Hampir
di semua ceramah yang disampaikan oleh para Kyai, ketika berbicara hubungan
orang tua dan anak, selalu yang diutamakan adalah orang tua. Penekanannya adalah
ketaatan anak kepada orang tua. Sedangkan kewajiban orang tua terhadap anak
seringkali diabaikan. Inilah contoh bentuk kezaliman yang terselubung.
Begitu
juga pembicaraan yang terselenggara secara non formal, di desa-desa, antar
ibu-ibu misalnya, ketika berbicara mengenai hubungan antara orang tua dan
anak, selalu yang menjadi pemenang
adalah orang tua.
Bahkan
ada orang tua yang mengatakan : “seperti apapun orang tua, anak harus tetap
mengalah”. Jadi, tidak ada introspeksi dari pihak orang tua. Mereka kebanyakan
merasa paling mengetahui kehidupan karena sudah makan garamnya kehidupan.
Orang
tua terkesan memiliki hak mutlak atas anak. Orang tua adalah pihak yang tidak
boleh dipersalahkan. Bahkan orang-orang tua banyak yang menganggap bahwa amal
ibadah anak kepada Tuhan tidak akan diterima kalau orang tuanya tidak ridho
terhadap anaknya.
Dasar
mereka adalah sebuah hadis yang artinya : “ridho Allah berada dalam ridho kedua
orang tua, dan murka Allah berada dalam murka orang tua”. Dengan dalih inilah para kyai dan orang tua
melegitimasi segala bentuk penganiayaan kepada anak.
Hanya
beberapa agamawan yang saya jumpai memiliki pemikiran yang maju dan terbuka. Mereka
berpikiran bahwa anak juga punya hak atas orang tuanya, bahkan anak juga harus
diberi pemahaman mengenai hak-haknya sebagai anak. Namun agamawan yang seperti
itu masih sedikit, sejauh yang pernah saya jumpai.
Inilah
adalah masalah krusial yang menjadi fokus saya, yaitu pemikiran.
Pandangan
yang turun-temurun mengenai hubungan orang tua dan anak itulah yang membuat
para orang tua dan kebanyakan kyai merasa benar melakukan kezaliman.
Orang
tua merasa selalu benar dan merasa berhak atas kehidupan anaknya. Tanpa kemauan
untuk memahami siapakah anaknya tersebut.
Tidakkah
orang tua berpikir bahwa:
1.
Anak
adalah titipan
2.
Jika
titipan rusak, maka yang bertanggungjawab adalah yang mendapat amanah
3.
Tidak
ada manusia yang mempunyai hak mutlak atas manusia lain
4.
Tidak
ada satu orang tua pun yang mampu membuat anak
5.
Kehidupan anaknya di masa depan, berbeda dengan zaman ketika orang tua masih muda. Kesalahan dalam memperlakukan anak di masa kecil akan berakibat fatal untuk hari depannya.
6.
Jika
menghendaki kebaikan, maka caranya pun harus baik (apakah mereka tidak mengenal
prinsip ini)
7.
Masa
kecil adalah masa di mana seseorang sangat kuat dalam merekam pengalaman. Kalau
dengan “teologi kezaliman” orang tua merasa berhak sepenuhnya untuk melakukan
apa saja kepada anak-anaknya, tidakkah mereka berpikir bahwa kezaliman mereka
adalah pengalaman yang akan sangat direkam oleh anak-anak tersebut hingga
dewasa?
Menjalani
hidup berarti membenahi kesalahan-kesalahan. Tulisan ini merupakan caraku untuk
membenahi praktek kehidupan yang kualami sendiri, referensinya tidak dari orang
lain maupun dari professor manapun, tapi dari pengalaman sendiri. Mungkin banyak
orang yang mengalami akan tetapi tidak mengambilnya sebagai pelajaran hidup
yang harus diteliti kembali.
Aku
menghormat orang-orang tua, tapi aku juga punya hati dan akal yang selalu selalu
ingin kembali ke fitrahnya. Tidak bisa aku menjalani hidup di atas landasan
cara berpikir yang tidak benar. Aku akan selalu mencari kebenaran sampai aku
menemukan apa sebenarnya dikehendaki oleh Tuhan.
Konsep
bahwa “keridhoan Allah berbanding lurus dengan keridhoan orang tua”, bukanlah alasan
untuk melegitimasi kezaliman. Sama sekali bukan. Semua hubungan itu bersyarat. Keridhoan
orang tua yang berbanding lurus dengan keridhoan Allah, harus didahului dengan kelengkapan
orang tua sebagai manusia yang diberi amanah.
Jika
orang tua sudah menjaga amanah dengan baik, barulah kemudian tanggungjawab anak
untuk berbakti. Kenapa orang tua diberi kewajiban mendahului anak? Karena factor
akal yang dimiliki orang tua. Sedangkan anak yang dilahirkan belum berakal,
maka orang tuanyalah yang seharusnya belajar terlebih dahulu mengenai
tanggungjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar