Saya
menulis ini dengan keadaan sadar. Sadar kalau tulisan saya memang jelek dan
tidak layak jual, karena memang tujuan saya bukan untuk jualan.
Apa
yang dimaksud “jelek” di sini? “jelek” di sini adalah karena tidak memenuhi
standar akademis, tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Tapi,
saya bertanya-tanya: siapa yang pertama kali membuat standar kebagusan dalam
tulisan akademis? Atau siapa yang pertama kali membuat aturan bahwa menulis
harus begini dan begitu?
Pasti
ada lah, entah siapa dia. Kemudian, aturan itu diikuti secara turun-temurun
dari generasi ke generasi. Generasi yang paling mutakhir adalah generasi yang
mengikuti generasi sebelumnya, dan begitu seterusnya. Artinya, generasi
terakhir merasa menyandang status “benar” kalau sudah bisa mengikuti generasi
sebelumnya.
Nah,
yang tidak masuk akal menurut saya, kenapa mereka (generasi terakhir) baru
merasa benar setelah mampu mengikuti orang-orang sebelumnya? Padahal generasi
sebelumnya itu hanya ikut generasi yang sebelumnya. Pertanyaannya: siapa yang member
aturan pada orang yang pertama kali membuat aturan? Tidak ada kan??
Poin
utama yang ingin saya katakan adalah: kepercayaan diri dalam memulai. Bukan berarti
kita tidak menghormati para pendahulu.
Ini
juga dalam rangka menumbuhkan sikap menerima, nrimo ing pandum, atas apa yang sudah ada secara orisinil dalam
diri kita masing-masing. Menurut saya, paham nrimo ing pandum adalah cermin dari kekuatan mental. Keberanian seseorang/bangsa
dalam dalam mengakui siapa dirinya. Itulah sebabnya kenapa tulisanku menjadi “jelek”,
karena memang beginilah karakterku.
Saya
ini sering melihat fenomena ketidakpercayaan diri, baik sebagai bangsa atau
sebagai individu. Percaya diri yang maksud adalah benar-benar mengenal diri,
bukan kepercayaan diri karena merasa mampu meniru atau karena sudah mendapat
pengakuan.
Tidak
jarang tho, peraturan ini itu dibikin karena kita ingin
mengikuti luar negeri yang katanya maju. Misalnya dalam hal menulis (gak tau
sudah diterapkan belum), bahwa syarat munaqosyah bagi mahasiswa pascasarjana
adalah harus mempunyai tulisan yang dimuat di jurnal nasional. Alasannya karena
kita ketinggalan jauh sama malaysia soal itu. Alasannya itu lho yang menurut
saya kok tidak mencerminkan kepercayaan diri sebagai bangsa.
Tulisanku
memang “jelek”, tapi terasa indah karena ini adalah wujud rasa syukur dan nrimo ing pandum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar