Puasa merupakan metode kehidupan.
Puasa menekankan pada penahanan diri. Tentu saja ini berbanding
terbalik dengan pelampiasan keinginan. Menahan diri adalah jurus menghadapi
kebangkrutan di masa depan.
Penahanan diri memiliki konteks yang sangat luas.
Penahanan diri berarti proses menuju kekosongan. Dalam berpuasa, kita
“diharamkan” untuk menikmati sesuatu yang halal. Nasi itu halal, tapi dalam
puasa dilarang. Ini adalah pelajaran hidup bahwa untuk mencapai kesucian, maka
jiwa harus terdidik untuk “mengharamkan” yang pada dasarnya adalah boleh.
Bahkan pada tahap lanjut, sengaja untuk meninggalkan kenikmatan
adalah tingkat kedewasaan orang berpuasa. Sikap seperti itu akan teruji dalam
kehidupan. Bisa dalam konteks berbangsa, berkeluarga, maupun individu.
Dengan menerapkan puasa dalam kehidupan, berarti pelaku puasa telah
melakukan persiapan untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan materi yang mau
tidak mau harus dilepaskan. Di sinilah ujian yang berat. Karena pada saat yang
sama, pelaku puasa dihadapkan pada persoalan-persoalan materi yang cenderung
mengikat.
Puasa berarti menahan diri untuk tidak ikut menjadi pihak yang
mengaku/merasa pantas menjadi pemimpin.
Puasa berarti kemampuan untuk menekan diri sendiri sebagaimana
kata-kata yang diucapkan kepada orang lain.
Setelah praktek menahan diri itu terlaksana, maka langkah kemudian
adalah memahami dan merasakan apa yang sesungguhnya terjadi di luar diri. Artinya,
lebih siap untuk mendengar daripada sekedar menceramahi. Mendengar di sini
berarti mampu menjadi wadah bagi orang yang berada di bawahnya. Orang bawah yang
saya maksud adalah orang yang secara sosial
masih lemah. Akses yang membuat mereka
berdaya guna masih sempit.
Puasa bukanlah keterpaksaan. Jika tidak bersenang-senang karena
alasannya adalah karena tidak punya uang, maka itu bukanlah puasa-meskipun secara
jasad barangkali bisa dikatakan puasa. Akan tetapi puasa adalah kesadaran yang
mendorong diri untuk mampu hidup secara lebih efektif, rasional.
Dalam kasus perbedaan pemikiran, puasa berarti kesediaan untuk
menghargai perbedaan. Lebih dari itu, puasa adalah kesediaan untuk berusaha
mengerti mengapa pihak yang berbeda memiliki pemikiran tertentu. Di samping
itu, perasaan bahwa diri ini belum paham atas apa yang sesungguhnya benar, juga
merupakan implementasi puasa dalam hal pemikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar