Rasa
ibarat cahaya, Rasio ibarat suara (dalam
kasus petir atau kembang api, dimana cahaya dan suara sebenarnya bersamaan,
akan tetapi cahaya lebih cepat sampai di mata dibandingkan suara sampai di
telinga).
Rasa
yang saya maksud adalah: percaya, yakin, suka, benci, dan sejenisnya.
Rasio
yang saya maksud di sini adalah alasan-alasan terhadap adanya rasa tersebut.
Kalau
seseorang mempercayai sesuatu, tapi tidak mempunyai alasan yang kuat-selama
satu tahun- maka kepercayaan itu lemah. Begitu juga rasa-rasa yang lain.
Karena
sebenarnya, rasa dan rasio, kepercayaan dan alasan mempercayai, itu terjadi
secara bersamaan. Hanya saja, kepercayaan itu lebih cepat sampai di hati dari
pada alasan-alasan untuk mempercayai.
Rasa
dan rasio itu satu waktu. Gerakan rasa itu lebih cepat dibandingkan gerakan
rasio.
Hati-hatilah
terhadap sesuatu yang engkau tidak mempunyai alasan kuat terhadap apa yang ada
pada hatimu, baik itu benci, cinta, kagum, ragu. Mungkin dalam waktu singkat
hal tersebut bisa diterima dan tidak berbahaya. Tapi kalau sudah satu tahun (satu
tahun hanya simulasi saja) belum juga menemukan alasan rasional, bisa jadi itu
takhayul dan akan menghancurkanmu.
Misalnya:
orang percaya pada capres. Sudah berapa tahunkah peristiwa pemilu diadakan dan
dipercaya sebagai sebuah cara untuk menentukan kepala negara? Sudah lama
orang-orang percaya pada hal itu. Tapia apa alasannya? Kalau hanya sekedar
kagum, percaya, atau berharap, maka wassalam sudah.
Intinya,
menemukan alasan-alasan rasional dari apa yang kita percaya. Itu penting. Untuk
membedakan mana takhayul dan mana kenyataan. Karena sesungguhnya, rasa dan
rasio adalah satu paket.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar