Jumat, 22 November 2013

Perkenalanku dengan Syi’ah



Untuk mengetahui apa itu Syi’ah, silahkan baca di google biar lebih mudah dan saya tidak perlu mengulang secara panjang lebar lagi. Silahkan baca apa saja mengenai Syi’ah dengan satu syarat, jangan ada rasa benci. Itu saja saran saya, karena hanya itu yang akan mendatangkan cahaya Allah.

               Saya adalah salah satu orang yang hidup di lingkungan Sunni yang memiliki pengalaman dengan Syiah. Awalnya saya tertarik dengan Ali Syariati yang berbicara mengenai Imam Husein. Ketertarikan saya disebabkan oleh kondisi diri saya yang memang sedang dalam pencarian, kondisi kegelisahan intelektual, kondisi di mana saya bisa menangis hanya dengan menyaksikan tayangan di televisi tentang fakta penggusuran. Pada masa tersebut, saya selalu bertanya kepada kesunyian setiap mengalami kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan saya begitu mendalam dan selalu berakhir tanpa jawaban yang bias membuat saya merasa tenang.

               Pada saat itu saya berpikir tentang kepemimpinan. Saya pun bertanya kepada agama saya mengenai kepemimpinan karena saya berkesimpulan bahwa kepemimpinan itu sangat penting. Saat itu saya belum mengenal Syi’ah secara lebih jauh dan belum bergaul secara intensif dengan orang-orang Syi’ah. Kegelisahan saya pada waktu itu adalah “kenapa pintu kenabian ditutup, sedangkan manusia selalu membutuhkan contoh konkrit untuk meraih keselamatan?”. Di tengah kondisi seperti itulah Ali Syari’ati memukau saya dalam bukunya yang berjudul “Pemimpin Kaum Mustadh’afin”. Buku tersebut menceritakan perjuangan Imam Husein, dan saat itu juga aku (penggunaan kata “aku” terkadang lebih cocok rasanya untuk penulisan seperti ini, hehehe) merasa terbakar dan menangis untuk kesekian kalinya karena merasa begitu tersentuh.

               Pengalaman itu pun berlanjut. Di Jogja ada sebuah Yayasan yang namanya RausyanFikr, sebuah yayasan yang mempunyai kegiatan diskusi dan menyediakan buku-buku tentang Syi’ah. Saya pun merespon gejolak jiwa saya dengan cara ikut bergabung ke dalam rutinitas RausyanFikr tersebut. Saya belajar filsafat wujud, mengenal Murtadha Muthahhari, belajar tata cara ibadah ritual dalam madzhab Imam Ja’far Shadiq, dan saya pun mengamalkannya. Sehingga saya merasa mencicipi suguhan dari orang Rasulullah Muhammad melalui ilmu yang disampaikan oleh keturunannya tersebut, yaitu Imam Ja’far.

               Menjalankan ibadah ritual dengan cara yang saya pelajari dari Syiah, merupakan pengalaman yang “dibenci” oleh teman-teman. Sampai pada persoalan akidah, ternyata sebagian teman-teman saya dari Sunni juga terkesan “ekslusif” ketika berbicara soal akidah Syiah. Mungkin itu adalah harga yang harus saya bayar untuk sebuah perjalanan sunyiku menemukan diri.

               Saya bisa mengenal Syiah dan bergabung dengan orang-orang Syiah karena saya yakin bahwa madzhab merupakan suatu ekspresi kejiwaan yang sifatnya aksidental. Bermadzab, atau menjalankan madzah, bagi saya adalah aktifitas yang landasannya adalah cinta, bukan fanatisme. Asalkan kita bisa merasa yakin bahwa ajaran madzhab tersebut bisa mengantarkan kita pada Islam yang bersumber dari Rasulullah, maka madzhab apa pun menjadi tidak masalah. Kebesaran cinta akan menutupi kesalahan pemikiran  maupun kesalahan hasil ijtihad. Cinta dan kerinduan seseorang kepada Muhammad akan lebih menolong jika dibandingkan dengan kehebatan seseorang dalam berargumentasi membela madzhabnya. Keyakinan seperti itulah yang membuat saya tidak bermasalah dengan Syiah.

               Dalam pergaulan saya dengan orang-orang Syiah, saya pun mengikuti acara peringatan wafatnya Imam Husein. Di kalangan Syiah, sejarah tidak boleh dilupakan begitu saja. Bahkan sejarah harus dikritisi. Peristiwa karbala memiliki arti yang sangat penting dalam tradisi Syiah. Memperingati peristiwa tersebut berarti mengasah sikap kritis terhadap kezaliman.

               Pada tahun 2010, saya berkesempatan untuk melanjutkan studi di Iran melalui Islamic Collage Jakarta. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Saya dikembalikan oleh Allah ke jogja. pengalaman di Jakarta bersama orang-orang Syiah membuat saya tersentuh oleh kata “Tajalli”. Dan sejak saat itu saya mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap tasawuf.

               Dan selama pengalaman tersebut saya jalani, saya tidak melihat ada rencana orang Syiah untuk menyusun kekuatan agar dapat melenyapkan Sunni. Sama sekali tidak. Dan ketika di Jakarta, saya sering mengikuti sholat dan do’a bersama di mana pemimpinnya menggunakan tata cara Sunni, dan ketika berdo’a, pemimpin do’a tersebut pernah mendoakan  Abu Bakar, Umar, Usma, Ali. Saat itu juga mata saya tertuju pada orang-orang Syiah, dan saya melihat mereka juga mengucapkan “amin”.

               Artinya, saya tidak merasa sedang berpetualang untuk pindah pindah madzhab. Karena saya beragama juga bukan karena madzhab. Apa artinya keluar dari madzhab kalau hanya untuk masuk ke madzhab lain?. Intinya, semua itu adalah perjalanan manusia dalam mencari kebenaran. Manusia yang ingin menemukan dirinya yang sejati.

              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar