Pendahuluan
Al-Quran merupakan petunjuk
sempurna yang dibutuhkan oleh manusia. Salah satu kebutuhan manusia adalah
keadilan. Karena itu di dalam al-Qur’an termuat Term-term keadilan. Hal ini membuktikan bahwa manusia dan al-Quran adalah
pasangan serasi dan anggun. Keadilan merupakan masalah kemanusiaan yang selalu
relevan untuk dibahas secara teru-menerus. Mengingat kondisi manusia yang
begitu plural dan membutuhkan keserasian. Selain itu, keadilan juga melandasi
pandangan dunia, pandangan mengenai tatanan kehidupan secara keseluruhan.
Semakin adil pandangan dunia maka semakin sedikit masalah yang ditumbulkan
darinya. Sebaliknya, semakin ideology/pandangan dunia jauh dari nilai-nilai
keadilan, maka semakin banyak ancaman yang ditimbulkan dari pandangan tersebut.
Manusia mendasarkan tindakannya pada pikiran yang ia yakini.
Berbagai pandangan mengenai
keadilan pasti memiliki nilai mendasar yang meletakkan sesuatu sebagai yang
paling penting. Jika kekuasaan dianggap paling penting, maka keadilan berarti
segala sesuatu yang dapat mencapai tujuan kekuasaan. Jika kesenangan dianggap
paling penting, maka keadilan bertolok ukur pada kesenangan. Jika yang
terpenting adalah harta, maka teori keadilan adalah segala pemikiran yang
mendukung menumpuknya harta dan yang tidak berhubungan dengan harta dianggapnya
sebagai pembungkus dan alat saja. Dan jika yang terpenting adalah kelompok,
maka konsep keadilan pasti mengikuti kepentingan kelompok. Dan itulah yang saat
ini memecah belah manusia ke dalam berbagai fanatisme, kepentingan, bahkan
pemusnahan. Dari contoh tersebut penulis yakin begitu pentingnya ajaran tentang
keadilan dalam kehidupan. Jika berbagai konsep mengenai keadilan sudah
teraplikasi dalam kehidupan, maka konsep tersebut tidak hanya menyentuh wilayah
sudut pandang namun lebih dari itu, ia juga pendorong misi demi tegaknya
keyakinan seseorang atau kelompok secara nyata. Dan jika sudah masuk dalam
kategori kelompok, maka konsekuensinya adalah menghapus kelompok yang lain.
Masalah keadilan menjadi semakin
kabur jika menyangkut kepentingan segelintir kelompok.[1]
Kekaburan semacam itu tidak akan terjadi jika manusia kembali kepada ajaran
samawi yang suci dan dengan hati suci pula. Islam memandang manusia tidak hanya
dari aspek raga melainkan juga dari aspek jiwa, tidak hanya horizontal tapi
juga vertical. Penulis mencoba memulai tulisan ini dari kerangka tersebut.[2]
Pembahasan
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan beserta mereka Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Q.S Al-Hadid (57): 25.[3]
Allah, sebagai Pencipta yang
melimpah cinta-Nya, mengirimkan para nabi kepada umat manusia demi kepentingan
manusia itu sendiri. Supaya mereka selamat dalam menjalani kehidupan yang
panjang ini. Supaya mereka dapat kembali kepada Penciptanya dan meraih
kemenangan. Terhindar dari malapetaka, suasana permusuhan antar sesama, kondisi
tumpang tindih, kesasar jalan, dan berbagai kondisi yang menjauhkan manusia
dari fitrahnya. Semua proses tersebut mengharuskan keadaan yang dapat menopang
seluruhnya, yaitu keadilan. Demi keadilanlah para nabi dijamin kesuciannya dan
dikuatkan bukti-bukti kebenaran pada mereka.
Dari ayat tersebut keadilan
merupakan aplikasi horizontal yang menyangkut tanggungjawab manusia sebagai
subjek penegak, sedangkan para nabi sebagai penyambung hubungan manusia kepada
Tuhan sekaligus pemimpin. Peran nabi sebagai figure sentral dalam keteladanan masyarakat.
Dalam ayat tersebut, adil disebut dengan istilah al qisth. Konotasi yang
terkandung dalam kata tersebut ialah adil dalam arti wajar kewajaran. Tidak
kurang dan tidak berlebihan. Tidak berlebihan dalam mengharamkan sesuatu
sehingga berujung pada penghakiman dean perpecahan. Wajar dalam penggunaan fasilitas
sehingga tidak bersikap boros (apalagi fasilitas tersebut hasil dari amanah
orang banyak). Tidak mereduksi sebuah realitas untuk kepentingan sectarian.
Tidak menyembunyikan kebenaran dan membalikkan fakta sehingga timbul fitnah
dalam masyarakat. Bahkan, kesalahan berpikir pun bisa melanggar konsep keadilan
dalam makna ini, karena meletakkan sesuatu tidak sebagaimana wajarnya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia,
kalimat ‘amr ma’ruf nahi munkar misalnya,
merupakan slogan yang popular. Slogan tersebut, jika tidak diletakkan secara
proporsional, maka setiap orang akan merasa berhak untuk bertindak
sewenang-wenang tanpa memperhatikan akbibat yang ditimbulkan. Tentu akan ada
pihak yang merasa terabaikan dalam proses yang tidak diolah secara ilmu maupun dipertimbangkan
secara estetika itu. Kesalahan dalam memahami saja dapat meniadakan
keseimbangan dalam hubungan bermasyarakat karena menimbulkan ketidaktepatan
bertindak. Secara otomatis prinsip al-qisth akan ternodai. Prinsip al-qisth ini
memiliki cakupan yang sangat luas dalam wilayah kehidupan sehingga konotasinya
tidak hanya mencakup adil secara hukum saja, melainkan estetika, filsafat,
budaya, politik dan lain-lain.
Posisi manusia sebagai khalifah di
muka bumi memiliki mandat untuk berperilaku sebagaimana perilaku Allah. setiap
individu bekerja sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing sehingga masyarakat
merupakan kumpulan individu-individu yang aktif sebagaimana memanifestasikan
sifat ketuhanan dalam diri-Nya. Terciptalah suatu tatanan yang ilahiyah.
Kondisi tersebut mensyaratkan dihapuskannya segala jenis perbudakan. Sehingga
setiap tirani yang menguasai dan mengekploitasi demi kepentingan segelintir
orang, harus dihapuskan. Langkah-langkah yang sistemik dalam memanifestasikan
sifat Allah sangat diperlukan. Tidak hanya berkaitan dengan pembangunan
lembaga-lembaga, akan tetapi pembangunan jiwa yang sadar akan posisinya sebagai
pengemban amanah, kesadaran mengenai posisi manusia sebagai makro kosmos dan
diberi anugerah untuk menjalankan perintah sang Khaliq.
Terkait dengan implementasi
keadilan dalam al-Quran secara sistemik, penulis mendapatkan sebuah contoh yang
menarik untuk dikaji, yaitu beberapa Asas-Asas Umum dalam Wilayatul Faqih.
Asas-asas tersebut berjumlah 8 pasal. Landasan ideologis dari asas tersebut
adalah keyakinan bahwa Allah memiliki kedaulatan ekslusif untuk mengatur alam,
maka kepatuhan terhadap-Nya adalah keniscahaya (salah satunya), dan proses
untuk sampai pada tujuan tersebut dikawal oleh undang-undang. Karenanya, dalam
pasal tiga termuat 16 ayat yang mewajibkan pemerintah untuk mengerahkan semua
sumber daya ke tujuan pembersihan total imperialism dan mencegah pengaruh asing
(pasal ke 5).[4]
.Islam tidak mendikotomikan
kepentingan manusia dan kewajibannya kepada Tuhan. Keduanya berjalan seirama.
Mengurus kepentingan manusia berarti melaksanakan perintah Tuhan, begitu juga
sebaliknya. Sebuah prinsip tauhid, totalitas dan tanpa dikotomi. Oleh karena
itu, persoalan keadian adalah salah satu cabang dari prinsip tauhid, karena
mengabaikannya sama dengan melanggar undang-undang Tuhan. Syariah-dalam hal ini-memiliki peran penting,
karena ia merupakan alat untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan.
Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa syariah bukanlah oppressi melainkan
eksplorasi dari sifat dasar manusia yang menuntut adanya regulasi tertentu
dalam pengembangannya.[5]
Dengan kata lain, fitrah adalah sifat dasar manusia yang jika dieksplorasi,
maka wujudnya adalah syariah itu sendiri. Syariah membantu manusia untuk
bersikap adil sebagai, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun sesama
manusia.
Sikap adil dalam memposisikan diri
sesuai dengan rumus yang ditetapkan oleh Penciptanya juga membutuhkan syariah. Misalnya,
“dan dirikanlah sholat, tunaikanlah
zakat,dan taatlah kepada rasul supaya kamu mendapar rahmat” (S. An-Nur:
56).[6]
Jika keadilan bermakna penempatan sesuatu sesuai tempatnya (al-qisth yang
bermakna wajar atau patut), maka sebagai hamba, layaknya ia menyembah dan
mengabdi. Perintah dan larangan sejatinya adalah pertolongan dari Allah supaya
manusia sanggup memposisikan dirinya secara layak dan mendapatkan keselamatan,
karena keselamatan semua adalah hak makhluk. Dan hak itu berasal bukan dari
manusia melainkan dari yang memiliki manusia. Maka sewajarnya apabila hak-hak
itu kemudian eksplorasi supaya kembali ke asalnya.
Salah satu bentuk keadilan adalah pemisahan
antara yang haq dan batil, “sesungguhnya
al-Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil.”
(QS. At-Thariq: 13). Segala bentuk pengaburan antara keduanya berarti
pertentangan dengan perilaku Allah yang memisahkan antara keduanya. Keadilan
dalam Islam selalu berkaitan dengan Allah, bahkan segala perkara selalu
terhubung dengan-Nya. Inilah yang membedakannya dengan konsep-konsep sekuler mengenai
pandangan dunia. Ada konsep kepasrahan, ketergantungan, ketundukan, ketaatan.
Yang intinya adalah membuang jauh-jauh egosentrisme dalam menetapkan sesuatu.
Bahkan dalam cerita-cerita sufi, seseorang dianjurkan untuk memilih salah satu
diantara dua hal yang sama-sama benar, dan yang salah satu itu harus yang ia
tidak sukai.
Alkisah, Abu Bakar dan Umar membaca
ayat-ayat al Quran. Abu Bakar membacanya dengan lirih sedangkan Umar membacanya
dengan keras. Kemudian Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar tentang alasannya
membaca dengan suara yang lirih, beliau menjawab “karena al-Quran itu suci maka harus dibaca dengan pelan supaya ia
tidak terkotori oleh pendengaran”. Sedangkan Umar beralasan “karena al-Quran
itu suci maka harus membacanya dengan keras supaya yang lain ikut tersucikan
karena mendengar bacaan al-Quran”. Kemudian, kepada Abu Bakar, Rasulullah
memerintahkan untuk membacanya dengan keras. Sedangkan kepada Umar, Rasulullah
memerintahkannya untuk membacanya dengan lirih. Karena jika pelaku kebenaran
itu disandarkan pada kesenangan hatinya maka nilainya tidak lebih tinggi dari
kebenaran itu sendiri. Di sinilah proses penyucian ego menjadi teruji.
Pendidikan jiwa manusia yang berlandaskan pada pasrah dan rela terhadap
Pemiliknya. Sehingga manusia yang sudah mencapai tingkat tersebut adalah
manusia yang selalu menyelamatkan. Ketika dititipkan kepadanya kekuasaan ia
tidak menggunakannya untuk mencelakakan banyak lantaran egosentrsmenya. Karena
ia sendiri sadar bahwa dirinya tidak memiliki kekuasaan, dan kekuasaan yang
sejati adalah milik Sang Penciptanya.
Bagi penulis, itulah yang
membedakan keadilan dalam Islam dengan keadilan yang berdasarkan hanya pada
humanisme. Jika manusia berhenti pada humanism maka segala konsep yang
dihasilkan akan mentok berpusar pada kepentingan manusia. Dan ketika terjadi
perbedaan pemahaman antar manusia yang memiliki kepentingan itu, maka ketidakadilan
akan terjadi. Dalam demokrasi, banyak orang percaya bahwa siapapun boleh
melakukan apa saja karena meyakini bahwa tindakannya itu bersesuaian dengan
nilai-nilai demokrasi. Misalnya, monopoli pengelolaan kekayaan dengan teknologi
yang diimpor dan undang-undang yang dibuat untuk melindungi proses “humanisasi”
atau “demokrasi” tersebut. kemudian diciptakan opini-opini untuk menggiring
kesadaran manusia supaya ia lupa dan tidak memikirkan mengenai apa tujuan
hidup, apa yang mendasar dalam kehidupan, dan seterusnya. Dengan demikian,
manusia semakin kehilangan anatomi nilai dalam melihat segala persoalan. Jika
konsep tentang penilaian sudah kabur karena standar-standarnya ditetapkan
berdasarkan hanya dengan pertimbangan ekonomi industry, maka rusaklah
masyarakat.[7]
Keadilan dan hak asasi manusia tercakup
dalam Islam, bahkan Imam Ali berbicara sangat keras dalam persoalan tersebut.
Dalam salah satu nasihat beliau kepada penguasa, beliau mengatakan: taatilah
hak-hak Allah dan hak-hak orang lain dan ajaklah keluarga dan teman-temanmu
serta rakyatmu untuk melakukan hal yang sama. Dan bila yang terjadi adalah
sebaliknya, maka kau sudah berbuat zalim, pada dirimu sendiri juga pada
kemanusiaan. Pada saat itu, bukan hanya manusia, tapi juga Allah akan menjadi
musuhmu”.[8]
Dari kalimat Imam Ali tersebut, terlihat keterkaitan yang sangat erat antara
keadilan dengan keridhaan Allah. Itu juga berarti bahwa Allah menetapkan sunnah
yang berlaku sepanjang masa, yaitu jika penguasa berbuat ketidakadilan maka dia
sama dengan mendaftarkan dirinya menjadi musuh Allah.
Dalam
al-Quran dijelaskan: “Wahai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami
menjadikan kamu berbangsa-bangsa[9]
dan bersuku supaya kamu saling mengenal”,(QS: Al-Hujurat: 13) [10]
Mengisyaratkan bahwa Islam menolak pembedaan perlakuan manusia dengan dasar
suku, agama, ras, dan anatomi atau SARA. Sehingga jika ada pertanyaan apakah
Islam bisa sejalan dengan humanism? Bagaimana mempertemukan Islam dengan
isu-isu kesetaraan?, maka pertanyaan tersebut tidak relevan, mengingat bahwa
al-Quran sendiri mengandung ajaran mengenai persoalan tersebut.
Tentu
membutuhkan kebesaran hati para penganut Islam untuk mengamalkan ajaran
keadilan dalam al-Quran. Jika yang bermain adalah logika kekuasaan dan uang,
maka hal itu sulit diwujudkan. Keberadaan sebuah lembaga yang independen dan
mandiri lebih bisa diharapkan untuk terciptanya tatanan adil yang Qurani
daripada mengambil atau ikut menjadi bagian kekuasaan yang bermain-main. Dalam
perebutan kekuasaan dan uang apapun bisa terjadi, dan agama hanya menjadi alat
dan kedok dari proses tersebut. Apalagi ditambah dengan kelemahan orientasi
hidup dan kerendahan tingkat spiritualitas umat.[11]
Manusia diciptakan
menurut peta teladan Allah.[12]
Dengan demikian, persoalan manusia adalah bagaimana memperpendek jarak antara
kehendak dirinya dengan kehendak Tuhan. Seringkali dalam kehidupan manusia
mengira bahwa ia memiliki wewenang untuk mengatur segala yang ia kuasai.
Terlebih jika jiwanya tertutupi oleh kabut egosentrisme. Jika memang dasar
keberadaan manusia dan sifatnya merupakan turunan dari sifat Allah, maka
sejatinya manusia itu tidak memiliki apa-apa yang bisa dijadikan sebagai
sandaran atau hak menuntut. Akan tetapi, kelahirannya seolah menutup
kesadarannya, sehingga ia menjadi seorang individu yang terpisah dari keadaan
awal (fitrah). Al-Quran menginformasikan
kepada kita bahwa Allah memiliki nama-nama. Salah satu namanya adalah yang Maha
Adil. Jika dikaitkan dengan posisi manusia dalam sejarah, maka bagaimana sifat
adilnya Allah yang termanifestasikan dalam diri
manusia kemudian menjadi actual.[13]
Urainan keadilan dalam al-Quran
tentu tidak sebatas kajian teks semata, karena keadilan itu sendiri merupakan
masalah kemanusiaan yang senantiasa hadir. Apalagi ketika doktrin teologi sudah
menyatu atau melebaga dan berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi politik.[14]
Dan hal itu terjadi dalam sejarah umat Islam. Dalam menyikapi persoalan
tersebut-pembumian al-Quran-Maka tidak
mengherankan mengapa wacana mengenai Teologi Pembebasan di kalangan para pemikir muslim
modern juga mendapat perhatian.
Isu yang satu
ini memang syarat dengan ideologi. Upaya pembelaan terhadap kaum yang tertindas
menjadi dasar mengapa isu tersebut dimunculkan. Teologi perlawanan atau yang
identik dengan “teologi kiri”. Pada dasarnya ilmu tidaklah netral karena syarat
dengan keberpihakan terhadap sesuatu. Begitu juga dengan isu- mengenai teologi
pembebasan. Berdasarkan kenyataan sejarah bahwa Rasulullah
s.a.w. adalah seorang pembebas dan berpihak kepada yang lemah, maka sangat
relevan untuk mengangkat isu teologi pembebasan di tengah kekuasaan yang tiranik.
Dengan asumsi bahwa teologi sebagai sebuah madzhab
bukanlah hal yang muncul pada saat masa nabi, maka dapat ditemukan celah antara agama dan politik,
dengan kata lain bahwa agama dalam proses sejarah sering dijadikan sebagai
pembenar kekuasaan. Alat analisis seperti ini cukup
tajam untuk mengupas persoalan keadilan dan menerapkan al-Quran secara
kontekstual. Awal perkembangan
masalah ini dalam sejarah umat Islam misalnya,
dimana usman bin affan mengangkat
sebahagian besar pengawainya dari kaumnya sendiri. Ini melahirkan akumalisi hak
milik hanya pada sebagian pegawai usman saja, tanah banyak dimiliki oleh
kaumnya. Saat terjadinya penaklukan yang sangat luas begitu banyak mendatangkan
kekayaan di Madinah, sehingga mendesak usman untuk memberi tempat kepada orang
kaya baru. Dengan terbentuknya kelas baru dalam masyarakat madinah ketegangan
semakin memuncak antara sikaya dengan si miskin.[15]
Ini melahirkan
konflik berdarah yang berkepanjangan hingga terbunuhnya Usman dan digantikan
oleh Ali, perkembangan aliran teologi semakin kentara, dengan munculnya
kelompok syi’ah yang memboikotnya yang dikenal dengan
kaum khawarij. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Muawwiyah, kelompok ini dan
kelompok zindiyah yang pendiri adalah bermazhab mu’tazilah, yaitu washil bin
Atha’ menentang begitu keras kebijakan pemerintahan Muawiyah yang terus
mengumpulkan milik pribadi.[16]
Rasulullah s.a.w. membangun masyarakat dengan konsep tauhid,
yaitu menegakkan keadilan dan kebajikan. Nabi Muhammad memang
sangat peduli dengan kaum tertindas yang berada dalam suatu system yang
kapitalistik.[17]
Nabi Muhammad ialah orang yang sederhana, berasal dari golongaQuraisy namun
tidak tergolong mewah. Dengan kesederhanaannya itulah Rasulullah berangkat menuju pembebasan umat dari penindasan. Ia
adalah bagian dari warga bangsa, sehingga tidak elitis dan ekslusif.[18]
Sikap
pasrah kepada Sang Pencipta akan termanifestasi pada penegakkan keadilan,
karena sikap adil juga bagian dari percintaan Khaliq dan makhluq, dan Islam
tidak memisahkan aktifitas dunia akhirat secara dikotomis. Akhir kata, innallaha yukhibbul muqsithin (QS. 49:
9)
Kesimpulan
· Allah, sebagai Pencipta yang
melimpah cinta-Nya, mengirimkan para nabi kepada umat manusia demi kepentingan
manusia itu sendiri. Supaya mereka selamat dalam menjalani kehidupan yang
panjang ini.
· Keadilan dan hak asasi manusia
tercakup dalam Islam
· Keadilan dalam Islam selalu
berkaitan dengan Allah, bahkan segala perkara selalu terhubung dengan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Quran al-Karim, terj. Departemen Agama
RI, Bandung: CV. Jumanatul Ali-Art,
2004.
2.
Noer, Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud
dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
3.
Ozal, A. Karkut (peny.), The Best Advices of Sayyidina Ali for Leader, terj. Kuwais,
Jakarta: Gema Insani, 2009.
4.
Wahid, Abdurrahman (ed.), Ilusi Negara Islam, Jakarta: Wahid
Institute, 2009.
5.
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung:
Mizan, 2002.
6. Amin Abdullah,
Studi Agama, Normatifitas atau
Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
7.
Falah, Maslahul, Islam ala Soekarno; Jejak Langkah Pemikiran
Islam Liberal Indonesia Yogyakarta: Keasi Wacana, 2003.
8. Watt, W. Montgomery, Studi Islam Klasik; Wacana
Kritik Sejarah, terj. Sukoyo, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
9. Anam, Munir Che, Muhammad & Karl Marx;
Tentang Masyarakat Tanpa Kelas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
10. Abdurrahman, Dudung
(dkk.), Sejarah Perdaban Islam dari
Klasik hingga Modern, Yogyakarta: Lesfi, 2002.
[1] Dalam pendahuluan ini,
sengaja penulis menyebut kalimat tersebut. karena yang penulis rasakan adalah
memang demikian adanya. Selain itu, demi
menghayati pentingnya keadilan di tengah ketidakadilan tatanan, cara berpikir,
cara menilai, cara menjalani kehidupan, dll, juga sebagai upaya penghayatan
seolah-olah al-Qur’an itu sedang diturunkan di saat penulis berpikir soal
keadilan sehingga terasa maknanya.
[7] Prof. Haidar Bagir bahkan
menyampaikan persoalan yang senada dalam
seminar mengenai pemikiran Ayatullah Muthahhati, bahwa ilmu-ilmu seperti
agama dan filsafat itu hukumnya adalah fardhu ‘ain. Senangkan ilmu-ilmu alat,
tekhnik, itu hukumnya fardhu kifayah. Karena pentingnya landasan ide dalam
penggunaan teknologi. Dan penulis menyaksikan sendiri pada kenyataannya,
kemajuan teknologi tidak pararel dengan perbaikan kehidupan manusia, baik itu
pendidikan, ekonomi, kebudayaan, kesehatan,
dan agama. Bidang-bidang kehidupan yang penting tersebut mengalami
persoalan yang serius karena standar keadilan sudah mengalami penyempitan.
[11] Dijelaskan dengan sangat
menukik dan berani dalam buku Ilusi
Negara Islam, kesan penulis ketika membaca buku tesebut adalah “benar juga,
kalau ingin membangun identitas Islam tapi dengan dasar hawa nafwu, apa bedanya
dengan yang selama ini mereka kritik. Kalau cabe sudah menjadi sambal tak perlu
dipertanyakan dimana cabenya”, mungkin kata-kata itulah yang tepat untuk
menggambarkan bagaimana realitas kejiwaan para penulis buku tersebut. mereka
adalah orang-orang yang disebut moderat, seperti Gus Dur, Gus Mus, dan Syafi’I
Ma’arif.
[12] Demikian penjelasan
seorang pendeta Stephen Tong dalam kuliahnya yang berjudul Filsafat Asia.
Membahas pemikiran Lao Tse dan Kong Hu Chu. Ada kemiripan-kemiripan antara
konsep kedua filosof tersebut dengan ajaran Injil. Sewatku penulis menyimaknya,
teringat hadis yang mengabarkan bahwa kullu mauluudin yuuladu ‘alaa fihtratin.
[13] Terkait dengan sifat
Allah yang termanifestasi ke dalam diri manusia, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa
satu-satunya wujud adalah Allah, tidak wujudu selain wujudnya Allah. dengan
kata lain, realitas hanya satu, dan yang satu itu bersifat ambigu, memiliki
sifat Khaliq dan makhluq. (Kautsar Azhari Noer dalam bukunya yang berjudul Wahdat
al-Wujud dalam perdebatan.
[15] Dudung Abdurrahman (dkk.), Sejarah Perdaban Islam dari Klasik hingga
Modern (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hlm. 55.
[16] W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah,
terj. Sukoyo (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar