Mitos
yang berkembang adalah: kemuliaan orang yang meninggal diukur dari berapa
banyak orang yang melayatnya.
Begitulah
mitos di masyarakat.
Kalau
Nabi yang bersabda demikian, itu benar adanya. Tapi kalau sabda Nabi sudah
dikutip, itu lain ceritanya.
Dalam
konteks sekarang, hubungan antar manusia bisa terjadi tidak hanya dalam
membangun kebaikan, tapi bersekongkol dalam kejahilan pun bisa dengan mudah. Apalagi,
dengan kecanggihan teknologi dan komunikasi, sesuatu yang salah bisa
dimanipulasi menjadi benar.
Dengan
begitu, orang yang jahat sekalipun bisa dengan mudah menggunakan teknologi
komunikasi untuk member kesan baik pada banyak orang. Sehingga ketika dia mati
banyak orang yang mengunjunginya.
Kalau
sudah begini, atas dasar apa kita bisa membenarkan bahwa kebaikan orang mati
diukur dari jumlah pelayatnya?
Dengan
GR orang merasa bahwa si A lebih baik daripada si B karena jumlah pelayat A
lebih banyak ketika meninggal dibandingkan si B.
Kebanyakan
orang berpikir sejengkal sejengkal. Ada pertimbangan lain bahwa: di akhir
zaman, Islam akan terasing sebagaimana kedatangannya dahulu. Konsekuensinya adalah:
orang yang menjalankan Islam secara serius akan mengalami keterasingan dalam
hidupnya. Dan ketika wafat, tidak menutup kemungkinan sedikit pula yang
melayatnya. Jadi, atas dasar apa jumlah pelayat yang lebih banyak dianggap
lebih mulia daripada yang sedikit?
Jika
demikian, aku memohon untuk mati tanpa satu pun manusia di bumi mengetahuinya. Jenazahku,
bukanlah manusia bumi yang mengurusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar