Sabtu, 28 Desember 2013

Jika Aku Mati




Mitos yang berkembang adalah: kemuliaan orang yang meninggal diukur dari berapa banyak orang yang melayatnya.

Begitulah mitos di masyarakat.

Kalau Nabi yang bersabda demikian, itu benar adanya. Tapi kalau sabda Nabi sudah dikutip, itu lain ceritanya.

Dalam konteks sekarang, hubungan antar manusia bisa terjadi tidak hanya dalam membangun kebaikan, tapi bersekongkol dalam kejahilan pun bisa dengan mudah. Apalagi, dengan kecanggihan teknologi dan komunikasi, sesuatu yang salah bisa dimanipulasi menjadi benar.

Dengan begitu, orang yang jahat sekalipun bisa dengan mudah menggunakan teknologi komunikasi untuk member kesan baik pada banyak orang. Sehingga ketika dia mati banyak orang yang mengunjunginya.

Kalau sudah begini, atas dasar apa kita bisa membenarkan bahwa kebaikan orang mati diukur dari jumlah pelayatnya?

Dengan GR orang merasa bahwa si A lebih baik daripada si B karena jumlah pelayat A lebih banyak ketika meninggal dibandingkan si B.

Kebanyakan orang berpikir sejengkal sejengkal. Ada pertimbangan lain bahwa: di akhir zaman, Islam akan terasing sebagaimana kedatangannya dahulu. Konsekuensinya adalah: orang yang menjalankan Islam secara serius akan mengalami keterasingan dalam hidupnya. Dan ketika wafat, tidak menutup kemungkinan sedikit pula yang melayatnya. Jadi, atas dasar apa jumlah pelayat yang lebih banyak dianggap lebih mulia daripada yang sedikit?

Jika demikian, aku memohon untuk mati tanpa satu pun manusia di bumi mengetahuinya. Jenazahku, bukanlah manusia bumi yang mengurusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar