Filsafat
itu asyik. Dengan filsafat, energy kita menjadi teralihkan untuk hal-hal yang
menggelitik, rasional, dan untungnya lagi adalah mampu mengenal banyak hal
tanpa tersakiti oleh kecurigaan-kecurigaan tak berdasar.
Dulu,
sebelum mengenal filsafat, aku nyaris jadi orang yang ekslusif dalam beragama. Begitu
aku mendengar kata “ulama salaf”, langsung otak ini bekerja dengan automatic system
yang sudah terprogram untuk mengatakn “itu golonganku”.
Ini
bukan persoalan ulama salaf, ini adalah persoalan cara berpikir. Ya benar. Sikap
seperti itu kumilik tidak hanya dalam beragama, tapi juga dalam hal-hal lain. Pokoknya
kalau sudah itu ya itu.
Sebagai
orang yang pernah di pesantren, paling tidak saya juga tau proses indoktrinasi
pemikiran tertentu. Setelah keluar dari pesantren, hal itu masih terbawa.
Tapi
untungnya, saya kuliah di Jogja. Atmosfir intelektualnya memberikan kelonggaran
bagi siapa saja yang ingin berpikir bebas. Di UIN Sunan Kalijaga, kebebasan berpikir memang terpelihara dengan baik. Di awal-awal
perkuliaha, saya mendapat ungkapan dari dosen yang sangat bagus, kurang lebih begini
“kebanyakan kita itu pengennya orang lain sama dengan kita”, “jangan terjebak
pada cara berpikir yang selama ini mapan, bisa jadi itu salah”, (saya lupa
secara persis kata-katanya, tapi intinya itu).
Di
awal-awal semester, saya masih melihat teman teman di filsafat yang berdebat
masalah tahlil, masih agak sensitive soal NU dan Muhammadiyah. Ya mungkin
karena mereka juga punya pengalaman sepertiku dulu. Tapi lama-lama, mereka
terbiasa dengan perbedaan-perbedaan. Bahkan, ketika diskusi soal agama pun,
bisa santai dan tertawa. Agama bukan lagi sesuatu yang bisa memancing
kemarahan, tapi justru menjadi sesuatu yang bisa mengisi kejenuhan, memecahkan
kesunyian, dan bisa membuat kita bergembira karena mendiskusikannya. Itulah berkah.
Ada
yang sholat ada yang tidak. Tapi tetap bisa guyub dalam satu forum. Beda disbanding
waktu awal semester, jangankan urusan tidak sholat, tahlil saja masih jadi soal
sensitive.
Maklum,
belajar filsafat itu ya orang mencari-cari, mempertanyakan apa yang selama ini
dia yakini, dan mempertanyakan “kenapa dulu aku kok diperlakukan seperti itu
padahal itu tidak masuk akal”.
Dalam
sejarah kehidupan saya, forum yang paling sehat adalah forumnya orang-orang
filsafat. Ya di kelas Jurusan Filsafat itu, Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Gara-gara
belajar filsafat, saya melihat bagaimana teman-teman saya tumbuh sesuai dengan orisinilat
diri mereka. Ada yang berkembang menjadi aktifis yang suka demo, ada yang suka
dengan pemikiran yang membela perempuan, ada yang gandrung sama Bung Karno, ada
yang suka mencari persamaan di antara perbedaan sehingga dia senang kalau ada
kerukunan, ada juga yang galau dan memutuskan untuk “tidak percaya apapun”.
Tapi
intinya, mereka semua sadar akan perpektif, mereka mengenal apa itu sudut
pandang. Perbedaan menjadi wajar bagi orang-orang filsafat. Di dunia
kami-orang-orang filsafat-perbedaan tidaklah menakutkan. Saya tidak merasa
terancam dengan teman yang tidak sholat, ini berbeda dengan apa yang menjadi
isu takfiri saat ini. Kelompok takfiri itu kalau memandang orang yang berbeda
kayaknya serem banget. Muncullah klaim “perusak akidah, zindiq,” atau pun lah. Menegangkan.
Tapi di komunitas filsafat hal itu tidak pernah terjadi.
Di
filsafat, kami selalu bertanya dan bertanya. Itulah sebabnya kami merasa malu
jika harus ngotot memenangkan
pendapat sendiri. Begitu ada setan yang menyuruh kita untuk mengkafirkan orang,
kita langsung menghadapi setan itu dengan pertanyaan: apa itu kafir? Atas dasar apa kau menghukumi orang sebagai kafir? Dalam
konteks apa kata kafir itu digunakan? Dan seterusnya. Akhirnya kita lupa
dengan rasa ingin menang sendiri, karena yang terjadi mikir mikir mikir mikir. Sehingga kekuatan yang ada dalam diri kita
ini tidak terforsir untuk hal-hal yang tidak berguna.
Inilah
salah satu manfaat filsafat untuk Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika nya.
Filsafat bisa mencegah manusia dari
perbuatan keji dan mungkar. Berfilsafat sudah menjadi kenikmatan bagi kami
sehingga kami malas untuk bersuara keraaaaas kayak petir hanya sekedar untuk mendapatkan
kenikmatan menebar fitnah.
Filsafat
itu mengerikan. Kata orang-orang. Yah begitulah kebanyakan manusia menilai. Padahal
yang mengerikan itu kalau tidak ada filsafat. Kalau filsafat tidak digunakan,
akibatnya pemikiran ini kaku, dan mudah merasa terancam oleh perbedaan. Takut keyakinannya
goyah.
Di
filsafat, kalau memang kamu yakin bahwa keyakinanmu benar, maka tidak perlu
takut akan ancaman. Jadi, tidak perlu defensive.
Kami
sadar bahwa akal itu terbatas, karena itulah kami merasa tidak perlu untuk membatasinya.
Perlakuan kami terhadap akal adalah menggunakannya sejauh batas akal itu
sendiri.
Kami
di filsafat menjadi tidak bermasalah dengan madzhab apapun, yang PKI monggo dan
ngopi bersama, yang Syiah juga kita kunjungi untuk berdiskusi bersama, yang
Ahmadiyah juga dibahas pemikirannya, gender-gender ya boleh.
Yang
tidak ada atau tidak popular (mungkin karna saya tidak tau) di orang-orang
filsafat adalah ortodoksi, kekolotan
yang mengakibatkan orang jadi galak. Itu yang tidak saya jumpai di orang-orang
filsafat.
Saya
kemudian berpikir, kalau dari kecil setiap orang sudah belajar filsafat dan terbiasa
menggunakannya, mungkin gak akan ada yang tertarik jadi anggota Front Pedangdut Ihik-ihik , Faling Uuuuenak Iiiiih , Males Mangan Iwak, atau bahkan
Majelis Urun Idu (Urun itu
artinya menyumbang, idu artinya ludah). Ya, itu tesis saya sebagai orang
filsafat. Mungkin saja ada factor lain. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dengan
filsafat, perilaku orang akan terkontrol. Itu saya alami sendiri.
Dulu
waktu remaja, saya ini suka dengan hedonism gara-gara terpengaruh oleh televise.
Selain itu saya juga suka dengan permusuhan, karena dengan bermusuhan itu
kelihatan gagah dan berani, itu mainstream yang berkembang di kalangan anak
remaja zaman saya dulu. tahun 1999. Di tahun itu anak remaja belum mengenal
internet, belum mengenal HP. Jadi kalau mau menyalurkan energinya ya melalu
tawuran. Bahkan isi pikiran saat itu cuma berkelahi, intinya pengen
mengalahkan. Kalau diterjemahkan ke dalam konteks hubungan antar kelompok, ya
mungkin sikap intoleran atau takfiri dan sebagainya.
Inilah
sekelumit pengalaman saya di filsafat. Saya bersyukur. Ternyata filsafat yang
dianggap berbahaya itu justru sangat anggun. Tidak pernah ada sejarah
kekisruhan yang dilakukan oleh orang-orang yang menamakan dirinya sebagai
kelompok filsafat. Karna filsafat tidak memberikan kegelapan, tapi mengantarkan
orang pada terangnya cahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar