Manusia
lahir dalam kondisi ketidaktahuan. Sejak lahir, manusia mulai mempelajari
sesuatu di sekelilingnya. Manusia mulai mengenal benda-benda, suara, warna, dan
orang-orang di sekelilingnya.
Kehidupan
manusia adalah sebuah proses panjang untuk menyempurnakan diri, dari anak-anak
kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, dan seterusnya. Akan tetapi itu hanya
proses fisik. Ada proses lain yang lebih substansial dari proses fisik, yaitu
proses penyempurnaan jiwa. Jati diri manusia.
Dalam
menilai sesuatu, seringkali terjadi kesalahan. Misalnya: siapakah yang layak
untuk dijadikan idola? Dalam hal ini saja, banyak remaja-remaja yang salah
dalam menempatkan figure. Maka dari itu, manusia membutuhkan bimbingan yang
sempurna untuk mengantarkannya pada kesempurnaan.
Tidak
lain, bimbingan yang sempurna tersebut adalah kenabian. Manusia membutukan
kabar yang akurat, yang bisa dipertanggungjawabkan dan bisa membawa pada
kebahagiaan yang sejati.
Kenabian
juga merupakan penyeimbang dari kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari
kesalahan. Jika setiap manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, maka mustahil
mereka akan mampu menjadi sandaran yang benar-benar kokoh.
Dengan
kata lain, bahwa kenabian adalah jawaban dari kebutuhan manusia.
Salah
satu unsur naluriah manusia adalah bertanya mengenai sesuatu, menilai sesuatu,
mencari sesuatu, merasa penasaran terhadap sesuatu, dan lain sebainya. Semua itu
sudah terjadi sejak lama dan terwadahi oleh bidang yang bernama filsafat.
Dalam
filsafatlah manusia melakukan aktifitas-aktifitas tersebut.
Bagaimanakah
posisi seorang Nabi (sebagai manifestasi kesempurnaan) dalam aktifitas filsafat
tersebut? Tentu saja, Nabi merupakan filosof yang agung. Ini bukan berarti
mereduksi Nabi sebagai hanya seorang filosof, akan tetapi salah satu peran Nabi
adalah sebagai filosof.
Dengan
dasar inilah maka sah jika manusia beragama mempelajari filsafat. Bahkan tidak
hanya sah, melainkan sunnah. Karena berfilsafat adalah salah satu cara untuk
mengikuti jejak Nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar