a. Pendahuluan
Semua tindakan manusia tidak terlepas dari
landasan. Secara sosiologis manusia terbagi dalam beberapa kelompok social.
Setiap kelompok selalu mempunyai landasan bersama -baik tertulis maupun tidak-
dalam setiap tindakannya. Sebagaimana dalam sebuah umat beragama, pasti
mempunyai rujukan. Dalam Islam salah satu rujukannya al-Qur’an yang di dalamnya
berisi mengenai banyak penjelasan-penjelasan yang sangat menginspirasi. Termuat
di dalamnya persoalan bahasa, sejarah, filsafat, tasawuf, hukum, akhlak,
manusia dan alam semesta. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kedua
persoalan terakhir.
Manusia dengan segala keunikannya hingga
kini masih relevan untuk ditelaah. Berbagai teori mengenai yang terkait dengan
manusia terus mengalami pembaharuan. Dimensi apa saja yang terkandung dalam
diri manusia? Apakah hanya fisik atau lebih luas dari itu? Mengapa manusia ada
di dunia ini? Hukum apa yang mempengaruhi manusia? Cita-cita apa yang seharusnya
ada dalam jiwa manusia? Semua itu dibahas oleh banyak para pemikir.
Selain manusia, ada hal lain yang juga
selalu menyimpan misteri dan menjadi bahan renungan sepanjang sejarah. Sebuah
keajaiban yang “memanjakan” para pemikir karena dengan mengamatinya kita dapat
mengambil makna-makna tersirat yang sungguh indah. Itulah alam semesta. Sebuah
maha karya yang mengagumkan. Berbeda dengan al-Qur’an, ia merupakan kalam yang
tersurat dalam bentuk teks. Ia indah penampilannya dan dalam maknanya. Jika mengkaji
alam disebut tafakkur, maka mengkaji al-Qur’an disebut tadabbur. Dari ketiga
subjek tersebut, manusia, alam dan al-Qur’an, bagi saya adalah bukti keagungan
Tuhan yang tidak akan mungkin terjangkau dengan uraian-uraian. Sehingga, saya
akan menyebut tulisan ini hanya sebagai upaya silaturrahim dengan karya Tuhan
itu. Yang hasil dari penulisan ini paling tidak adalah munculnya rasa penasaran
serta tersambungnya hati ini dengan Sang Pencipta itu.
b. Manusia
1. Teori-teori
mengenai Manusia
Ernest
Cassirer
Cassirer mendefinisikan manusia dengan membedakannya dari
makhluk lain. Manusia adalah animal simbolikum atau binatang yang mengenal
simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, dan bahasa. Inilah kelebihan
manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat
mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal
tanda dan bukan simbol.[1][1]
[1]
Plato
Tidak seperti kebanyakan filosof modern yang materialistic,
Plato memandang manusia tidak hanya dari segi fisiknya semata namun juga
ruhaninya. Seorang pribadi merupakan bagian dari dunia fisik. Dengan kemampuan
fisik itulah manusia melakukan persepsi inderawi. Dan pada saat yang sama,
dimensi ruhani bekerja dan mengatasi dunia fisik. Dimensi inilah yang
mengarahkan manusia pada tujuan-tujuan mulia, kebenaran-kebenaran abadi. Budi ingin menjelajahi kawasan surgawi dari
ide-ide memahami mereka; badan ingin terlibat dalam masalah-masalah duniawi
yang berkaitanm dengan indera. Jiwa manusia terperangkap antara dua kekuatan
yang berlainan ini. Jiwa mencoba mengarahkan, tetapi terperangkap dalam penjara
badan.
Pandangan Plato mengenai manusia sangat spiritualistic. Ia
menyatakan bahwa kebebasan tidak adan didapatkan jika hidup hanya difokuskan
pada tuntutan-tuntutan fisik. Karena itu, manusia perlu untuk keluar dari
belenggu fisik dan membebaskan jiwa mereka. Hal ini akan terjadi saat manusia
berhasil “naik” menuju dunia abadi, Ide. Jiwa dan badan merupakan dua hal yang
berbeda. Badan adalah tempat sementara bagi jiwa. Jiwa itu abadi. Demikianlah
pandangan Plato mengenai manusia
John Wild
Ia mengawali uraiannya
tentang manusia dengan menunjukkan hakekat rangkap yang dipunyai manusia.
Apabila orang memperhatikan dirinya sendiri atau manusia lain, ia akan
menyadari terdapat segi fisik dan segi yang tidak bersifat material, yang
bersifat akali. Manusia makhluk yang bersifat material, terbukti dari keadaan
dirinya yang terkena oleh perubahan dan individuasi. Selain dari itu, manusia,
individu, mempunyai kualitas-kualitas fisik, seperti bangun tubuh, warna ,
bobot, dan menempati ruang dan waktu bersama-sama dengan segala sesuatu yang
lain yang bereksistensi dan terdapat di alam.
Jean- Paul
Sartre
Sartre merupakan seorang eksistensialis. Sehingga pandangannya
mengenai manusia sangat ditentukan pada pemusatan segala sesuatu pada diri
manusia itu sendiri. Inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia
tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa.
Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain
dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak
bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa,
dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya? Mengenai subjektivitas ini, Sartre
mengakuinya. Namun, bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para
pengkritiknya.
Subjektivitas yang
dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi, bahwa manusia itu
mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja.
Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis.[2][2] Bahwa manusia adalah manusia (man is),
sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari
apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului
esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he
is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme, bahwa manusia dengan
menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban
eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak
lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri.
Melainkan, bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu
bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini,
Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah
kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa
melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua
inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian
yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar
manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia
inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak
kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini
atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang
dipilih. Dan, yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan
yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua.
Tanggung-jawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini.
Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu
keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua
dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya yaitu tentang
humanisme.
Dalam pandangan
Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh
banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya. Nilai humanisme
pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih
mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu
sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan
manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan
sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya,
tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu
ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan,
dan kemanusiaan. Untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah
hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre,
mengutip Dostoevsky, “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan
diizinkan”. Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre.[3][3]
[1]
Dengan alasan ini maka manusia tidak bisa lagi
menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan
tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas.
Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk, sebab ia tidak
menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan, terhitung sejak
ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia
lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre
kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism.
Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in
so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his
actions, nothing else but what his life is”. Jadi, jelas di sini bahwa
realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya
menjadi manusia.
Namun, tindakan ini
jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di
sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah,
sedang, dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. “A man is no other than a
series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of
relations that constitute these undertakings”. Lewat itulah muncul apa yang
kita sebut komitmen. “I ought to commit myself and then act my commitmen”. Dan,
komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen
kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre
dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di
level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme
Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal
yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme
yang mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi,
Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola
dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas, sebagaimana
sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya
menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan
Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku berpikir,
tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain.[4][4] Manusia tidak bisa menjadi apapun
kecuali, kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian.
Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri
orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku.
Berhadapan baik dalam artian “bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran
akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan
dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya
“a human universality of condition”. Human universality ini bukan sesuatu yang
sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan
tindakan pemilihan lagi, dan lagi selama hidupnya.
Augustinus
Augustinus memandang bahwa manusia merupakan ciptaan Allah. Ia berbeda dengan pandangan Noe-Platonisme
yang tidak memakai istilah penciptaan. Neo-Platonisme tidak membicarakan
Allah sebagai Pencipta (“Creator”)
dalam system filsaatnya, sehingga
tidak
sanggup membedakan ciptaan dengan penciptanya (monisme yang bercorak
panteisme). Menurut Augustinus, segala makhluk merupakan “vestigia Dei”
(“jejak-jejak Allah”) yang memaklumkan bahwa “Allah telah lewat”. Manusia
menjadi “vestigium Dei” sedemikian istimewa, sehingga disebut “imago Dei”
(“citra Allah”). Manusia memantulkan siapa Allah itu dengan lebih jelas
daripada segala ciptaan lainnya.[5][5]
[1]
Dalam rangka itu,
Augustinus menguraikan gejala manusia dengan memakai tiga istilah, yaitu mens –
notitita -amor, sekali-kali juga memoria – intellectus – voluntas. Yang
pertama, (“mens”, “memoria”) bukan hanya berarti ingatan saja, melainkan juga
dasar segala kegiatan dan tindakan manusia sebagai makhluk yang sadar akan
dirinya sendiri. Maka boleh dikatakan bahwa itu merupakan sumber kegiatannya,
kekayaan dasarnya sebagai pribadi. Yang kedua, (“notitia”, “intellectus”)
berkaitan dengan kegiatan pengetahuan. Yang ketiga, (“amor”, “voluntas”) menunjukkan
kegiatan kehendak yang memuncak dalam cinta murni. Tritunggal seperti itu tidak
asing dalam konteks pemikiran Neo-Platonisme dalam rangka irama keluar kembali
berlingkaran, tetapi oleh Augustinus dalam De Trinitate, secara khusus hal
tersebut dipergunakan untuk menggambarkan manusia sebagai ciptaan Allah sesuai
dengan rumus yang ditemukannya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.
Rene Descartes
Filsuf terkenal dari
Perancis, mendefinisikan manusia sebagai ‘animal rationale,’ binatang yang
dapat berpikir, atau ‘a thinking being,’ makhluk yang berpikir. Sementara itu,
berpikir diartikan sebagai kegiatan refleksif yang melibatkan otak sebagai
organ pengendali semua panca indera, organ yang secara auto-refleksif melakukan
fungsi perencanaan, penelaahan, pengambilan keputusan, dan pengkoordinasian
terhadap
program-program kerja jasmani-rohani tubuh manusia. Salah satu program kerja yang paling penting adalah berpikir, melakukan penelaahan atas sesuatu topik yang biasanya muncul dari adanya rangsangan atau impulsi dari luar. Topik yang muncul tersebut bisa
jadi memerlukan penelahaan yang terkait dengan sebab-akibat, dengan kemungkinan pelaksanaannya atau terjadinya, dengan segi baik-buruknya atau untung-ruginya, dan/atau berbagai segi lain.
program-program kerja jasmani-rohani tubuh manusia. Salah satu program kerja yang paling penting adalah berpikir, melakukan penelaahan atas sesuatu topik yang biasanya muncul dari adanya rangsangan atau impulsi dari luar. Topik yang muncul tersebut bisa
jadi memerlukan penelahaan yang terkait dengan sebab-akibat, dengan kemungkinan pelaksanaannya atau terjadinya, dengan segi baik-buruknya atau untung-ruginya, dan/atau berbagai segi lain.
Martin
Heidegger
Heidegger menyebut
manusia dengan Dasein (ada di situ atau ada di sini). Dasein adalah khas
manusia sebagai mahluk yang memiliki pengertian tentang Ada. Tiga sifat yang
menandai keberadaan Dasein yaitu “faktisitas”, “eksistensialitas” dan
“kemerosotan”. Faktisitas adalah kenyataan bahwa manusia, diluar kemauannya,
terdampar di dunia dengan kondisi dan situasi tertentu. Faktisitas ini
mengandaikan kebebasan eksistensial manusia untuk mewujudkan kemampuan dan
menentukan diri, masuk ke eksistensialitas dimana manusia memikul tanggung
jawab pribadi untuk membentuk hidupnya sendiri. Sedangkan “kemerosotan” adalah
keadaan ketika manusia cenderung untuk menyesuaikan diri dengan dunia sekitar,
akibat kurang penghayatan terhadap eksistensialitasnya.[6][6] Di sini manusia tidak autentik lagi.
Untuk mengatasi kemerosotan ini, menurut Heidegger, adalah dengan mengenal
Angst (rasa takut tak berobyek). Angst dapat muncul jika manusia membuka diri
bagi suara hati. Suara hati dapat mengingatkan manusia dari kelupaannya dan kembali
menerima eksistensialitasnya sehingga kembali menjadi manusia autentik.
2. Karakter Manusia dalam al-Qur’an.
Keistimewaan
manusia dari makhluk lainnya :
1.
Manusia sebagai ciptaan yang tertinggi dan terbaik ( at-Tin 4 ).
2.
Manusia dimuliakan dan diistimewakan oleh Allah ( al-Isra' 70 ).
3.
Mendapatkan tugas mengabdi ( adz-Dzariyat 56 ), oleh karenanya manusia disebut
abdi Allah.
4.
Mempunyai peranan sebagai khalifah ( wakil Allah ) ( al-An'am 165 ), dengan
berbagai tingkatan.
5.
Mempunyai tujuan hidup, yaitu mendapatkan ridho Allah ( al-An'am 163 ),
dan kebahagiaan didunia dan diakhirat.
6.
Untuk melaksanakan tugas serta peranannya guna mencapai tujuan hidupnya manusia
diberi peraturan-peraturan hidup ( an-Nisa' 105 ).
Proses kejadian
manusia :
1.
Melalui masa yang tidak disebutkan ( al-Insan 1 ).
2.
Mengalami beberapa tingkatan kejadian ( Nuh 14 ).
3.
Ditumbuhkan dari tanah seperti tumbuh-tumbuhan ( Nuh 17 ).
4.
Dijadikan dari tanah liat = lazib ( ash-Shaffat 11 ).
5.
Dijadikan dari tanah kering dan lumpur hitam ( shalshal dan hamain ) al-Hijr
28.
6.
Berproses dari saripati tanah, nuthfah dalam rahim, segumpal darah,
segumpal daging, tulang, dibungkus dengan daging, makhluk yang paling baik
( al-Mu'minun 12-14 ).
7.
Kemudian ditiupkan roh ( ash-Shad: 72, al-Hijr: 29 ).
Manusia diciptakan dari tanah dengan bermacam-macam
istilah, yaitu turob ( tanah ), tanah kering ( shal-shal ), lumpur hitam (
hamain ), thin ( tanah kering ) dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa fisik
manusia berasal dari macam-macam bahan yang ada dalam tanah.
Sifat-sifat
manusia antara lain :
1.
Bersifat tergesa-gesa ( al-Isra' 11 ).
2.
Sering membantah ( al-Kahfi 54 ).
3.
Ingkar dan tidak berterima kasih kepada Tuhan ( al-Adiyat 6 ).
4.
Keluh kesah dan gelisah serta kikir ( al-Ma'arij 19 ).
5.
Putus asa bila ada kesusahan ( al-Ma'arij 20 ).
6.
Kadang-kadang ingat Tuhan karena penderitaan ( Yunus 12 ).[7][7]
[1]
Yang dicintai
dan dimurkai :
a. Yang dicintai
Allah :
1. Muhsinin ( al-Baqarah 195; Ali-Imran 134; al-A'raf 56 ).
2. Tawwabin, Mutathohhirin ( al-Baqarah 222; asy-Syu'ara 69; at-Taubah
120 ).
3. Muttaqin ( Ali-Imran 76; at-Taubah 36 ).
4. Shobirin ( Ali-Imran 146 ).
5. Muqsithin ( al-Maidah 42 ).
6. Mutawakkilan ( Ali-Imran 159 ).
7. Berjuang dijalan Allah dengan organisasi rapih ( ash-Shaaf 4 ).[8][8]
[1]
Penggolongan
manusia :
1.
Menurut Surat al-Fatihah :
a. Yang diberi ni'mat petunjuk.
b. Yang dimurkai Tuhan.
c. Yang sesat.
2.
Menurut Surat al-Baqarah ( awal ) :
a. Muttaqin.
b. kafirin.
c. mukminin.[9][9]
[1]
b.
Yang dimurkai Allah :
1. Fasiqin ( ash-Shaff 5 ).
2. Mufsidin ( al-Maidah 64; Yunus 81 ).
3. Zholimin ( at-Taubah 19 ).
4. Kafirin ( at-Taubah 37 ).
5. Khowwanin Kafur ( al-Hajj 38 ).
6. Mustakbirin ( an-Nahl 23 ).
7. Musrifin ( al-An’am 141 ).
8. Kadzibun Kaffar ( az-Zumar 3 ).
9. Musrifun Kadzab ( al-Mu'min 28 ).
Dalam penggolongan-penggolongan
lainnya yang terdapat dalam al-Qur'an maupun al-Hadits yang pada umumnya dibagi
kepada dua macam :
a. Yang baik ( ashhabul yamin, ashabul maimanah, khairul bariyyah dan
lain-lain ).
b. Yang tidak baik ( ashhabusysyimal, ashhabul mas'amah, syarrul bariyyah
dan lain-lain ).
Kehidupan Manusia.
1. Tujuan Hidup : Mencari ridho Allah / mardhotillah ( al-An'am 163
).
2. Tugas Hidup : Mengabdikan diri kepada Allah dalam berbagai
aspek kehidupan / ibadah ( adz-Dzariyat 56 ).
3. Peranan Hidup. Khalifah, wakil Allah untuk mewujudkan kehendak Ilahi
dibumi, memakmurkan alam dan lain-lain ( al-An'am 165 ). Pelanjut risalah
/ menyampaikan ajaran-ajaran Allah dan membelanya ( Ali-Imran 110 ).
Di
dalam al-Qur’an, menurut Jalaluddin Rakhmat, ada tiga istilah kunci yang
mengacu kepada makna pokok manusia, yaitu basyar, insan dan
al-nas.
Manusia sebagai Al-Basyar
Al-Basyar berarti manusia secara materi sebagaimana binatang
lain. Yang beraktifitas seperti makan, tidur, berjalan, dan berusaha memenuhi
kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian materi seperti ini dalam al-Qur’an
disebut sebanyak 35 kali. 13 ayat di antaranya menggambarkan polemik para rasul
dan nabi dengan orang-orang kafir yang isinya keengganan mereka terhadap apa
yang dibawa oleh para nabi dan rasul, sebab menurut mereka nabi dan rasul
adalah manusia biasa seperti mereka.25 kali diantaranya berbicara tentang
“kemanusiaan” para rasul dan nabi.
Allah
berfirman: “Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru
(diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengamya, sedang mereka
bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu
merahasiakan pembicaraan mereka : ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang
manusia (jua) seperti kamu, Maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu
menyaksikannya?’ ” (QS. Al-Anbiya: 2-3).
Di
ayat lain jug dijelaskan: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya Aku ini manusia biasa
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan yang Esa’ ” (QS. Al-Kahfi : 110).
An-Nas
Firman
Allah: ” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal “. (QS. Al-Hujarat;
13)
Kata
an-Nas menunjuk kepada jenis keturunan nabi Adam. Kata ini disebut sebanyak 240
kali.
Manusia sebagai Al-Insan
Kata al-Insan dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali di
dalam al-Qur’an. Kata ini mengandung makna bahwa manusia mengemban amanah Allah
untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia sebagai makhluk yang tidak statis,
al-Insan, disebut dalam al-Qur’an di antaranya:
- makhuk yang melampaui batas dan melupakan penciptanya (QS. Al-lsra’ : 67).
- makhluk yang lemah dan hina (QS. A-Nisa’ : 28),
- makhluk yang mudah dipengaruhi oelh sesuatu sehingga lupa kepada Tuhannya (QS. Al-Infithar: 6-8),
- makhuk yang suka membantah (QS. An-Nahl’ : 4),
- Namun disamping itu, sebagaimana disebutkan diatas bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk memakmurkan bumi, meskipun pernyataan Allah tersebut mendapatkan sanggahan dari para malaikat yang mengatakan bahwa manusia adalah makhuk yang akan banyak menumpahkan darah dan membuat kerusakan dimuka bumi.
c. Alam
Semesta
1. Teori-teori
mengenai Alam Semesta
Ibn ‘Arabi
Dalam bagian ini saya memilih tokoh tasawuf Ibn ‘Arabi untuk
menjelaskan mengenai alam semesta. Selain sebagai sebuah khazanah, menurut saya
beliau memiliki teori mengenai alam semesta yang mencakup, baik dunia fisik
maupun non fisik. Teori tersebut adalah tajalli. Kata “tajali” merupakan
istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut
dalam bentuk alam yang bersifat terbatas.
Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla,
yang artinya “menyatakan diri”. Tajali merupakan poin poros dalam pemikiran Ibn
’Arabi. Sebenarnya, konsep tajali adalah pijakan dasar pandangan Ibnu Arobi
mengenai realitas. Semua pemikiran Ibn ’Arabi mengenai struktur ontologis alam
berkisar pada poros ini, dan dari situ berkembang menjadi sistem kosmik
berjangkauan luas. Tidak ada bagian dalam pandangan Ibnu Arobi tentang realitas
yang bisa dipahami tanpa merujuk pada konsep utama ini. Keseluruhan
filsafatnya, secara ringkas, adalah teori tajali.[10][10]
[1]
Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam
kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya.
Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin
bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam
versi lain diterangkan, yakni dengan merujuk pada Hadis Qudsi ; kanzun
makhfiyyan (Harta karun yang tersembunyi), bahwa Tuhan berkehendak untuk
diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali. Ketika Ia
ingin melihat diri-Nya, ia dengan mudah melihatnya kepada alam karena dalam
tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. [11][11]
Dari sinilah muncul paham kesatuan. Yang ada di alam ini kelihatan banyak,
tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini seperti orang yang melihat
dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Didalam tiap
cermin ia dapat melihat dirinya dalam jumlah yang banyak tetapi sebenarnya
wujudnya hanya satu.
Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak terbatas pada penampakan
Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf (keterbukaan tabir dari mata
batin mereka), tapi lebih dari itu. Menurutnya, pengetahuan kasyf
memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam bentuk yang beraneka
ragam, sesuai dengan ide-ide tetap (tentang alam) dalam ilmu Tuhan. Bentuk
tajalli dengan tajalli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu tajalli
tidak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti.
Ajaran Ibn Arabi tentang alam sebagai tajalli Tuhan, bila dikaitkan dengan
pengajarannya tentang tasybih dan tanzih, niscaya tidak bisa
dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan menampakkan diri-Nya secara langsung
atau dengan pengertian bahwa Dia berkembang sedemikian rupa sehingga mengaktual
menjadi alam dengan bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Pengertian seperti
ini bertentangan dengan ajaran tasybih dan tanzih.
Tasybih
dan Tanzih
Mengapa Tanzih dan Tasybih ini penting? Karena tak ada
pemikiran Ibn ‘Arabi yang tidak memiliki ketersambungan dengan Tuhan sebagai
Zat yang inti. Jika Tuhan adalah substansi maka alam adalah aksiden, jadi
selama ada Tuhan berarti alam pun ada. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah
apa yang membedakan alam dan Tuhan.. Dalam hal ini Ibn Arabi berpendapat bahwa
dalam mengenal Allah manusia harus melihat TanzihNya (Kesecuian Allah dari
segala sifat yang baharu) pada TasybihNya (KeserupaanNya dengan yang baharu)
dan tasybihNya pada tanzihNya. Artinya untuk mengenal Allah harus menggabungkan
dua aspek tadi sekaligus. Ibn Arabi sering mengutip perkataan Abu Sa’id
Al-Kharraj: “ Aku mengenal Allah dengan menggabungkan dua hal yang
bertentangan.”[12][12]
[1]
Menurutnya apabila seorang menganal Allah hanya dengan aspek
tanzih berarti dia telah membatasi kemutlakanNya. Karena tanzih berarti menafikan
segala sifat bagi Allah sperti yang dilakukan ole kalangan Mu’tazila yang
melucuti Tuhan dari segala sifat, hingga Allah menjadi suatu yang tak bisa
dikenal dan dijangkau. Al ini mengakibatkan terputusnya hubungan Tuhan dengan
manusia. Kemudian jika hanya mengenal Allah dalam aspek tasybih saja seperti
yang dilakukan kalangan al_mujassimah maka mengakibatkan keserupaan Tuhan
dengan yang baharu.
Alam sebagai tajalli Tuhan haruslah dipahami dengan pengertian
bahwa alam yang mengaktual dengan bentuk-bentuk yang beraneka ragam merupakan
sebagai aktivitas Tuhan dan sekaligus melalui akibat-akibat tersebut Dia
menampakkan keberadaan diri-Nya kepada alam atau manusia.
Penampakan Tuhan dalam bentuk-bentuk alam haruslah dipahami
dengan pengertian penampakkan-Nya secara tidak langsung, yakni melalui
bentuk-bentuk aktualitas alam Dia menunjukkan keberadaan dzat-Nya, sifat-sifat
dan perbuatan-Nya sedang dia sendiri berada di “belakang” dari segala
penampakkan atau tajalli-Nya itu. Pengertian seperti ini sebenarnya terkandung
dalam tulisan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa setiap nama Tuhan memperoleh
bentuk-bentuk yang tak berkesudahan dalam tajalli-tajalli dan kita mengetahui
bahwa Tuhan berada di belakang semuanya itu. Jadi, apapun dalam alam adalah
tajalli Tuhan, tapi bukan Tuhan, kendati Dia memang berada di belakang segala
sesuatu dan terus menerus menunjukkan diri-Nya melalui segala sesuatu.
Pengertian tersebut juga berlaku pada ungkapan bahwa Tuhan menampakkan dirinya
kepada orang-orang yang terbuka mata batin mereka sehingga dikatakan juga
mereka melihat Tuhan pada waktu kasyf.[13][13] Melihat Tuhan pada waktu itu tidak lebih
dari melihat tajalli (penampakkan-Nya), bukan bentuk diri-Nya langsung
sebagaimana ada-Nya. Ibn Arabi menyatakan bahwa Tuhan menampakkan dirinya dalam
bentuk yang sesuai dengan keyakinan orang yang mengalami kasyf dan ini
menurutnya sesuai dengan firman Tuhan dalam hadits kudsi, “Aku seperti
persangkaan hamba-Ku”.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa yang dilihat orang yang
mengalami kasyf itu tidak lain dari bentuk diri/jiwanya sendiri. Proses
penampakan diri Tuhan itu diuraikan oleh Ibn ’Arabi. Menurutnya, Zat Tuhan yang
mujarrad dan transendental itu bertajali dalam tiga martabat
melalui sifat dan asma (nama)-Nya, yang pada akhirnya muncul dalam berbagai
wujud konkret-empiris. Ketiga martabat itu adalah martabat ahadiyah,
martabat wahidiyah, dan martabat tajalli syuhudi.
- Pada martabat ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami ataupun dikhayalkan. Pada martabat ini Tuhan—sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’amâ’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musammâ (dinamai). Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui.
- Martabat wahidiyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun awwali) atau disebut juga martabat tajali zat pada sifat atau faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Dalam aras ini, zat yang mujarrad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi atau tajali ini, zat tersebut dinamakan Allah, Pengumpul dan Pengikat Sifat dan Nama yang Mahasempurna (al-asma al-husna). Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).[14][14][1]
- Martabat tajalli syuhudi disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalui asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dalam asosiasi pemikiran modern, alam hanya terbatas pada wilayah ketiga ini. Sedangkan Ibn ‘Arabi mempunyai konsepsi yang lebih mencakup. Melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian, alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf. Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.[15][15]
2. Karakter Alam Semesta dalam al-Qur’an
Al-Qur’an menggambarkan bahwa segala sesuatu merupakan tanda
atau ayat. Hal itu berarti bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah ayat
dari wujud yang Tak Terbatas, Abadi, dan Yang Berkuasa. Alam semesta seperti
kitab yang tersusun oleh satu wujud yang arif,
di mana setiap katanya merupakan tanda bagi kearifan penulisnya.
Sehingga semakin seseorang mengetahui realitas segala sesuatu secara mendasar,
maka dia akan semakin mengenal kearifan Allah. Dengan dasar inilah maka setiap
ilmu alam bisa dikategorikan sebagai cabang kosmologi. Sedangkan kosmologi itu
sendiri merupakan cabang dari cara mengenal Allah.[16][16]
[1]
Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Diahidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Al-Baqarah: 164).
Proses Terciptanya Alam Semesta
Menurut Al-Quran
Dalam salah satu teori mengenai terciptanya alam semesta
(teori big bang), disebutkan bahwa alam semesta tercipta dari sebuah ledakan
kosmis sekitar 10-20 miliar tahun yang lalu yang mengakibatkan adanya ekspansi
(pengembangan) alam semesta. Sebelum terjadinya ledakan kosmis tersebut,
seluruh ruang materi dan energi terkumpul dalam sebuah titik. Mungkin banyak di
antara kita yang telah membaca tentang teori tersebut.
Di dalam al-Qur’an terdapat berbagai penjelasan mengenai hal
tersebut.. Dalam Quran surat Al-Anbiya (surat ke-21) ayat 30 disebutkan:
“Dan apakah orang-orang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Lalu
dalam Quran surat Fussilat (surat ke-41) ayat 11 Allah berfirman:
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu
masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah
kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya
menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.
Kata asap dalam ayat tersebut di atas menurut para ahli tafsir
adalah merupakan kumpulan dari gas-gas dan partikel-partikel halus baik dalam
bentuk padat maupun cair pada temperatur yang tinggi maupun rendah dalam suatu
campuran yang lebih atau kurang stabil.
Lalu
dalam surat At-Talaq (surat ke-65) ayat 12 Allah berfirman:
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit
dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmunya
benar-benar meliputi segala sesuatu”
Para ahli menafsirkan bahwa kata tujuh menunjukkan sesuatu
yang jamak (lebih dari satu), dimana secara tekstual hal ini mengindikasikan
bahwa di alam semesta ini terdapat lebih dari satu bumi seperti bumi yang kita
tempati sekarang ini.
Beberapa hal yang mungkin mengejutkan bagi para pembaca
Al-Quran di abad ini adalah fakta tentang ayat-ayat dalam Al-Quran yang
menyebutkan tentang tiga kelompok benda yang diciptakan(Nya) yang ada di alam
semesta yaitu benda-benda yang berada di langit, benda-benda yang berada di
bumi dan benda-benda yang berada di antara keduanya. Kita dapat menemukan
tentang hal ini pada beberapa surat yaitu surat ke-20 ayat 6 yang
artinya:
“Kepunyaan-Nya
lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya
dan semua yang di bawah tanah”
Lalu
dalam surat Al-Furqan (aurat ke-25) ayat 59 yang artinya:
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya dalam enam masa…”
Juga
dalam surat Al-Sajda (surat ke-32) ayat 4 yang artinya:
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa…”
Dan
surat Qaf (surat ke-50) ayat 58 yang artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan
langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami
sedikit pun tidak ditimpa keletihan”
Dari berbagai surat yang penulis cantumkan tersebut, secara
umum dapat diketahui bahwa al-Qur’an memiliki penjelasan mengenai bagaimana
alam ini berproses. Bahwa terciptanya jagat raya ini berlangsung dalam 6
periode atau masa dimana tahapan dalam proses tersebut saling berkaitan.
Disebutkan pula bahwa terciptanya jagat raya terjadi melalui
proses pemisahan massa yang tadinya bersatu. Selain itu disebutkan pula tentang
lebih dari satu langit dan bumi dan keberadaan ciptaan di antara langit dan
bumi.[17][17] Dari uraian di atas kita dapat
menyimpulkan bahwa sebelum para ahli mengemukakan tentang teori big bang (yang
dimulai sejak tahun 1920-an), ayat-ayat Al-Quran telah secara jelas
menceritakan bagaimana alam semesta ini terbentuk.
d. Penutup
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa alam,
manusia dan al-Qur’an merupakan tiga hal yang saling berkaitan. Dalam al-Qur’an
tercakup penjelasan mengenai manusia dan alam dari berbagai sudut. Manusia
dapat dikelompokkan menjadi bermacam-macam kategori. Ada manusia yang taat
tetapi ada juga yang ingkar. Sebagai objek material, manusia juga dilihat dari
segi objek formal, yaitu basyar, nas dan insan.
Alam semesta juga merupakan karya Allah yang menampakkan
keagungan. Dalam al-Qur’an dijelaskan mengenai bagaimana alam semesta ini
bermula/dicipta. Misalnya dalam surat
Al-Sajda (surat ke-32) ayat 4 yang artinya:
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa…”
Al-Qur’an sendiri selalu menjadi inspirasi bagi umat Islam
untuk menelaah mengenai apa dan bagaimana manusia dan alam semesta. Keluasan
isinya membuat al-Qur’an tidak pernah habis untuk dibahas.
Daftar Pustaka
1. http://fisip.unand.ac.id/sosiologi/index.php/diktat-sejarah-pemikiran-modern. yang diakses pada tanggal 8 Januari 2012.
4. http://www.aguschandra.com/search/filsafat-alam-semesta. yang diakses pada tanggal 9 Januari 2012.
6. Bagir,
Haidar, Buku Saku Filsafat Islam,
Bandung: Mizan, 2005.
7. Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2002.Chittik,
William C., Pengetahuan Spiritual Ibnu
‘Arabi, terj. Achmad Nidjam (dkk.) Yogyakarta: Qalam, 2001.
8. Chittick,
William C., Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi,
terj. Ahmad Syahid, Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
9. Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‘Arabi, terj. Moh. Khozim dan Suhadi
Yogyakarta: LkiS, 2002.
10. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. J-ART, 2004
11. Falsafi,
Muhammad Taqi, Keagungan Ayat Kursi,
terj. Ahsin Muhammad Bandung: Pustaka Hidayah, 2009.
12. Muthahhari, Murtadha, Manusia dan Alam Semesta, terj. Ilyas
Hasan, Jakarta: Lentera, 2008.
13. Noer, Kautsar Azhari, Ibn
al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
14. Sahil, Azharuddin, Indeks al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007.
15. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003.
[1][1]http://fisip.unand.ac.id/sosiologi/index.php/diktat-sejarah-pemikiran-modern. yang diakses pada tanggal 8 Januari
2012.
[5][5]http://www.aguschandra.com/search/filsafat-alam-semesta. yang diakses pada tanggal 9 Januari
2012.
[6][6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.
569.
[7][7] Azharuddin Sahil, Indeks al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 499.
[8][8] Ibid,
hlm. 502.
[9][9] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. J-ART, 2004), hlm. 4-5.
[10][10] William C. Chittik, Pengetahuan Spiritual Ibnu ‘Arabi,
terj. Achmad Nidjam (dkk.) (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 5.
[11][11] Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‘Arabi, terj. Moh. Khozim dan Suhadi
(Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 54
[12][12]William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, terj.
Ahmad Syahid (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 27.
[13][13] Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 54.
[14][14] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman
(ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung:
Mizan, 2003). Hlm. 641.
[16][16] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, terj. Ilyas
Hasan (Jakarta: Lentera, 2008), hlm. 63.
[17][17] Muhammad Taqi Falsafi, Keagungan Ayat Kursi, terj. Ahsin
Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), hlm. 306.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar