Untuk mengetahui
apa itu Syi’ah, silahkan baca di google biar lebih mudah dan saya tidak perlu
mengulang secara panjang lebar lagi. Silahkan baca apa saja mengenai Syi’ah
dengan satu syarat, jangan ada rasa benci. Itu saja saran saya, karena hanya
itu yang akan mendatangkan cahaya Allah.
Saya
adalah salah satu orang yang hidup di lingkungan Sunni yang memiliki pengalaman
dengan Syiah. Awalnya saya tertarik dengan Ali Syariati yang berbicara mengenai
Imam Husein. Ketertarikan saya disebabkan oleh kondisi diri saya yang memang
sedang dalam pencarian, kondisi kegelisahan intelektual, kondisi di mana saya bisa
menangis hanya dengan menyaksikan tayangan di televisi tentang fakta
penggusuran. Pada masa tersebut, saya selalu bertanya kepada kesunyian setiap
mengalami kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan saya begitu mendalam dan selalu
berakhir tanpa jawaban yang bias membuat saya merasa tenang.
Pada
saat itu saya berpikir tentang kepemimpinan. Saya pun bertanya kepada agama
saya mengenai kepemimpinan karena saya berkesimpulan bahwa kepemimpinan itu
sangat penting. Saat itu saya belum mengenal Syi’ah secara lebih jauh dan belum
bergaul secara intensif dengan orang-orang Syi’ah. Kegelisahan saya pada waktu
itu adalah “kenapa pintu kenabian ditutup, sedangkan manusia selalu membutuhkan
contoh konkrit untuk meraih keselamatan?”. Di tengah kondisi seperti itulah Ali
Syari’ati memukau saya dalam bukunya yang berjudul “Pemimpin Kaum Mustadh’afin”.
Buku tersebut menceritakan perjuangan Imam Husein, dan saat itu juga aku
(penggunaan kata “aku” terkadang lebih cocok rasanya untuk penulisan seperti
ini, hehehe) merasa terbakar dan menangis untuk kesekian kalinya karena merasa
begitu tersentuh.
Pengalaman
itu pun berlanjut. Di Jogja ada sebuah Yayasan yang namanya RausyanFikr, sebuah
yayasan yang mempunyai kegiatan diskusi dan menyediakan buku-buku tentang Syi’ah.
Saya pun merespon gejolak jiwa saya dengan cara ikut bergabung ke dalam
rutinitas RausyanFikr tersebut. Saya belajar filsafat wujud, mengenal Murtadha
Muthahhari, belajar tata cara ibadah ritual dalam madzhab Imam Ja’far Shadiq,
dan saya pun mengamalkannya. Sehingga saya merasa mencicipi suguhan dari orang
Rasulullah Muhammad melalui ilmu yang disampaikan oleh keturunannya tersebut,
yaitu Imam Ja’far.
Menjalankan
ibadah ritual dengan cara yang saya pelajari dari Syiah, merupakan pengalaman
yang “dibenci” oleh teman-teman. Sampai pada persoalan akidah, ternyata sebagian
teman-teman saya dari Sunni juga terkesan “ekslusif” ketika berbicara soal
akidah Syiah. Mungkin itu adalah harga yang harus saya bayar untuk sebuah
perjalanan sunyiku menemukan diri.
Saya
bisa mengenal Syiah dan bergabung dengan orang-orang Syiah karena saya yakin
bahwa madzhab merupakan suatu ekspresi kejiwaan yang sifatnya aksidental. Bermadzab,
atau menjalankan madzah, bagi saya adalah aktifitas yang landasannya adalah
cinta, bukan fanatisme. Asalkan kita bisa merasa yakin bahwa ajaran madzhab tersebut
bisa mengantarkan kita pada Islam yang bersumber dari Rasulullah, maka madzhab
apa pun menjadi tidak masalah. Kebesaran cinta akan menutupi kesalahan
pemikiran maupun kesalahan hasil
ijtihad. Cinta dan kerinduan seseorang kepada Muhammad akan lebih menolong jika
dibandingkan dengan kehebatan seseorang dalam berargumentasi membela
madzhabnya. Keyakinan seperti itulah yang membuat saya tidak bermasalah dengan
Syiah.
Dalam
pergaulan saya dengan orang-orang Syiah, saya pun mengikuti acara peringatan
wafatnya Imam Husein. Di kalangan Syiah, sejarah tidak boleh dilupakan begitu
saja. Bahkan sejarah harus dikritisi. Peristiwa karbala memiliki arti yang
sangat penting dalam tradisi Syiah. Memperingati peristiwa tersebut berarti mengasah
sikap kritis terhadap kezaliman.
Pada
tahun 2010, saya berkesempatan untuk melanjutkan studi di Iran melalui Islamic
Collage Jakarta. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Saya dikembalikan oleh
Allah ke jogja. pengalaman di Jakarta bersama orang-orang Syiah membuat saya
tersentuh oleh kata “Tajalli”. Dan sejak saat itu saya mempunyai ketertarikan
yang tinggi terhadap tasawuf.
Dan
selama pengalaman tersebut saya jalani, saya tidak melihat ada rencana orang
Syiah untuk menyusun kekuatan agar dapat melenyapkan Sunni. Sama sekali tidak. Dan
ketika di Jakarta, saya sering mengikuti sholat dan do’a bersama di mana
pemimpinnya menggunakan tata cara Sunni, dan ketika berdo’a, pemimpin do’a
tersebut pernah mendoakan Abu Bakar,
Umar, Usma, Ali. Saat itu juga mata saya tertuju pada orang-orang Syiah, dan
saya melihat mereka juga mengucapkan “amin”.
Artinya,
saya tidak merasa sedang berpetualang untuk pindah pindah madzhab. Karena saya
beragama juga bukan karena madzhab. Apa artinya keluar dari madzhab kalau hanya
untuk masuk ke madzhab lain?. Intinya, semua itu adalah perjalanan manusia
dalam mencari kebenaran. Manusia yang ingin menemukan dirinya yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar