentang takut Mati
3. Hadis
tentang Ujub 23.
Tipe-tipe Para Penuntut Ilmu
4. Hadis
tentang Takabur 24.
Tentang Klasifikasi Ilmu
5. Hadis
tentang Hasad 25.
Hadis tentang Waswas
6. Hadis
tentang Cinta Dunia 26.
Tentang Penuntut Ilmu
7. Hadis
tentang Ghadab 27.
Konsentrasi dan Perhatian Hati
8. Hadis
tentang ‘Ashabiyyah 28.
Pertemuan dengan Allah
9. Hadis
tentang Nifaq 29.
Wasiat Rasulullah kepada Ali
10. Hadis
tentang Hawa Nafsu dan Harapan 30.
Tentang Bagian-bagian Hati
11. Hadis
tentang Fitrah 31.
Allah tak bisa disifati
12. Hadis
tentang Tafakur 32.
Hadis tentang Rizki
13. Hadis
tentang Tawakkal 33.
Hubungan Iman dan Amal
14. Hadis
tentang Kecemasan dan Harapan 34.
Hadis tentang orang Mukmin
15. Cobaan
dan Penderitaan sang Mukmin 35.
Kebaikan Allah dan Keburukan Manusia
16. Hadis
tentang Sabar 36.
Sifat-sifat Dzatiyyah Allah
17. Hadis
tentang Tobat 37.
Mema’rifati Allah dengan Allah, Mema’
18. Zikir
kepada Allah rifati Rasul dengan Risalah
19. Ghibah 38.
Allah menciptakan Adam dg bentukNya
20. Hadis
tentang Ikhlas 39.
Kebaikan dan Keburukan
40.
Tafsir Surah al-Tauhid dan Ayat-ayat Pertama Surah al-Hadid
Salah
satu keunikan tasawuf adalah memiliki perspektif yang cenderung membalikkan
pandangan dunia pada umumnya, terutama pandangan dunia yang melandaskan diri
pada hal-hal yang materialistic. Jika kita membaca dan menikmati pandangan
sufistik Imam Khomeini dalam telaah 40 Hadis, akan didapatkan pemikiran yang
otentik buah dari kelezatan Irfany. Irfan selalu mengembalikkan segala sesuatu
kepada Pemiliknya, tidak kepada penjarahnya (segala sesuatu yang menghalangi
pandangan manusia kepada Allah). Sehingga nampak jelas perbedaan antara mana
yang asli dan palsu. Untuk mencicipi karya Imam tersebut, mungkin ada baiknya
jika penulis mengambil beberapa contoh penjelasan beliau tentang salah satu
hadis dalam buku tersebut.
Hadits
tentang Fitrah
Muhammad
Ibn Ya’qub (al-Kulaini) meriwayatkan dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn
Muhammad, dari Abu Mahmud, dari ‘Ali ibn Riab, dari Zurarah, yang mengatakan,
“Saya bertanya kepada al-Imam al-Shodiq mengenai firman Allah, ‘…fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia atasnya…’ (QS al-Rum (30): 30. Imam menjawab,
‘Ia menciptakan manusia atas dasar tauhid’.[21]
Kata fithrah berarti penciptaan. Juga dari kata fathara
yang memiliki arti menggoyahkan atau membelah. Seakan-akan proses penciptaan
adalah proses pembelahan. Tindakan orang berbuka puasa disebut ifthar yang
bermakna memutuskan kelanjutan puasa. Yang dimaksud dengan fitrah Allah yang
semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan
manusia. Meskipun dalam hadis ini kata fitrah dijelaskan sebagai kecenderungan
alamiah tauhid, bagi Imam Khomeini kata itu hanya merupakan penjelasan salah
satu makna terpenting dari kata fithrah. Jadi, fitrah mencakup segala seluruh
ajaran dan prinsip-prinsip yang benar.
Imam Khomeini memberikan tiga contoh berkenaan dengan hadis
tersebut. Sesuatu yang fitri dalam diri manusia diantaranya:
Kecintaan
manusia pada kesempurnaan,
Setiap contoh memiliki penjelasan masing yang membawa pada
kesimpulan bahwa ketiganya adalah sesuatu yang sudah ada dalam diri setiap
manusia. Dengan tegas, Imam mengatakan bahwa seluruh umat manusi, baik dari
penganut ajaran materialism maupun penganut ajaran-ajaran agama, di negara maju
maupun tertinggal, semua terdorong untuk mencapai kesempurnaan mutlak. Tak satu
pun individu yang memiliki karakter yang bertentangan sifat ini. Seluruh
manusia berusaha mencapai kesempurnaannya. Sehingga apabila ada anggapan
kesempurnaan terhadap sesuatu, meskipunn anggapan itu salah, manusia akan
melakukan percobaan demi percobaan untuk mengejar apa yang ia anggap sempurna
itu.
Kecintaan yang hakiki menuntut Kekasih Yang Hakiki pula.
Tak mungkin fitrah akan mencari sesuatu yang dapat dibayangkan oleh akal,
karena setiap yang dikhayalkan adalah tanda ketidaksempurnaan. Di sinilah
Pecinta dan Cinta hakiki dimungkinkan untuk bertemu. Untuk mendorong manusia
sampai pada pertemuan sejati tersebut, manusia diberikan dorongan berupa
kebutuhan-kebutuhan spiritual.[22]
Penegasan
Zat Yang Hak dan Sifat-Sifat-Nya,
dalam pembahasan ini,
Imam Khomeini meyakinkan bahwa fitrah cenderung menyukai Zat Yang Esa, karena
semua yang mengandung ketersusunan dari dua bagian atau lebih adalah tak
sempurna. Jadi, contoh yang kedua ini adalah konsekuensi dari contoh yang
pertama. Keberadaan Zat yang Esa juga berdampak pada sifatNya yang bebas dari
ketidaksempurnaan. Ahad, adalah satu dalam pengertian yang tidak tersusun dari
unsure apa pun, tidak juga satu dalam arti bilangan.
Keyakinan
akan Kebangkitan.
Allah menanamkan sifat dalam diri manusia
berupa kerinduannya terhadap ketenangan dan kenyamanan. Tujuan dari setiap
tingkah laku manusia dalam sejarah, dari manapun itu berasal, semua pasti
menghendaki sebuah keadaan yang nyaman secara mutlak dan tidak tercemari oleh
sedikit pun kelelahan. Akan tetapi pada kenyataannya, kehidupan dunia tak
pernah menyuguhkan fakta tersebut. Oleh karena itu, apa yang menjadi impian manusia-yang
sangat mendasar itu-bisa didapatkan di dunia. Jika kita amati secara lebih
teliti, ternyata hukum alam dan sifat manusia pun seolah mengatakan bahwa
“dunia bukanlah rumahmu”. [23]
Tasawuf/Irfan di tangan Imam Khomeini memang sangat kental
dengan tarbiyah. Untuk menempa manusia mencapai kesempurnaan. Memang semua sufi
menuju kearah yang sama. Akan tetapi metode yang digunakannya berbeda. Dalam
buku yang berjudul Wasiat Sufi Imam
Khomeini kepada Putranya,
Cobalah untuk menjadi salah satu di
antara orang-orang yang bersahabat dengan orang-orang sholeh dan ‘arif, meski
kamu bukan salah satu dari mereka. Dan jangan meninggalkan dunia ini dengan
perasaan bermusuhan dengan mereka.[24]
Keyakinan akan
kebangkitan membuat jiwa menjadi tenang menghadapi kehiduapan. Tak ada yang
perlu ditakutkan karena jiwa sepenuhnya sadar bahwa kebangkitan yang
sesungguhnya adalah setelah kematian. Kehidupan adalah awal kematian, dan
kematian adalah awal kehidupan.[25]
Tentu keyakinan seperti itu tidak akan tumbuh dalam hati orang yang masih
terikat oleh dunia dan kabut hitam berupa kepentingan-kepentingan egosentrisme.
Karena yang mampu melihat Allah bukanlah pancaindera namun hati melihat-Nya
dengan iman.[26]
c.
Penutup
Dari
pembahasan di atas, sedikit menggambarkan tentang bagaimana tekanan irfan Imam
Khomeini. Tentu masih banyak persoalan lain yang bisa menjadi subjek
pembahasan. akan tetapi dari sini terlihat bagaimana perbedaan Imam Khomeini
dibandingkan para sufi sebelumnya. Konsep Wilayah faqih adalah hal baru dalam
tradisi Syiah. Karena para Imam Syi’ah tidak menjalani perjuangan dengan berada
pada pusat kekuasaan, akan tetapi Imam Khomeini tampil dengan memerankan para
agamawan di pusat kekuasaan politik. Selain mengandung unsur tasawuf, konsep
tersebut juga menegaskan bahwa dunia dan akhirat tidaklah terpisah. Inilah
barangkali titik tekan Imam Khomeini yang ingin membawa manusia pada
kesempurnaan dengan dan mencapai ma’rifatullah.
Daftar Pustaka
1. Abidin,
Imam Zainal Ali, Shahifah Sajjadiyah,
terj. Jalaluddin Rahmat, Bandung: Muthahhari Press, 2002,
2. Al-Qummi,
Syeikh Abbas, Mafatihul Jinan I,
Jakarta: al-Huda, 2008.
3. Fakhr,
al-Allammah al-Hujjah dkk, Bihar al-Anwar,
terj. Tim Penerjemah Padepokan Thaha, (nama kota tidak tertulis )Majelis Ta’lim
Padepokan Thaha, 2004.
4. Hasan,
Abdullah (peny.), Kata-kata Mutiara Ali
bin Abi Thalib, terj. Tholib Anis, Bandung: Pustaka Hidayah, 2009.
5.
Labib, Muhsin, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, Jakarta: Lentera, 2004.
6.
Muthahhari, Murtadha, Menggapai Gemerlap Cahaya Ilahi, terj.
Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2008.
7.
Muthhahhari, Murtadha, Neraca Kebenaran, terj. Najib Husein
Alydrus, Bogor: IPABI, 2001.
8.
Muthahhari, Murtadha, Fitrah, terj. Afif Muhammad, Jakarta: Lentera, 2008.
9.
----------------------------, Pengantar Filsafat Hikmah, terj. Tim
Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2002.
10.
Muthahhari, Murtadha, Keadilan Ilahi, terj. Agus Efendi, Bandung: Mizan, 2009.
11.
Mohajerniy, Mohsen, “ Prinsip-prinsip
Irfani Pemikiran Politik Imam Khomeini dalam Karyanya Misbahul Hidayah”, Al-Qurda
2, Januari 2011.
12.
Yamani, Antara al-Farabi dan Imam Khomeini, Bandung: Mizan, 2002.
13.
Khomeini, Imam, 40 Hadis, Telaah atas Hadis-hadis Mistis dan Akhlaq, terj. Zainal Abidin, Abdullah Hasan, dan Ilyas Hasan, Jakarta:
al-Huda, 2004.
14.
--------------------, Wasiat Sufi Imam Khomeini kepada Putranya,
terj. Yamani, Bandung: Mizan, 2001.
15.
----------------------, Manajemen Nafsu, terj. Salman
Fadhlullah, Jakarta: Al-Huda, 2010.
16.
Syihab, Quraisy, Sunnah-Syiah bergandengan tangan, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
17.
Mohammed Khamene’i, “Ciri Pewaris Nabi”.
Jakarta: IKMAL, 2010.
18.
Radhi, Sayid Syarif (peny.), Nahjul
Balaghah I, terj. Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2008.
19. Rahmat,
Jalaluddin, Tasawuf dalam Perspektif
Syi’ah, Bandung, Mizan, 2003.
20.
Redaksi Misbah (Peny.), Tanya Jawab bersama Sayyidina Ali bin Abi
Thalib, terj. Abu Ali Jadid & Nuh Alhaddad, Jakarta: al-Misbah, 2004.
21.
The Ahl-Ul-Bayt World Assembly, Teladan Abadi, Muhammad Saw, terj.
Muhammad Alcaff, Jakarta: alh-Huda, 2009.
22.
The Ahlul Bayt World Assembly, Panglima Sepanjang Masa, Amirul Mukmini Ali
Kw, terj. Saleh Lapadi, Jakarta: al-Huda, 2008.
23.
Witteven, H.J. Tasawuf
in Action, terj. Ati Cahayani, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.
[1]
Ibid, hlm. 36
[4] Semua
kelompok dari golongan Syi’ah menganggap bahwa Ahlul Bayt memiliki kedudukan
sangat penting dalam hal agama maupun dunia. Begitu juga dengan Syi’ah imamiyah
(yang meyakini bahwa Imam ketujuh adalah Imam Musa Kadzim). Pada masa keghaiban
Imam Mahdi, posisi para Imam diwakili oleh para faqih. Maka tidak mengherankan
jika semangat Irfani dalam Syiah tak pernah jauh dari sikap terhadap
kedzaliman.
[12] Isi dari Shahifah tersebut tidak
hanya bermuatan tema-tema tasawuf seperti penempuh jalan thariqat, munajat
pendamba, munajat orang yang berharap, munajat para pecinta Allah saja, tetapi
juga berkaitan dengan do’a sehari-hari, do’a masuk bulan ramadhan, dan
lain-lain yang berkaitan dengan waktu. (lihat. Shahifah Sajjadiyah).
[13]
Sewaktu membaca kalimat tersebut, penulis berhenti sejenak membaca karena hati
menggumam “betapa sedikit orang-orang yang ingin melakukan pencerahan diri dan
betapa banyak yang meremehkan aktifitas tersebut”. Sehingga ketika membaca kata-kata Imam
Khomeini tersebut penulis merasa bahwa beliau adalah salah satu teman di antara
orang-orang yang sedikit itu. (lihat. Manajemen
nafsu, hlm. 62)
[15]
Merupakan konsekuensi dari pemahaman bahwa satu-satunya yang ada hanyalah Allah
itu sendiri. Demikianlah jika dijelaskan secara takwini, namun secara tasyri’I,
manusia mengikutinya dengan melakukan penempaan diri sehingga ia tidak lagi
dikendalikan oleh hawa nafsunya dan sadar sepenuhnya bahwa ia adalah bagian
dari keberadaan Allah.(lihat, Murtadha Muthahhari dalam Pengantar Filsafat Hikmah.)
[16] Yamani, Antara al-Farabi dan Imam Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002), hlm.
16.
[19]
Kalimat tersebut jika dipahami secara sederhana akan menimbulkan kesan dangkal
yakni kepentingan antara kedua belak pihak untuk urusan duniawi. Akan tetapi,
Imam Ali sama sekali tidak berkepentingan terhadapnya, bagi beliau, tindakan
seperti semata-mata karena beliau diperintahkan oleh Allah. lihat, Nahjul Balaghah I.
[23] Ibid, hlm. 217.
[24] Imam Khomeini, Wasiat Sufi Imam Khomeini kepada Putranya,
terj. Yamani (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar