Kamis, 05 Desember 2013

Alhamdulillah Kenal Filsafat



Filsafat itu asyik. Dengan filsafat, energy kita menjadi teralihkan untuk hal-hal yang menggelitik, rasional, dan untungnya lagi adalah mampu mengenal banyak hal tanpa tersakiti oleh kecurigaan-kecurigaan tak berdasar.


Dulu, sebelum mengenal filsafat, aku nyaris jadi orang yang ekslusif dalam beragama. Begitu aku mendengar kata “ulama salaf”, langsung otak ini bekerja dengan automatic system yang sudah terprogram untuk mengatakn “itu golonganku”. 

Ini bukan persoalan ulama salaf, ini adalah persoalan cara berpikir. Ya benar. Sikap seperti itu kumilik tidak hanya dalam beragama, tapi juga dalam hal-hal lain. Pokoknya kalau sudah itu ya itu. 

Sebagai orang yang pernah di pesantren, paling tidak saya juga tau proses indoktrinasi pemikiran tertentu. Setelah keluar dari pesantren, hal itu masih terbawa. 

Tapi untungnya, saya kuliah di Jogja. Atmosfir intelektualnya memberikan kelonggaran bagi siapa saja yang ingin berpikir bebas. Di UIN Sunan Kalijaga, kebebasan  berpikir memang terpelihara dengan baik. Di awal-awal perkuliaha, saya mendapat ungkapan dari dosen yang sangat bagus, kurang lebih begini “kebanyakan kita itu pengennya orang lain sama dengan kita”, “jangan terjebak pada cara berpikir yang selama ini mapan, bisa jadi itu salah”, (saya lupa secara persis kata-katanya, tapi intinya itu). 

Di awal-awal semester, saya masih melihat teman teman di filsafat yang berdebat masalah tahlil, masih agak sensitive soal NU dan Muhammadiyah. Ya mungkin karena mereka juga punya pengalaman sepertiku dulu. Tapi lama-lama, mereka terbiasa dengan perbedaan-perbedaan. Bahkan, ketika diskusi soal agama pun, bisa santai dan tertawa. Agama bukan lagi sesuatu yang bisa memancing kemarahan, tapi justru menjadi sesuatu yang bisa mengisi kejenuhan, memecahkan kesunyian, dan bisa membuat kita bergembira karena mendiskusikannya. Itulah berkah.

Ada yang sholat ada yang tidak. Tapi tetap bisa guyub dalam satu forum. Beda disbanding waktu awal semester, jangankan urusan tidak sholat, tahlil saja masih jadi soal sensitive. 

Maklum, belajar filsafat itu ya orang mencari-cari, mempertanyakan apa yang selama ini dia yakini, dan mempertanyakan “kenapa dulu aku kok diperlakukan seperti itu padahal itu tidak masuk akal”.

Dalam sejarah kehidupan saya, forum yang paling sehat adalah forumnya orang-orang filsafat. Ya di kelas Jurusan Filsafat itu, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Gara-gara belajar filsafat, saya melihat bagaimana teman-teman saya tumbuh sesuai dengan orisinilat diri mereka. Ada yang berkembang menjadi aktifis yang suka demo, ada yang suka dengan pemikiran yang membela perempuan, ada yang gandrung sama Bung Karno, ada yang suka mencari persamaan di antara perbedaan sehingga dia senang kalau ada kerukunan, ada juga yang galau dan memutuskan untuk “tidak percaya apapun”.

Tapi intinya, mereka semua sadar akan perpektif, mereka mengenal apa itu sudut pandang. Perbedaan menjadi wajar bagi orang-orang filsafat. Di dunia kami-orang-orang filsafat-perbedaan tidaklah menakutkan. Saya tidak merasa terancam dengan teman yang tidak sholat, ini berbeda dengan apa yang menjadi isu takfiri saat ini. Kelompok takfiri itu kalau memandang orang yang berbeda kayaknya serem banget. Muncullah klaim “perusak akidah, zindiq,” atau pun lah. Menegangkan. Tapi di komunitas filsafat hal itu tidak pernah terjadi.

Di filsafat, kami selalu bertanya dan bertanya. Itulah sebabnya kami merasa malu jika harus ngotot memenangkan pendapat sendiri. Begitu ada setan yang menyuruh kita untuk mengkafirkan orang, kita langsung menghadapi setan itu dengan pertanyaan: apa itu kafir? Atas dasar apa kau menghukumi orang sebagai kafir? Dalam konteks apa kata kafir itu digunakan? Dan seterusnya. Akhirnya kita lupa dengan rasa ingin menang sendiri, karena yang terjadi mikir mikir mikir mikir. Sehingga kekuatan yang ada dalam diri kita ini tidak terforsir untuk hal-hal yang tidak berguna.

Inilah salah satu manfaat filsafat untuk Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika nya. Filsafat bisa  mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar. Berfilsafat sudah menjadi kenikmatan bagi kami sehingga kami malas untuk bersuara keraaaaas kayak petir hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan menebar fitnah.

Filsafat itu mengerikan. Kata orang-orang. Yah begitulah kebanyakan manusia menilai. Padahal yang mengerikan itu kalau tidak ada filsafat. Kalau filsafat tidak digunakan, akibatnya pemikiran ini kaku, dan mudah merasa terancam oleh perbedaan. Takut keyakinannya goyah.

Di filsafat, kalau memang kamu yakin bahwa keyakinanmu benar, maka tidak perlu takut akan ancaman. Jadi, tidak perlu defensive.

Kami sadar bahwa akal itu terbatas, karena itulah kami merasa tidak perlu untuk membatasinya. Perlakuan kami terhadap akal adalah menggunakannya sejauh batas akal itu sendiri.

Kami di filsafat menjadi tidak bermasalah dengan madzhab apapun, yang PKI monggo dan ngopi bersama, yang Syiah juga kita kunjungi untuk berdiskusi bersama, yang Ahmadiyah juga dibahas pemikirannya, gender-gender ya boleh.

Yang tidak ada atau tidak popular (mungkin karna saya tidak tau) di orang-orang filsafat adalah  ortodoksi, kekolotan yang mengakibatkan orang jadi galak. Itu yang tidak saya jumpai di orang-orang filsafat.

Saya kemudian berpikir, kalau dari kecil setiap orang  sudah belajar filsafat dan terbiasa menggunakannya, mungkin gak akan ada yang tertarik jadi anggota Front Pedangdut Ihik-ihik , Faling Uuuuenak Iiiiih , Males Mangan Iwak, atau bahkan Majelis Urun Idu (Urun itu artinya menyumbang, idu artinya ludah). Ya, itu tesis saya sebagai orang filsafat. Mungkin saja ada factor lain. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dengan filsafat, perilaku orang akan terkontrol. Itu saya alami sendiri.

Dulu waktu remaja, saya ini suka dengan hedonism gara-gara terpengaruh oleh televise. Selain itu saya juga suka dengan permusuhan, karena dengan bermusuhan itu kelihatan gagah dan berani, itu mainstream yang berkembang di kalangan anak remaja zaman saya dulu. tahun 1999. Di tahun itu anak remaja belum mengenal internet, belum mengenal HP. Jadi kalau mau menyalurkan energinya ya melalu tawuran. Bahkan isi pikiran saat itu cuma berkelahi, intinya pengen mengalahkan. Kalau diterjemahkan ke dalam konteks hubungan antar kelompok, ya mungkin sikap intoleran atau takfiri dan sebagainya. 

Inilah sekelumit pengalaman saya di filsafat. Saya bersyukur. Ternyata filsafat yang dianggap berbahaya itu justru sangat anggun. Tidak pernah ada sejarah kekisruhan yang dilakukan oleh orang-orang yang menamakan dirinya sebagai kelompok filsafat. Karna filsafat tidak memberikan kegelapan, tapi mengantarkan orang pada terangnya cahaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar