Senin, 16 Desember 2013

Rasa dan Rasio



Rasa ibarat cahaya,  Rasio ibarat suara (dalam kasus petir atau kembang api, dimana cahaya dan suara sebenarnya bersamaan, akan tetapi cahaya lebih cepat sampai di mata dibandingkan suara sampai di telinga).

Rasa yang saya maksud adalah: percaya, yakin, suka, benci, dan sejenisnya.
Rasio yang saya maksud di sini adalah alasan-alasan terhadap adanya rasa tersebut.

Kalau seseorang mempercayai sesuatu, tapi tidak mempunyai alasan yang kuat-selama satu tahun- maka kepercayaan itu lemah. Begitu juga rasa-rasa yang lain.

Karena sebenarnya, rasa dan rasio, kepercayaan dan alasan mempercayai, itu terjadi secara bersamaan. Hanya saja, kepercayaan itu lebih cepat sampai di hati dari pada alasan-alasan untuk mempercayai.

Rasa dan rasio itu satu waktu. Gerakan rasa itu lebih cepat dibandingkan gerakan rasio.

Hati-hatilah terhadap sesuatu yang engkau tidak mempunyai alasan kuat terhadap apa yang ada pada hatimu, baik itu benci, cinta, kagum, ragu. Mungkin dalam waktu singkat hal tersebut bisa diterima dan tidak berbahaya. Tapi kalau sudah satu tahun (satu tahun hanya simulasi saja) belum juga menemukan alasan rasional, bisa jadi itu takhayul dan akan menghancurkanmu.

Misalnya: orang percaya pada capres. Sudah berapa tahunkah peristiwa pemilu diadakan dan dipercaya sebagai sebuah cara untuk menentukan kepala negara? Sudah lama orang-orang percaya pada hal itu. Tapia apa alasannya? Kalau hanya sekedar kagum, percaya, atau berharap, maka wassalam sudah.

Intinya, menemukan alasan-alasan rasional dari apa yang kita percaya. Itu penting. Untuk membedakan mana takhayul dan mana kenyataan. Karena sesungguhnya, rasa dan rasio adalah satu paket.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar