“Kecintaan kepadamu
adalah bagian dari iman dan kebencian kepadamu bagian dari kemunafikan. Orang yang
pertama masuk surga ialah pencintamu dan orang pertama yang masuk neraka ialah pembencimu”. (saya mengutip dari buku karya
al-Hamid al-Husaini, dengan judul : Imamul Muhtadin Ali bin Abi Thalib,
penerbit: Pustaka Hidayah, Bandung. Halaman: 162).
Demikian ungkapan Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib. Bisa dikatakan
bahwa salah satu cabang iman adalah mencintai Ali bin Abi Thalib. Bisa diperluas
lagi, bahwa mencintai orang salih adalah cabang iman. Bisa diperluas lagi,
bahwa mencintai wali adalah cabang iman. Bisa diperluas lagi, bahwa mencintai
orang yang berilmu adalah cabang iman. Bisa diperluas lagi, bahwa mencintai
pejuang adalah cabangnya iman. Karena Ali bin Abi Thalib memiliki semua itu.
Cinta adalah perasaan ingin mengikuti yang dicintai. Jika diuraikan,
maka cinta berari dorongan untuk memahami dan berusaha menerapkan yang dicintai
ke dalam kehidupan sehari-hari.
Satu kata yang ini saya bicarakan di sini, yaitu revolusi. Bagaimana
supaya kecintaan terhadap Ali dan orang-orang yang berwatak seperti beliau bisa
menjadi revolusi nyata dalam kehidupan. Itu yang menjadi persoalan sekarang.
Sudah jelas bahwa mencintai beliau adalah cabangnya iman. Maka,
segala aktifitas yang mengarah pada pembuktian cinta tersebut adalah cabang
iman. Misalnya ilmu, yang merupakan sesuatu yang melekat pada pribadi Ali
dengan julukan Pintu Gerbang Ilmu.
Pendirian erpustakaan, berdiskusi, membaca kondisi zaman,
semua itu merupakan cabangnya iman. Karena semua itu termasuk bagian dari aktifitas
keilmuan. Dan ilmu itu sendiri memiliki tingkatan yang tinggi dalam pandangan
Ali bin Abi Thalib.
Menjalin hubungan dengan orang-orang salih, ziarah kubur para
wali, membaca karya-karya mereka, berusaha mendidik anak cucu supaya tidak
menjauh dari zona kehidupan para wali, semua itu merupakan kegiatan yang
pangkalnya adalah iman. Karena mencintai Ali bin Abi Thalib adalah bagian dari
iman.
Anak-anak sekarang lebih sibuk menonton televisi dan mengisi
pikirannya dengan idola-idola yang mereka lihat di televisi. Secara otomatis,
kecenderungan psikologis mereka juga tergiring untuk mengikuti apa saja yang
ditayangkan.
Kepekaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pesan-pesan yang
bersumber dari mata air kenabian pun menjadi berkurang.
Saya mengamati satu hal di
masyarakat. Mengapa membangun masjid jauh lebih massif dibandingkan membangun
fasilitas ummat yang lain? Dan mengapa dalam masjid itu, yang namanya kotak
infak / kotak amal adalah tempat untuk memasukkan uang dan memberikannya kepada
masjid?
Karena, menurut saya, pengertian cabang iman belum menjalar ke
berbagai bidang kehidupan. Pemahaman terhadap aktifitas ibadah masih terbatas
pada ritual. Sehingga tempat yang digunakan untuk menjalankan ritual menjadi
prioritas pembangunan.
Seseorang yang dalam hatinya dirasuki rasa cinta kepada Sayyidina
Ali, maka orientasi hidupnya pun akan mengarah pada perubahan-perubahan
mendasar dalam hidup, baik itu cara berpikir, orientasi pekerjaan,
bercita-cita, maupun dalam memilih tokoh yang menjadi panutan. Persoalan masyarakat
sekaran: jika sudah menggenggam uang, maka selesai sudah semua masalah. Tidak penting
apa yang dimaksd dengan cabang iman dan bagaimana penerapan kontekstualnya. Tidak
penting. Karena uang sudah bisa member kenikmatan melebihi iman. Itulah persoalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar