Jumat, 20 Desember 2013

Mencintai Ali



“Kecintaan kepadamu adalah bagian dari iman dan kebencian kepadamu bagian dari kemunafikan. Orang yang pertama masuk surga ialah pencintamu dan orang  pertama yang masuk neraka ialah pembencimu”. (saya mengutip dari buku karya al-Hamid al-Husaini, dengan judul : Imamul Muhtadin Ali bin Abi Thalib, penerbit: Pustaka Hidayah, Bandung. Halaman: 162).

Demikian ungkapan Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib. Bisa dikatakan bahwa salah satu cabang iman adalah mencintai Ali bin Abi Thalib. Bisa diperluas lagi, bahwa mencintai orang salih adalah cabang iman. Bisa diperluas lagi, bahwa mencintai wali adalah cabang iman. Bisa diperluas lagi, bahwa mencintai orang yang berilmu adalah cabang iman. Bisa diperluas lagi, bahwa mencintai pejuang adalah cabangnya iman. Karena Ali bin Abi Thalib memiliki semua itu.

Cinta adalah perasaan ingin mengikuti yang dicintai. Jika diuraikan, maka cinta berari dorongan untuk memahami dan berusaha menerapkan yang dicintai ke dalam kehidupan sehari-hari.

Satu kata yang ini saya bicarakan di sini, yaitu revolusi. Bagaimana supaya kecintaan terhadap Ali dan orang-orang yang berwatak seperti beliau bisa menjadi revolusi nyata dalam kehidupan. Itu yang menjadi persoalan sekarang.

Sudah jelas bahwa mencintai beliau adalah cabangnya iman. Maka, segala aktifitas yang mengarah pada pembuktian cinta tersebut adalah cabang iman. Misalnya ilmu, yang merupakan sesuatu yang melekat pada pribadi Ali dengan julukan Pintu Gerbang Ilmu.

Pendirian erpustakaan, berdiskusi, membaca kondisi zaman, semua itu merupakan cabangnya iman. Karena semua itu termasuk bagian dari aktifitas keilmuan. Dan ilmu itu sendiri memiliki tingkatan yang tinggi dalam pandangan Ali bin Abi Thalib.

Menjalin hubungan dengan orang-orang salih, ziarah kubur para wali, membaca karya-karya mereka, berusaha mendidik anak cucu supaya tidak menjauh dari zona kehidupan para wali, semua itu merupakan kegiatan yang pangkalnya adalah iman. Karena mencintai Ali bin Abi Thalib adalah bagian dari iman.


Anak-anak sekarang lebih sibuk menonton televisi dan mengisi pikirannya dengan idola-idola yang mereka lihat di televisi. Secara otomatis, kecenderungan psikologis mereka juga tergiring untuk mengikuti apa saja yang ditayangkan.

Kepekaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pesan-pesan yang bersumber dari mata air kenabian pun menjadi berkurang.

Saya mengamati satu hal  di masyarakat. Mengapa membangun masjid jauh lebih massif dibandingkan membangun fasilitas ummat yang lain? Dan mengapa dalam masjid itu, yang namanya kotak infak / kotak amal adalah tempat untuk memasukkan uang dan memberikannya kepada masjid?

Karena, menurut saya, pengertian cabang iman belum menjalar ke berbagai bidang kehidupan. Pemahaman terhadap aktifitas ibadah masih terbatas pada ritual. Sehingga tempat yang digunakan untuk menjalankan ritual menjadi prioritas pembangunan.

Seseorang yang dalam hatinya dirasuki rasa cinta kepada Sayyidina Ali, maka orientasi hidupnya pun akan mengarah pada perubahan-perubahan mendasar dalam hidup, baik itu cara berpikir, orientasi pekerjaan, bercita-cita, maupun dalam memilih tokoh yang menjadi panutan. Persoalan masyarakat sekaran: jika sudah menggenggam uang, maka selesai sudah semua masalah. Tidak penting apa yang dimaksd dengan cabang iman dan bagaimana penerapan kontekstualnya. Tidak penting. Karena uang sudah bisa member kenikmatan melebihi iman. Itulah persoalannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar