Senin, 04 November 2013

Keadilan dalam al-Qur'an




Pendahuluan
Al-Quran merupakan petunjuk sempurna yang dibutuhkan oleh manusia. Salah satu kebutuhan manusia adalah keadilan. Karena itu di dalam al-Qur’an termuat Term-term keadilan. Hal ini membuktikan bahwa manusia dan al-Quran adalah pasangan serasi dan anggun. Keadilan merupakan masalah kemanusiaan yang selalu relevan untuk dibahas secara teru-menerus. Mengingat kondisi manusia yang begitu plural dan membutuhkan keserasian. Selain itu, keadilan juga melandasi pandangan dunia, pandangan mengenai tatanan kehidupan secara keseluruhan. Semakin adil pandangan dunia maka semakin sedikit masalah yang ditumbulkan darinya. Sebaliknya, semakin ideology/pandangan dunia jauh dari nilai-nilai keadilan, maka semakin banyak ancaman yang ditimbulkan dari pandangan tersebut. Manusia mendasarkan tindakannya pada pikiran yang ia yakini.
Berbagai pandangan mengenai keadilan pasti memiliki nilai mendasar yang meletakkan sesuatu sebagai yang paling penting. Jika kekuasaan dianggap paling penting, maka keadilan berarti segala sesuatu yang dapat mencapai tujuan kekuasaan. Jika kesenangan dianggap paling penting, maka keadilan bertolok ukur pada kesenangan. Jika yang terpenting adalah harta, maka teori keadilan adalah segala pemikiran yang mendukung menumpuknya harta dan yang tidak berhubungan dengan harta dianggapnya sebagai pembungkus dan alat saja. Dan jika yang terpenting adalah kelompok, maka konsep keadilan pasti mengikuti kepentingan kelompok. Dan itulah yang saat ini memecah belah manusia ke dalam berbagai fanatisme, kepentingan, bahkan pemusnahan. Dari contoh tersebut penulis yakin begitu pentingnya ajaran tentang keadilan dalam kehidupan. Jika berbagai konsep mengenai keadilan sudah teraplikasi dalam kehidupan, maka konsep tersebut tidak hanya menyentuh wilayah sudut pandang namun lebih dari itu, ia juga pendorong misi demi tegaknya keyakinan seseorang atau kelompok secara nyata. Dan jika sudah masuk dalam kategori kelompok, maka konsekuensinya adalah menghapus kelompok yang lain.
Masalah keadilan menjadi semakin kabur jika menyangkut kepentingan segelintir kelompok.[1] Kekaburan semacam itu tidak akan terjadi jika manusia kembali kepada ajaran samawi yang suci dan dengan hati suci pula. Islam memandang manusia tidak hanya dari aspek raga melainkan juga dari aspek jiwa, tidak hanya horizontal tapi juga vertical. Penulis mencoba memulai tulisan ini dari kerangka tersebut.[2]
Pembahasan
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan beserta mereka Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Q.S Al-Hadid (57): 25.[3]
Allah, sebagai Pencipta yang melimpah cinta-Nya, mengirimkan para nabi kepada umat manusia demi kepentingan manusia itu sendiri. Supaya mereka selamat dalam menjalani kehidupan yang panjang ini. Supaya mereka dapat kembali kepada Penciptanya dan meraih kemenangan. Terhindar dari malapetaka, suasana permusuhan antar sesama, kondisi tumpang tindih, kesasar jalan, dan berbagai kondisi yang menjauhkan manusia dari fitrahnya. Semua proses tersebut mengharuskan keadaan yang dapat menopang seluruhnya, yaitu keadilan. Demi keadilanlah para nabi dijamin kesuciannya dan dikuatkan bukti-bukti kebenaran pada mereka.
Dari ayat tersebut keadilan merupakan aplikasi horizontal yang menyangkut tanggungjawab manusia sebagai subjek penegak, sedangkan para nabi sebagai penyambung hubungan manusia kepada Tuhan sekaligus pemimpin. Peran nabi sebagai figure sentral dalam keteladanan masyarakat. Dalam ayat tersebut, adil disebut dengan istilah al qisth. Konotasi yang terkandung dalam kata tersebut ialah adil dalam arti wajar kewajaran. Tidak kurang dan tidak berlebihan. Tidak berlebihan dalam mengharamkan sesuatu sehingga berujung pada penghakiman dean perpecahan. Wajar dalam penggunaan fasilitas sehingga tidak bersikap boros (apalagi fasilitas tersebut hasil dari amanah orang banyak). Tidak mereduksi sebuah realitas untuk kepentingan sectarian. Tidak menyembunyikan kebenaran dan membalikkan fakta sehingga timbul fitnah dalam masyarakat. Bahkan, kesalahan berpikir pun bisa melanggar konsep keadilan dalam makna ini, karena meletakkan sesuatu tidak sebagaimana wajarnya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kalimat ‘amr ma’ruf nahi munkar misalnya, merupakan slogan yang popular. Slogan tersebut, jika tidak diletakkan secara proporsional, maka setiap orang akan merasa berhak untuk bertindak sewenang-wenang tanpa memperhatikan akbibat yang ditimbulkan. Tentu akan ada pihak yang merasa terabaikan dalam proses yang tidak diolah secara ilmu maupun dipertimbangkan secara estetika itu. Kesalahan dalam memahami saja dapat meniadakan keseimbangan dalam hubungan bermasyarakat karena menimbulkan ketidaktepatan bertindak. Secara otomatis prinsip al-qisth akan ternodai. Prinsip al-qisth ini memiliki cakupan yang sangat luas dalam wilayah kehidupan sehingga konotasinya tidak hanya mencakup adil secara hukum saja, melainkan estetika, filsafat, budaya, politik dan lain-lain.
Posisi manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki mandat untuk berperilaku sebagaimana perilaku Allah. setiap individu bekerja sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing sehingga masyarakat merupakan kumpulan individu-individu yang aktif sebagaimana memanifestasikan sifat ketuhanan dalam diri-Nya. Terciptalah suatu tatanan yang ilahiyah. Kondisi tersebut mensyaratkan dihapuskannya segala jenis perbudakan. Sehingga setiap tirani yang menguasai dan mengekploitasi demi kepentingan segelintir orang, harus dihapuskan. Langkah-langkah yang sistemik dalam memanifestasikan sifat Allah sangat diperlukan. Tidak hanya berkaitan dengan pembangunan lembaga-lembaga, akan tetapi pembangunan jiwa yang sadar akan posisinya sebagai pengemban amanah, kesadaran mengenai posisi manusia sebagai makro kosmos dan diberi anugerah untuk menjalankan perintah sang Khaliq.
Terkait dengan implementasi keadilan dalam al-Quran secara sistemik, penulis mendapatkan sebuah contoh yang menarik untuk dikaji, yaitu beberapa Asas-Asas Umum dalam Wilayatul Faqih. Asas-asas tersebut berjumlah 8 pasal. Landasan ideologis dari asas tersebut adalah keyakinan bahwa Allah memiliki kedaulatan ekslusif untuk mengatur alam, maka kepatuhan terhadap-Nya adalah keniscahaya (salah satunya), dan proses untuk sampai pada tujuan tersebut dikawal oleh undang-undang. Karenanya, dalam pasal tiga termuat 16 ayat yang mewajibkan pemerintah untuk mengerahkan semua sumber daya ke tujuan pembersihan total imperialism dan mencegah pengaruh asing (pasal ke 5).[4]
.Islam tidak mendikotomikan kepentingan manusia dan kewajibannya kepada Tuhan. Keduanya berjalan seirama. Mengurus kepentingan manusia berarti melaksanakan perintah Tuhan, begitu juga sebaliknya. Sebuah prinsip tauhid, totalitas dan tanpa dikotomi. Oleh karena itu, persoalan keadian adalah salah satu cabang dari prinsip tauhid, karena mengabaikannya sama dengan melanggar undang-undang Tuhan.  Syariah-dalam hal ini-memiliki peran penting, karena ia merupakan alat untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan. Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa syariah bukanlah oppressi melainkan eksplorasi dari sifat dasar manusia yang menuntut adanya regulasi tertentu dalam pengembangannya.[5] Dengan kata lain, fitrah adalah sifat dasar manusia yang jika dieksplorasi, maka wujudnya adalah syariah itu sendiri. Syariah membantu manusia untuk bersikap adil sebagai, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun sesama manusia.
Sikap adil dalam memposisikan diri sesuai dengan rumus yang ditetapkan oleh Penciptanya juga membutuhkan syariah. Misalnya, “dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat,dan taatlah kepada rasul supaya kamu mendapar rahmat” (S. An-Nur: 56).[6] Jika keadilan bermakna penempatan sesuatu sesuai tempatnya (al-qisth yang bermakna wajar atau patut), maka sebagai hamba, layaknya ia menyembah dan mengabdi. Perintah dan larangan sejatinya adalah pertolongan dari Allah supaya manusia sanggup memposisikan dirinya secara layak dan mendapatkan keselamatan, karena keselamatan semua adalah hak makhluk. Dan hak itu berasal bukan dari manusia melainkan dari yang memiliki manusia. Maka sewajarnya apabila hak-hak itu kemudian eksplorasi supaya kembali ke asalnya.
Salah satu bentuk keadilan adalah pemisahan antara yang haq dan batil, “sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil.” (QS. At-Thariq: 13). Segala bentuk pengaburan antara keduanya berarti pertentangan dengan perilaku Allah yang memisahkan antara keduanya. Keadilan dalam Islam selalu berkaitan dengan Allah, bahkan segala perkara selalu terhubung dengan-Nya. Inilah yang membedakannya dengan konsep-konsep sekuler mengenai pandangan dunia. Ada konsep kepasrahan, ketergantungan, ketundukan, ketaatan. Yang intinya adalah membuang jauh-jauh egosentrisme dalam menetapkan sesuatu. Bahkan dalam cerita-cerita sufi, seseorang dianjurkan untuk memilih salah satu diantara dua hal yang sama-sama benar, dan yang salah satu itu harus yang ia tidak sukai.
Alkisah, Abu Bakar dan Umar membaca ayat-ayat al Quran. Abu Bakar membacanya dengan lirih sedangkan Umar membacanya dengan keras. Kemudian Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar tentang alasannya membaca dengan suara yang lirih, beliau menjawab “karena al-Quran itu suci  maka harus dibaca dengan pelan supaya ia tidak terkotori oleh pendengaran”. Sedangkan Umar beralasan “karena al-Quran itu suci maka harus membacanya dengan keras supaya yang lain ikut tersucikan karena mendengar bacaan al-Quran”. Kemudian, kepada Abu Bakar, Rasulullah memerintahkan untuk membacanya dengan keras. Sedangkan kepada Umar, Rasulullah memerintahkannya untuk membacanya dengan lirih. Karena jika pelaku kebenaran itu disandarkan pada kesenangan hatinya maka nilainya tidak lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri. Di sinilah proses penyucian ego menjadi teruji. Pendidikan jiwa manusia yang berlandaskan pada pasrah dan rela terhadap Pemiliknya. Sehingga manusia yang sudah mencapai tingkat tersebut adalah manusia yang selalu menyelamatkan. Ketika dititipkan kepadanya kekuasaan ia tidak menggunakannya untuk mencelakakan banyak lantaran egosentrsmenya. Karena ia sendiri sadar bahwa dirinya tidak memiliki kekuasaan, dan kekuasaan yang sejati adalah milik Sang Penciptanya.
Bagi penulis, itulah yang membedakan keadilan dalam Islam dengan keadilan yang berdasarkan hanya pada humanisme. Jika manusia berhenti pada humanism maka segala konsep yang dihasilkan akan mentok berpusar pada kepentingan manusia. Dan ketika terjadi perbedaan pemahaman antar manusia yang memiliki kepentingan itu, maka ketidakadilan akan terjadi. Dalam demokrasi, banyak orang percaya bahwa siapapun boleh melakukan apa saja karena meyakini bahwa tindakannya itu bersesuaian dengan nilai-nilai demokrasi. Misalnya, monopoli pengelolaan kekayaan dengan teknologi yang diimpor dan undang-undang yang dibuat untuk melindungi proses “humanisasi” atau “demokrasi” tersebut. kemudian diciptakan opini-opini untuk menggiring kesadaran manusia supaya ia lupa dan tidak memikirkan mengenai apa tujuan hidup, apa yang mendasar dalam kehidupan, dan seterusnya. Dengan demikian, manusia semakin kehilangan anatomi nilai dalam melihat segala persoalan. Jika konsep tentang penilaian sudah kabur karena standar-standarnya ditetapkan berdasarkan hanya dengan pertimbangan ekonomi industry, maka rusaklah masyarakat.[7]
       Keadilan dan hak asasi manusia tercakup dalam Islam, bahkan Imam Ali berbicara sangat keras dalam persoalan tersebut. Dalam salah satu nasihat beliau kepada penguasa, beliau mengatakan: taatilah hak-hak Allah dan hak-hak orang lain dan ajaklah keluarga dan teman-temanmu serta rakyatmu untuk melakukan hal yang sama. Dan bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka kau sudah berbuat zalim, pada dirimu sendiri juga pada kemanusiaan. Pada saat itu, bukan hanya manusia, tapi juga Allah akan menjadi musuhmu”.[8] Dari kalimat Imam Ali tersebut, terlihat keterkaitan yang sangat erat antara keadilan dengan keridhaan Allah. Itu juga berarti bahwa Allah menetapkan sunnah yang berlaku sepanjang masa, yaitu jika penguasa berbuat ketidakadilan maka dia sama dengan mendaftarkan dirinya menjadi musuh Allah.
Dalam al-Quran dijelaskan: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa[9] dan bersuku supaya kamu saling mengenal”,(QS: Al-Hujurat: 13) [10] Mengisyaratkan bahwa Islam menolak pembedaan perlakuan manusia dengan dasar suku, agama, ras, dan anatomi atau SARA. Sehingga jika ada pertanyaan apakah Islam bisa sejalan dengan humanism? Bagaimana mempertemukan Islam dengan isu-isu kesetaraan?, maka pertanyaan tersebut tidak relevan, mengingat bahwa al-Quran sendiri mengandung ajaran mengenai persoalan tersebut.
Tentu membutuhkan kebesaran hati para penganut Islam untuk mengamalkan ajaran keadilan dalam al-Quran. Jika yang bermain adalah logika kekuasaan dan uang, maka hal itu sulit diwujudkan. Keberadaan sebuah lembaga yang independen dan mandiri lebih bisa diharapkan untuk terciptanya tatanan adil yang Qurani daripada mengambil atau ikut menjadi bagian kekuasaan yang bermain-main. Dalam perebutan kekuasaan dan uang apapun bisa terjadi, dan agama hanya menjadi alat dan kedok dari proses tersebut. Apalagi ditambah dengan kelemahan orientasi hidup dan kerendahan tingkat spiritualitas umat.[11]
Manusia diciptakan menurut peta teladan Allah.[12] Dengan demikian, persoalan manusia adalah bagaimana memperpendek jarak antara kehendak dirinya dengan kehendak Tuhan. Seringkali dalam kehidupan manusia mengira bahwa ia memiliki wewenang untuk mengatur segala yang ia kuasai. Terlebih jika jiwanya tertutupi oleh kabut egosentrisme. Jika memang dasar keberadaan manusia dan sifatnya merupakan turunan dari sifat Allah, maka sejatinya manusia itu tidak memiliki apa-apa yang bisa dijadikan sebagai sandaran atau hak menuntut. Akan tetapi, kelahirannya seolah menutup kesadarannya, sehingga ia menjadi seorang individu yang terpisah dari keadaan awal (fitrah).  Al-Quran menginformasikan kepada kita bahwa Allah memiliki nama-nama. Salah satu namanya adalah yang Maha Adil. Jika dikaitkan dengan posisi manusia dalam sejarah, maka bagaimana sifat adilnya Allah yang termanifestasikan dalam diri  manusia kemudian menjadi actual.[13]
Urainan keadilan dalam al-Quran tentu tidak sebatas kajian teks semata, karena keadilan itu sendiri merupakan masalah kemanusiaan yang senantiasa hadir. Apalagi ketika doktrin teologi sudah menyatu atau melebaga dan berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi politik.[14] Dan hal itu terjadi dalam sejarah umat Islam. Dalam menyikapi persoalan tersebut-pembumian al-Quran-Maka tidak mengherankan mengapa wacana mengenai Teologi Pembebasan di kalangan para pemikir muslim modern juga mendapat perhatian.
      Isu yang satu ini memang syarat dengan ideologi. Upaya pembelaan terhadap kaum yang tertindas menjadi dasar mengapa isu tersebut dimunculkan. Teologi perlawanan atau yang identik dengan “teologi kiri”. Pada dasarnya ilmu tidaklah netral karena syarat dengan keberpihakan terhadap sesuatu. Begitu juga dengan isu- mengenai teologi pembebasan. Berdasarkan kenyataan sejarah bahwa Rasulullah s.a.w. adalah seorang pembebas dan berpihak kepada yang lemah, maka sangat relevan untuk mengangkat isu teologi pembebasan di tengah kekuasaan yang tiranik.
       Dengan asumsi bahwa teologi sebagai sebuah madzhab bukanlah hal yang muncul pada saat masa nabi, maka dapat ditemukan celah antara agama dan politik, dengan kata lain bahwa agama dalam proses sejarah sering dijadikan sebagai pembenar kekuasaan. Alat analisis seperti ini cukup tajam untuk mengupas persoalan keadilan dan menerapkan al-Quran secara kontekstual. Awal perkembangan  masalah ini dalam sejarah umat Islam misalnya, dimana usman bin affan mengangkat sebahagian besar pengawainya dari kaumnya sendiri. Ini melahirkan akumalisi hak milik hanya pada sebagian pegawai usman saja, tanah banyak dimiliki  oleh kaumnya. Saat terjadinya penaklukan yang sangat luas begitu banyak mendatangkan kekayaan di Madinah, sehingga mendesak usman untuk memberi tempat kepada orang kaya baru. Dengan terbentuknya kelas baru dalam masyarakat madinah ketegangan semakin memuncak antara sikaya dengan si miskin.[15]
       Ini melahirkan konflik berdarah yang berkepanjangan hingga terbunuhnya Usman dan digantikan oleh Ali, perkembangan aliran teologi semakin kentara, dengan munculnya kelompok syi’ah yang memboikotnya yang dikenal dengan kaum khawarij. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Muawwiyah, kelompok ini dan kelompok zindiyah yang pendiri adalah bermazhab mu’tazilah, yaitu washil bin Atha’ menentang begitu keras kebijakan pemerintahan Muawiyah yang terus mengumpulkan milik pribadi.[16]
       Rasulullah s.a.w. membangun masyarakat dengan konsep tauhid, yaitu menegakkan keadilan dan kebajikan. Nabi Muhammad memang sangat peduli dengan kaum tertindas yang berada dalam suatu system yang kapitalistik.[17] Nabi Muhammad ialah orang yang sederhana, berasal dari golongaQuraisy namun tidak tergolong mewah. Dengan kesederhanaannya itulah Rasulullah berangkat menuju pembebasan umat dari penindasan. Ia adalah bagian dari warga bangsa, sehingga tidak elitis dan ekslusif.[18]
Sikap pasrah kepada Sang Pencipta akan termanifestasi pada penegakkan keadilan, karena sikap adil juga bagian dari percintaan Khaliq dan makhluq, dan Islam tidak memisahkan aktifitas dunia akhirat secara dikotomis. Akhir kata, innallaha yukhibbul muqsithin (QS. 49: 9)




Kesimpulan
·       Allah, sebagai Pencipta yang melimpah cinta-Nya, mengirimkan para nabi kepada umat manusia demi kepentingan manusia itu sendiri. Supaya mereka selamat dalam menjalani kehidupan yang panjang ini.
·       Keadilan dan hak asasi manusia tercakup dalam Islam
·       Keadilan dalam Islam selalu berkaitan dengan Allah, bahkan segala perkara selalu terhubung dengan-Nya.


DAFTAR PUSTAKA 
              
1.     Al-Quran al-Karim, terj. Departemen Agama RI, Bandung: CV.  Jumanatul Ali-Art, 2004.
2.     Noer, Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
3.     Ozal, A. Karkut (peny.), The Best Advices of  Sayyidina Ali for Leader, terj. Kuwais, Jakarta: Gema Insani, 2009.
4.     Wahid, Abdurrahman (ed.), Ilusi Negara Islam, Jakarta: Wahid Institute, 2009.
5.     Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002.
6.     Amin Abdullah, Studi Agama, Normatifitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
7.     Falah, Maslahul, Islam ala Soekarno; Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia Yogyakarta: Keasi Wacana, 2003.
8.     Watt, W. Montgomery, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, terj. Sukoyo, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
9.     Anam, Munir Che, Muhammad & Karl Marx; Tentang Masyarakat Tanpa Kelas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
10.  Abdurrahman, Dudung (dkk.), Sejarah Perdaban Islam dari Klasik hingga Modern, Yogyakarta: Lesfi, 2002.



               [1] Dalam pendahuluan ini, sengaja penulis menyebut kalimat tersebut. karena yang penulis rasakan adalah memang demikian adanya.  Selain itu, demi menghayati pentingnya keadilan di tengah ketidakadilan tatanan, cara berpikir, cara menilai, cara menjalani kehidupan, dll, juga sebagai upaya penghayatan seolah-olah al-Qur’an itu sedang diturunkan di saat penulis berpikir soal keadilan sehingga terasa maknanya.
               [2] Kategorisasi keadilan menjadi vertical dan horizontal karena dalam al-Qur’an , keadilan tidak hanya berkaitan dengan persoalan manusia, melainkan juga informasi mengenai sifat Allah sebagai Yang Maha Adil.
               [3] Al-Quran al-Karim, terj. Departemen Agama RI (Bandung: CV.  Jumanatul Ali-Art, 2004), hlm. 543.
      [4] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 162.
               [5] Hassan Hanafi dalam sebuah seminar dengan tema Islam from within, a new contribution to society. menjelaskan persoalan tersebut. bahkan dengan lugas, ia mengatakan bahwa ke-Esaan Tuhan termanifestasikan melalui keadilan. penulis menyimak melalui video yang didownload dari youtube.
               [6] Al-Quran al-Karim…, Ibid, hlm.358
               [7] Prof. Haidar Bagir bahkan menyampaikan persoalan yang senada dalam  seminar mengenai pemikiran Ayatullah Muthahhati, bahwa ilmu-ilmu seperti agama dan filsafat itu hukumnya adalah fardhu ‘ain. Senangkan ilmu-ilmu alat, tekhnik, itu hukumnya fardhu kifayah. Karena pentingnya landasan ide dalam penggunaan teknologi. Dan penulis menyaksikan sendiri pada kenyataannya, kemajuan teknologi tidak pararel dengan perbaikan kehidupan manusia, baik itu pendidikan, ekonomi, kebudayaan, kesehatan,  dan agama. Bidang-bidang kehidupan yang penting tersebut mengalami persoalan yang serius karena standar keadilan sudah mengalami penyempitan.
               [8] A. Karkut Ozal (peny.), The Best Advices of  Sayyidina Ali for Leader, terj. Kuwais, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 18.
               [9] Kata Syu’uub yang merupakan bentuk jamak dari Sya’bun juga bermakna satuan-satuan yang dalam ada dalam kenyataan manusia dalam sejarah. Perbedaan-perbedaan yang merupakan sunnatullah yang mencakup ideology, aliran pemikiran, maupun opini-opini.
               [10] Al-Quran al-Karim…, Ibid, hlm. 518.
               [11] Dijelaskan dengan sangat menukik dan berani dalam buku Ilusi Negara Islam, kesan penulis ketika membaca buku tesebut adalah “benar juga, kalau ingin membangun identitas Islam tapi dengan dasar hawa nafwu, apa bedanya dengan yang selama ini mereka kritik. Kalau cabe sudah menjadi sambal tak perlu dipertanyakan dimana cabenya”, mungkin kata-kata itulah yang tepat untuk menggambarkan bagaimana realitas kejiwaan para penulis buku tersebut. mereka adalah orang-orang yang disebut moderat, seperti Gus Dur, Gus Mus, dan Syafi’I Ma’arif.
               [12] Demikian penjelasan seorang pendeta Stephen Tong dalam kuliahnya yang berjudul Filsafat Asia. Membahas pemikiran Lao Tse dan Kong Hu Chu. Ada kemiripan-kemiripan antara konsep kedua filosof tersebut dengan ajaran Injil. Sewatku penulis menyimaknya, teringat hadis yang mengabarkan bahwa kullu mauluudin yuuladu ‘alaa fihtratin.
               [13] Terkait dengan sifat Allah yang termanifestasi ke dalam diri manusia, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa satu-satunya wujud adalah Allah, tidak wujudu selain wujudnya Allah. dengan kata lain, realitas hanya satu, dan yang satu itu bersifat ambigu, memiliki sifat Khaliq dan makhluq. (Kautsar Azhari Noer dalam bukunya yang berjudul Wahdat al-Wujud dalam perdebatan.
               [14] Amin Abdullah, Studi Agama, Normatifitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 30.
       [15] Dudung Abdurrahman (dkk.), Sejarah Perdaban Islam dari Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hlm. 55.

       [16] W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, terj. Sukoyo (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 9.

       [17] Munir Che Anam, Muhammad & Karl Marx; Tentang Masyarakat Tanpa Kelas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 241.

       [18] Maslahul Falah, Islam ala Soekarno; Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia (Yogyakarta: Keasi Wacana, 2003), hlm. 62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar