Minggu, 08 Desember 2013

Karakter Manusia dan Alam Semesta dalam al-Qur'an



  a.   Pendahuluan

Semua tindakan manusia tidak terlepas dari landasan. Secara sosiologis manusia terbagi dalam beberapa kelompok social. Setiap kelompok selalu mempunyai landasan bersama -baik tertulis maupun tidak- dalam setiap tindakannya. Sebagaimana dalam sebuah umat beragama, pasti mempunyai rujukan. Dalam Islam salah satu rujukannya al-Qur’an yang di dalamnya berisi mengenai banyak penjelasan-penjelasan yang sangat menginspirasi. Termuat di dalamnya persoalan bahasa, sejarah, filsafat, tasawuf, hukum, akhlak, manusia dan alam semesta. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kedua persoalan terakhir.

Manusia dengan segala keunikannya hingga kini masih relevan untuk ditelaah. Berbagai teori mengenai yang terkait dengan manusia terus mengalami pembaharuan. Dimensi apa saja yang terkandung dalam diri manusia? Apakah hanya fisik atau lebih luas dari itu? Mengapa manusia ada di dunia ini? Hukum apa yang mempengaruhi manusia? Cita-cita apa yang seharusnya ada dalam jiwa manusia? Semua itu dibahas oleh banyak para pemikir. 

Selain manusia, ada hal lain yang juga selalu menyimpan misteri dan menjadi bahan renungan sepanjang sejarah. Sebuah keajaiban yang “memanjakan” para pemikir karena dengan mengamatinya kita dapat mengambil makna-makna tersirat yang sungguh indah. Itulah alam semesta. Sebuah maha karya yang mengagumkan. Berbeda dengan al-Qur’an, ia merupakan kalam yang tersurat dalam bentuk teks. Ia indah penampilannya dan dalam maknanya. Jika mengkaji alam disebut tafakkur, maka mengkaji al-Qur’an disebut tadabbur. Dari ketiga subjek tersebut, manusia, alam dan al-Qur’an, bagi saya adalah bukti keagungan Tuhan yang tidak akan mungkin terjangkau dengan uraian-uraian. Sehingga, saya akan menyebut tulisan ini hanya sebagai upaya silaturrahim dengan karya Tuhan itu. Yang hasil dari penulisan ini paling tidak adalah munculnya rasa penasaran serta tersambungnya hati ini dengan Sang Pencipta itu.


  b.   Manusia

1.   Teori-teori mengenai Manusia

Ernest Cassirer

Cassirer mendefinisikan manusia dengan membedakannya dari makhluk lain. Manusia adalah animal simbolikum atau binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, dan bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.[1][1]
[1] 
Plato

Tidak seperti kebanyakan filosof modern yang materialistic, Plato memandang manusia tidak hanya dari segi fisiknya semata namun juga ruhaninya. Seorang pribadi merupakan bagian dari dunia fisik. Dengan kemampuan fisik itulah manusia melakukan persepsi inderawi. Dan pada saat yang sama, dimensi ruhani bekerja dan mengatasi dunia fisik. Dimensi inilah yang mengarahkan manusia pada tujuan-tujuan mulia, kebenaran-kebenaran abadi.  Budi ingin menjelajahi kawasan surgawi dari ide-ide memahami mereka; badan ingin terlibat dalam masalah-masalah duniawi yang berkaitanm dengan indera. Jiwa manusia terperangkap antara dua kekuatan yang berlainan ini. Jiwa mencoba mengarahkan, tetapi terperangkap dalam penjara badan. 

Pandangan Plato mengenai manusia sangat spiritualistic. Ia menyatakan bahwa kebebasan tidak adan didapatkan jika hidup hanya difokuskan pada tuntutan-tuntutan fisik. Karena itu, manusia perlu untuk keluar dari belenggu fisik dan membebaskan jiwa mereka. Hal ini akan terjadi saat manusia berhasil “naik” menuju dunia abadi, Ide. Jiwa dan badan merupakan dua hal yang berbeda. Badan adalah tempat sementara bagi jiwa. Jiwa itu abadi. Demikianlah pandangan Plato mengenai manusia

John Wild

Ia mengawali uraiannya tentang manusia dengan menunjukkan hakekat rangkap yang dipunyai manusia. Apabila orang memperhatikan dirinya sendiri atau manusia lain, ia akan menyadari terdapat segi fisik dan segi yang tidak bersifat material, yang bersifat akali. Manusia makhluk yang bersifat material, terbukti dari keadaan dirinya yang terkena oleh perubahan dan individuasi. Selain dari itu, manusia, individu, mempunyai kualitas-kualitas fisik, seperti bangun tubuh, warna , bobot, dan menempati ruang dan waktu bersama-sama dengan segala sesuatu yang lain yang bereksistensi dan terdapat di alam.

Jean- Paul Sartre

Sartre merupakan seorang eksistensialis. Sehingga pandangannya mengenai manusia sangat ditentukan pada pemusatan segala sesuatu pada diri manusia itu sendiri. Inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya? Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun, bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. 

Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi, bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis.[2][2] Bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme, bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan, bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?

Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan, yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggung-jawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya yaitu tentang humanisme.

Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan, dan kemanusiaan. Untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky, “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan”. Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre.[3][3]
[1] 
Dengan alasan ini maka manusia tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk, sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan, terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is”. Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia.

Namun, tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. “A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of relations that constitute these undertakings”. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. “I ought to commit myself and then act my commitmen”. Dan, komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.

Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi, Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas, sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain.[4][4] Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali, kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian “bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya “a human universality of condition”. Human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi, dan lagi selama hidupnya.

Augustinus

Augustinus memandang bahwa manusia merupakan ciptaan Allah. Ia berbeda dengan pandangan Noe-Platonisme yang tidak memakai istilah penciptaan. Neo-Platonisme tidak membicarakan Allah sebagai Pencipta (“Creator”) dalam system filsaatnya, sehingga tidak sanggup membedakan ciptaan dengan penciptanya (monisme yang bercorak panteisme). Menurut Augustinus, segala makhluk merupakan “vestigia Dei” (“jejak-jejak Allah”) yang memaklumkan bahwa “Allah telah lewat”. Manusia menjadi “vestigium Dei” sedemikian istimewa, sehingga disebut “imago Dei” (“citra Allah”). Manusia memantulkan siapa Allah itu dengan lebih jelas daripada segala ciptaan lainnya.[5][5]
[1] 
Dalam rangka itu, Augustinus menguraikan gejala manusia dengan memakai tiga istilah, yaitu mens – notitita -amor, sekali-kali juga memoria – intellectus – voluntas. Yang pertama, (“mens”, “memoria”) bukan hanya berarti ingatan saja, melainkan juga dasar segala kegiatan dan tindakan manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Maka boleh dikatakan bahwa itu merupakan sumber kegiatannya, kekayaan dasarnya sebagai pribadi. Yang kedua, (“notitia”, “intellectus”) berkaitan dengan kegiatan pengetahuan. Yang ketiga, (“amor”, “voluntas”) menunjukkan kegiatan kehendak yang memuncak dalam cinta murni. Tritunggal seperti itu tidak asing dalam konteks pemikiran Neo-Platonisme dalam rangka irama keluar kembali berlingkaran, tetapi oleh Augustinus dalam De Trinitate, secara khusus hal tersebut dipergunakan untuk menggambarkan manusia sebagai ciptaan Allah sesuai dengan rumus yang ditemukannya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.

Rene Descartes

Filsuf terkenal dari Perancis, mendefinisikan manusia sebagai ‘animal rationale,’ binatang yang dapat berpikir, atau ‘a thinking being,’ makhluk yang berpikir. Sementara itu, berpikir diartikan sebagai kegiatan refleksif yang melibatkan otak sebagai organ pengendali semua panca indera, organ yang secara auto-refleksif melakukan fungsi perencanaan, penelaahan, pengambilan keputusan, dan pengkoordinasian terhadap
program-program kerja jasmani-rohani tubuh manusia. Salah satu program kerja yang paling penting adalah berpikir, melakukan penelaahan atas sesuatu topik yang biasanya muncul dari adanya rangsangan atau impulsi dari luar. Topik yang muncul tersebut bisa
jadi memerlukan penelahaan yang terkait dengan sebab-akibat, dengan kemungkinan pelaksanaannya atau terjadinya, dengan segi baik-buruknya atau untung-ruginya, dan/atau berbagai segi lain.

Martin Heidegger

Heidegger menyebut manusia dengan Dasein (ada di situ atau ada di sini). Dasein adalah khas manusia sebagai mahluk yang memiliki pengertian tentang Ada. Tiga sifat yang menandai keberadaan Dasein yaitu “faktisitas”, “eksistensialitas” dan “kemerosotan”. Faktisitas adalah kenyataan bahwa manusia, diluar kemauannya, terdampar di dunia dengan kondisi dan situasi tertentu. Faktisitas ini mengandaikan kebebasan eksistensial manusia untuk mewujudkan kemampuan dan menentukan diri, masuk ke eksistensialitas dimana manusia memikul tanggung jawab pribadi untuk membentuk hidupnya sendiri. Sedangkan “kemerosotan” adalah keadaan ketika manusia cenderung untuk menyesuaikan diri dengan dunia sekitar, akibat kurang penghayatan terhadap eksistensialitasnya.[6][6] Di sini manusia tidak autentik lagi. Untuk mengatasi kemerosotan ini, menurut Heidegger, adalah dengan mengenal Angst (rasa takut tak berobyek). Angst dapat muncul jika manusia membuka diri bagi suara hati. Suara hati dapat mengingatkan manusia dari kelupaannya dan kembali menerima eksistensialitasnya sehingga kembali menjadi manusia autentik.

2.   Karakter Manusia dalam al-Qur’an.

Keistimewaan manusia dari makhluk lainnya : 

1. Manusia sebagai ciptaan yang tertinggi dan terbaik ( at-Tin 4 ).
2. Manusia dimuliakan dan diistimewakan oleh Allah ( al-Isra' 70 ).
3. Mendapatkan tugas mengabdi ( adz-Dzariyat 56 ), oleh karenanya manusia disebut abdi Allah.
4. Mempunyai peranan sebagai khalifah ( wakil Allah ) ( al-An'am 165 ), dengan berbagai tingkatan.
5. Mempunyai tujuan hidup, yaitu mendapatkan ridho Allah  ( al-An'am 163 ), dan kebahagiaan didunia dan diakhirat.
6. Untuk melaksanakan tugas serta peranannya guna mencapai tujuan hidupnya manusia diberi peraturan-peraturan hidup ( an-Nisa' 105 ).

Proses kejadian manusia :

1. Melalui masa yang tidak disebutkan ( al-Insan 1 ).
2. Mengalami beberapa tingkatan kejadian ( Nuh 14 ).
3. Ditumbuhkan dari tanah seperti tumbuh-tumbuhan ( Nuh 17 ).
4. Dijadikan dari tanah liat = lazib ( ash-Shaffat 11 ).
5. Dijadikan dari tanah kering dan lumpur hitam ( shalshal dan hamain ) al-Hijr 28.
6. Berproses dari saripati tanah,  nuthfah dalam rahim, segumpal darah, segumpal daging, tulang, dibungkus dengan daging, makhluk yang paling baik (  al-Mu'minun 12-14 ).
7. Kemudian ditiupkan roh ( ash-Shad: 72,  al-Hijr: 29 ).
Manusia diciptakan dari tanah dengan bermacam-macam istilah, yaitu turob ( tanah ), tanah kering ( shal-shal ), lumpur hitam ( hamain ), thin ( tanah kering ) dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa fisik manusia berasal dari macam-macam bahan yang ada dalam tanah.

Sifat-sifat manusia antara lain :                                      
                                                                           
1. Bersifat tergesa-gesa ( al-Isra' 11 ).
2. Sering membantah ( al-Kahfi 54 ).
3. Ingkar dan tidak berterima kasih  kepada Tuhan ( al-Adiyat 6 ).
4. Keluh kesah dan gelisah serta kikir ( al-Ma'arij 19 ).
5. Putus asa bila ada kesusahan ( al-Ma'arij 20 ).
6. Kadang-kadang ingat Tuhan karena penderitaan ( Yunus 12 ).[7][7]
[1] 
Yang dicintai dan dimurkai :

a. Yang dicintai Allah :

1. Muhsinin ( al-Baqarah 195; Ali-Imran 134; al-A'raf  56 ).
2. Tawwabin, Mutathohhirin ( al-Baqarah 222; asy-Syu'ara 69; at-Taubah 120 ).
3. Muttaqin ( Ali-Imran 76; at-Taubah 36 ).
4. Shobirin ( Ali-Imran 146 ).
5. Muqsithin ( al-Maidah 42 ).
6. Mutawakkilan ( Ali-Imran 159 ).
7. Berjuang dijalan Allah dengan organisasi rapih ( ash-Shaaf 4 ).[8][8]
[1] 
Penggolongan manusia :

1. Menurut Surat al-Fatihah :
a. Yang diberi ni'mat petunjuk.
b. Yang dimurkai Tuhan.
c. Yang sesat.
2. Menurut Surat al-Baqarah ( awal ) :
a. Muttaqin.
b. kafirin.
c. mukminin.[9][9]
[1] 
b. Yang dimurkai Allah :

1. Fasiqin ( ash-Shaff 5 ).
2. Mufsidin ( al-Maidah 64; Yunus 81 ).
3. Zholimin ( at-Taubah 19 ).
4. Kafirin ( at-Taubah 37 ).
5. Khowwanin Kafur ( al-Hajj 38 ).
6. Mustakbirin  ( an-Nahl 23 ).
7. Musrifin ( al-An’am 141 ).
8. Kadzibun Kaffar ( az-Zumar 3 ).
9. Musrifun Kadzab ( al-Mu'min 28 ).

Dalam penggolongan-penggolongan lainnya yang terdapat dalam al-Qur'an maupun al-Hadits yang pada umumnya dibagi kepada dua macam :

a. Yang baik ( ashhabul yamin, ashabul maimanah, khairul bariyyah dan lain-lain ).
b. Yang tidak baik ( ashhabusysyimal, ashhabul mas'amah, syarrul bariyyah dan lain-lain ).

Kehidupan Manusia.

1. Tujuan Hidup :  Mencari ridho Allah / mardhotillah ( al-An'am 163 ).
2. Tugas Hidup  :  Mengabdikan diri kepada Allah dalam berbagai aspek kehidupan /  ibadah  ( adz-Dzariyat 56 ).
3. Peranan Hidup. Khalifah, wakil Allah untuk mewujudkan kehendak Ilahi dibumi, memakmurkan alam dan lain-lain ( al-An'am 165 ).  Pelanjut risalah /  menyampaikan ajaran-ajaran Allah dan membelanya ( Ali-Imran 110 ).

Di dalam al-Qur’an, menurut Jalaluddin Rakhmat, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepada makna pokok manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas

Manusia sebagai Al-Basyar

Al-Basyar berarti manusia secara materi sebagaimana binatang lain. Yang beraktifitas seperti makan, tidur, berjalan, dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian materi seperti ini dalam al-Qur’an disebut sebanyak 35 kali. 13 ayat di antaranya menggambarkan polemik para rasul dan nabi dengan orang-orang kafir yang isinya keengganan mereka terhadap apa yang dibawa oleh para nabi dan rasul, sebab menurut mereka nabi dan rasul adalah manusia biasa seperti mereka.25 kali diantaranya berbicara tentang “kemanusiaan” para rasul dan nabi.

Allah berfirman: “Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengamya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka : ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, Maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?’ ” (QS. Al-Anbiya: 2-3).

Di ayat lain jug dijelaskan: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa’ ” (QS. Al-Kahfi : 110).

An-Nas

Firman Allah: ” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal “. (QS. Al-Hujarat; 13)

Kata an-Nas menunjuk kepada jenis keturunan nabi Adam. Kata ini disebut sebanyak 240 kali.

Manusia sebagai Al-Insan

Kata al-Insan dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali di dalam al-Qur’an. Kata ini mengandung makna bahwa manusia mengemban amanah Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia sebagai makhluk yang tidak statis, al-Insan, disebut dalam al-Qur’an di antaranya:
  • makhuk yang melampaui batas dan melupakan penciptanya (QS. Al-lsra’ : 67).
  • makhluk yang lemah dan hina (QS. A-Nisa’ : 28),
  • makhluk yang mudah dipengaruhi oelh sesuatu sehingga lupa kepada Tuhannya (QS. Al-Infithar: 6-8),
  • makhuk yang suka membantah (QS. An-Nahl’ : 4),
  • Namun disamping itu, sebagaimana disebutkan diatas bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk memakmurkan bumi, meskipun pernyataan Allah tersebut mendapatkan sanggahan dari para malaikat yang mengatakan bahwa manusia adalah makhuk yang akan banyak menumpahkan darah dan membuat kerusakan dimuka bumi.
   c.   Alam Semesta

1.   Teori-teori mengenai Alam Semesta

Ibn ‘Arabi

Dalam bagian ini saya memilih tokoh tasawuf Ibn ‘Arabi untuk menjelaskan mengenai alam semesta. Selain sebagai sebuah khazanah, menurut saya beliau memiliki teori mengenai alam semesta yang mencakup, baik dunia fisik maupun non fisik. Teori tersebut adalah tajalli. Kata “tajali” merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. 

Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”. Tajali merupakan poin poros dalam pemikiran Ibn ’Arabi. Sebenarnya, konsep tajali adalah pijakan dasar pandangan Ibnu Arobi mengenai realitas. Semua pemikiran Ibn ’Arabi mengenai struktur ontologis alam berkisar pada poros ini, dan dari situ berkembang menjadi sistem kosmik berjangkauan luas. Tidak ada bagian dalam pandangan Ibnu Arobi tentang realitas yang bisa dipahami tanpa merujuk pada konsep utama ini. Keseluruhan filsafatnya, secara ringkas, adalah teori tajali.[10][10]
[1] 
Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan, yakni dengan merujuk pada Hadis Qudsi ; kanzun makhfiyyan (Harta karun yang tersembunyi), bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, ia dengan mudah melihatnya kepada alam karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. [11][11] Dari sinilah muncul paham kesatuan. Yang ada di alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Didalam tiap cermin ia dapat melihat dirinya dalam jumlah yang banyak tetapi sebenarnya wujudnya hanya satu.

Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak terbatas pada penampakan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf (keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dari itu. Menurutnya, pengetahuan kasyf memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan ide-ide tetap (tentang alam) dalam ilmu Tuhan. Bentuk tajalli dengan tajalli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu tajalli tidak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti. Ajaran Ibn Arabi tentang alam sebagai tajalli Tuhan, bila dikaitkan dengan pengajarannya tentang tasybih dan tanzih, niscaya tidak bisa dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan menampakkan diri-Nya secara langsung atau dengan pengertian bahwa Dia berkembang sedemikian rupa sehingga mengaktual menjadi alam dengan bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Pengertian seperti ini bertentangan dengan ajaran tasybih dan tanzih.

Tasybih dan Tanzih

Mengapa Tanzih dan Tasybih ini penting? Karena tak ada pemikiran Ibn ‘Arabi yang tidak memiliki ketersambungan dengan Tuhan sebagai Zat yang inti. Jika Tuhan adalah substansi maka alam adalah aksiden, jadi selama ada Tuhan berarti alam pun ada. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa yang membedakan alam dan Tuhan.. Dalam hal ini Ibn Arabi berpendapat bahwa dalam mengenal Allah manusia harus melihat TanzihNya (Kesecuian Allah dari segala sifat yang baharu) pada TasybihNya (KeserupaanNya dengan yang baharu) dan tasybihNya pada tanzihNya. Artinya untuk mengenal Allah harus menggabungkan dua aspek tadi sekaligus. Ibn Arabi sering mengutip perkataan Abu Sa’id Al-Kharraj: “ Aku mengenal Allah dengan menggabungkan dua hal yang bertentangan.”[12][12]
[1] 
Menurutnya apabila seorang menganal Allah hanya dengan aspek tanzih berarti dia telah membatasi kemutlakanNya. Karena tanzih berarti menafikan segala sifat bagi Allah sperti yang dilakukan ole kalangan Mu’tazila yang melucuti Tuhan dari segala sifat, hingga Allah menjadi suatu yang tak bisa dikenal dan dijangkau. Al ini mengakibatkan terputusnya hubungan Tuhan dengan manusia. Kemudian jika hanya mengenal Allah dalam aspek tasybih saja seperti yang dilakukan kalangan al_mujassimah maka mengakibatkan keserupaan Tuhan dengan yang baharu.

Alam sebagai tajalli Tuhan haruslah dipahami dengan pengertian bahwa alam yang mengaktual dengan bentuk-bentuk yang beraneka ragam merupakan sebagai aktivitas Tuhan dan sekaligus melalui akibat-akibat tersebut Dia menampakkan keberadaan diri-Nya kepada alam atau manusia.

Penampakan Tuhan dalam bentuk-bentuk alam haruslah dipahami dengan pengertian penampakkan-Nya secara tidak langsung, yakni melalui bentuk-bentuk aktualitas alam Dia menunjukkan keberadaan dzat-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya sedang dia sendiri berada di “belakang” dari segala penampakkan atau tajalli-Nya itu. Pengertian seperti ini sebenarnya terkandung dalam tulisan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa setiap nama Tuhan memperoleh bentuk-bentuk yang tak berkesudahan dalam tajalli-tajalli dan kita mengetahui bahwa Tuhan berada di belakang semuanya itu. Jadi, apapun dalam alam adalah tajalli Tuhan, tapi bukan Tuhan, kendati Dia memang berada di belakang segala sesuatu dan terus menerus menunjukkan diri-Nya melalui segala sesuatu. Pengertian tersebut juga berlaku pada ungkapan bahwa Tuhan menampakkan dirinya kepada orang-orang yang terbuka mata batin mereka sehingga dikatakan juga mereka melihat Tuhan pada waktu kasyf.[13][13] Melihat Tuhan pada waktu itu tidak lebih dari melihat tajalli (penampakkan-Nya), bukan bentuk diri-Nya langsung sebagaimana ada-Nya. Ibn Arabi menyatakan bahwa Tuhan menampakkan dirinya dalam bentuk yang sesuai dengan keyakinan orang yang mengalami kasyf dan ini menurutnya sesuai dengan firman Tuhan dalam hadits kudsi, “Aku seperti persangkaan hamba-Ku”.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa yang dilihat orang yang mengalami kasyf itu tidak lain dari bentuk diri/jiwanya sendiri. Proses penampakan diri Tuhan itu diuraikan oleh Ibn ’Arabi. Menurutnya, Zat Tuhan yang mujarrad dan transendental itu bertajali dalam tiga martabat melalui sifat dan asma (nama)-Nya, yang pada akhirnya muncul dalam berbagai wujud konkret-empiris. Ketiga martabat itu adalah martabat ahadiyah, martabat wahidiyah, dan martabat tajalli syuhudi.

  1. Pada martabat ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami ataupun dikhayalkan. Pada martabat ini Tuhan—sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’amâ’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musammâ (dinamai). Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui.
  2. Martabat wahidiyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun awwali) atau disebut juga martabat tajali zat pada sifat atau faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Dalam aras ini, zat yang mujarrad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi atau tajali ini, zat tersebut dinamakan Allah, Pengumpul dan Pengikat Sifat dan Nama yang Mahasempurna (al-asma al-husna). Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).[14][14][1] 
  3. Martabat tajalli syuhudi disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalui asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dalam asosiasi pemikiran modern, alam hanya terbatas pada wilayah ketiga ini. Sedangkan Ibn ‘Arabi mempunyai konsepsi yang lebih mencakup. Melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian, alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf. Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.[15][15]
2.   Karakter Alam Semesta dalam al-Qur’an

Al-Qur’an menggambarkan bahwa segala sesuatu merupakan tanda atau ayat. Hal itu berarti bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah ayat dari wujud yang Tak Terbatas, Abadi, dan Yang Berkuasa. Alam semesta seperti kitab yang tersusun oleh satu wujud yang arif,  di mana setiap katanya merupakan tanda bagi kearifan penulisnya. Sehingga semakin seseorang mengetahui realitas segala sesuatu secara mendasar, maka dia akan semakin mengenal kearifan Allah. Dengan dasar inilah maka setiap ilmu alam bisa dikategorikan sebagai cabang kosmologi. Sedangkan kosmologi itu sendiri merupakan cabang dari cara mengenal Allah.[16][16]
[1] 
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Diahidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Al-Baqarah: 164).
 
Proses Terciptanya Alam Semesta Menurut Al-Quran

Dalam salah satu teori mengenai terciptanya alam semesta (teori big bang), disebutkan bahwa alam semesta tercipta dari sebuah ledakan kosmis sekitar 10-20 miliar tahun yang lalu yang mengakibatkan adanya ekspansi (pengembangan) alam semesta. Sebelum terjadinya ledakan kosmis tersebut, seluruh ruang materi dan energi terkumpul dalam sebuah titik. Mungkin banyak di antara kita yang telah membaca tentang teori tersebut.

Di dalam al-Qur’an terdapat berbagai penjelasan mengenai hal tersebut.. Dalam Quran surat Al-Anbiya (surat ke-21) ayat 30 disebutkan:

“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”

Lalu dalam Quran surat Fussilat (surat ke-41) ayat 11 Allah berfirman: 

“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.

Kata asap dalam ayat tersebut di atas menurut para ahli tafsir adalah merupakan kumpulan dari gas-gas dan partikel-partikel halus baik dalam bentuk padat maupun cair pada temperatur yang tinggi maupun rendah dalam suatu campuran yang lebih atau kurang stabil.

Lalu dalam surat At-Talaq (surat ke-65) ayat 12 Allah berfirman: 

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmunya benar-benar meliputi segala sesuatu”

Para ahli menafsirkan bahwa kata tujuh menunjukkan sesuatu yang jamak (lebih dari satu), dimana secara tekstual hal ini mengindikasikan bahwa di alam semesta ini terdapat lebih dari satu bumi seperti bumi yang kita tempati sekarang ini. 

Beberapa hal yang mungkin mengejutkan bagi para pembaca Al-Quran di abad ini adalah fakta tentang ayat-ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan tentang tiga kelompok benda yang diciptakan(Nya) yang ada di alam semesta yaitu benda-benda yang berada di langit, benda-benda yang berada di bumi dan benda-benda yang berada di antara keduanya. Kita dapat menemukan tentang hal ini pada beberapa surat yaitu surat ke-20 ayat 6 yang artinya: 

“Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah”

Lalu dalam surat Al-Furqan (aurat ke-25) ayat 59 yang artinya: 

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa…”

Juga dalam surat Al-Sajda (surat ke-32) ayat 4 yang artinya: 

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa…”

Dan surat Qaf (surat ke-50) ayat 58 yang artinya: 

“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan”

Dari berbagai surat yang penulis cantumkan tersebut, secara umum dapat diketahui bahwa al-Qur’an memiliki penjelasan mengenai bagaimana alam ini berproses. Bahwa terciptanya jagat raya ini berlangsung dalam 6 periode atau masa dimana tahapan dalam proses tersebut saling berkaitan. 

Disebutkan pula bahwa terciptanya jagat raya terjadi melalui proses pemisahan massa yang tadinya bersatu. Selain itu disebutkan pula tentang lebih dari satu langit dan bumi dan keberadaan ciptaan di antara langit dan bumi.[17][17] Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebelum para ahli mengemukakan tentang teori big bang (yang dimulai sejak tahun 1920-an), ayat-ayat Al-Quran telah secara jelas menceritakan bagaimana alam semesta ini terbentuk.

   d.   Penutup

Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa alam, manusia dan al-Qur’an merupakan tiga hal yang saling berkaitan. Dalam al-Qur’an tercakup penjelasan mengenai manusia dan alam dari berbagai sudut. Manusia dapat dikelompokkan menjadi bermacam-macam kategori. Ada manusia yang taat tetapi ada juga yang ingkar. Sebagai objek material, manusia juga dilihat dari segi objek formal, yaitu basyar, nas dan insan. 

Alam semesta juga merupakan karya Allah yang menampakkan keagungan. Dalam al-Qur’an dijelaskan mengenai bagaimana alam semesta ini bermula/dicipta. Misalnya  dalam surat Al-Sajda (surat ke-32) ayat 4 yang artinya: 

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa…”

Al-Qur’an sendiri selalu menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk menelaah mengenai apa dan bagaimana manusia dan alam semesta. Keluasan isinya membuat al-Qur’an tidak pernah habis untuk dibahas.







Daftar Pustaka
1.     http://fisip.unand.ac.id/sosiologi/index.php/diktat-sejarah-pemikiran-modern. yang diakses pada tanggal 8 Januari 2012.
2.    http://makmun-anshory.blogspot.com. Yang diakses pada tanggal 7 Januari 2012.
3.    http://awildsons.blogspot.com. Yang diakses pada tanggal 7 Januari 2011.
4.    http://www.aguschandra.com/search/filsafat-alam-semesta. yang diakses pada tanggal 9 Januari 2012.
5.    http://www.kompasiana.com. Yang diakses pada tanggal 9 Januari 2012.
6.    Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2005.
7.    Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.Chittik, William C., Pengetahuan Spiritual Ibnu ‘Arabi, terj. Achmad Nidjam (dkk.) Yogyakarta: Qalam, 2001.
8.    Chittick, William C., Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, terj. Ahmad Syahid, Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
9.    Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‘Arabi, terj. Moh. Khozim dan Suhadi Yogyakarta: LkiS, 2002.
10.   Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. J-ART, 2004
11.   Falsafi, Muhammad Taqi, Keagungan Ayat Kursi, terj. Ahsin Muhammad Bandung: Pustaka Hidayah, 2009.
12.  Muthahhari, Murtadha, Manusia dan Alam Semesta, terj. Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2008.
13.  Noer, Kautsar Azhari,  Ibn al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
14.   Sahil, Azharuddin, Indeks al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007.
15.  Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003.






[2][2] http://makmun-anshory.blogspot.com. Yang diakses pada tanggal 7 Januari 2012.
[3][3] http://awildsons.blogspot.com. Yang diakses pada tanggal 7 Januari 2011.
[4][4] http://www.kompasiana.com. Yang diakses pada tanggal 9 Januari 2012.
[5][5]http://www.aguschandra.com/search/filsafat-alam-semesta. yang diakses pada tanggal 9 Januari 2012.
[6][6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 569.
[7][7] Azharuddin Sahil, Indeks al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 499.
[8][8] Ibid, hlm. 502.
[9][9] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. J-ART, 2004), hlm. 4-5.
[10][10] William C. Chittik, Pengetahuan Spiritual Ibnu ‘Arabi, terj. Achmad Nidjam (dkk.) (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 5.
[11][11] Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‘Arabi, terj. Moh. Khozim dan Suhadi (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 54
[12][12]William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, terj. Ahmad Syahid (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 27.
[13][13] Kautsar Azhari Noer,  Ibn al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 54.
[14][14] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003). Hlm. 641.

[15][15]Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 141.
[16][16] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2008), hlm. 63.
[17][17] Muhammad Taqi Falsafi, Keagungan Ayat Kursi, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), hlm. 306.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar