Selasa, 24 Desember 2013

Hubungan Orang Tua dan Anak




Hampir di semua ceramah yang disampaikan oleh para Kyai, ketika berbicara hubungan orang tua dan anak, selalu yang diutamakan adalah orang tua. Penekanannya adalah ketaatan anak kepada orang tua. Sedangkan kewajiban orang tua terhadap anak seringkali diabaikan. Inilah contoh bentuk kezaliman yang terselubung.

Begitu juga pembicaraan yang terselenggara secara non formal, di desa-desa, antar ibu-ibu misalnya, ketika berbicara mengenai hubungan antara orang tua dan anak,  selalu yang menjadi pemenang adalah orang tua.

Bahkan ada orang tua yang mengatakan : “seperti apapun orang tua, anak harus tetap mengalah”. Jadi, tidak ada introspeksi dari pihak orang tua. Mereka kebanyakan merasa paling mengetahui kehidupan karena sudah makan garamnya kehidupan.

Orang tua terkesan memiliki hak mutlak atas anak. Orang tua adalah pihak yang tidak boleh dipersalahkan. Bahkan orang-orang tua banyak yang menganggap bahwa amal ibadah anak kepada Tuhan tidak akan diterima kalau orang tuanya tidak ridho terhadap anaknya.

Dasar mereka adalah sebuah hadis yang artinya : “ridho Allah berada dalam ridho kedua orang tua, dan murka Allah berada dalam murka orang tua”.  Dengan dalih inilah para kyai dan orang tua melegitimasi segala bentuk penganiayaan kepada anak.

Hanya beberapa agamawan yang saya jumpai memiliki pemikiran yang maju dan terbuka. Mereka berpikiran bahwa anak juga punya hak atas orang tuanya, bahkan anak juga harus diberi pemahaman mengenai hak-haknya sebagai anak. Namun agamawan yang seperti itu masih sedikit, sejauh yang pernah saya jumpai.

Inilah adalah masalah krusial yang menjadi fokus saya, yaitu pemikiran.

Pandangan yang turun-temurun mengenai hubungan orang tua dan anak itulah yang membuat para orang tua dan kebanyakan kyai merasa benar melakukan kezaliman.
Orang tua merasa selalu benar dan merasa berhak atas kehidupan anaknya. Tanpa kemauan untuk memahami siapakah anaknya tersebut.

Tidakkah orang tua berpikir bahwa:

    1.     Anak adalah titipan

    2.    Jika titipan rusak, maka yang bertanggungjawab adalah yang mendapat amanah


    3.    Tidak ada manusia yang mempunyai hak mutlak atas manusia lain

    4.    Tidak ada satu orang tua pun yang mampu membuat anak


    5.    Kehidupan  anaknya di masa depan, berbeda dengan zaman ketika orang tua masih muda. Kesalahan dalam memperlakukan anak di masa kecil akan berakibat fatal untuk hari depannya.

    6.    Jika menghendaki kebaikan, maka caranya pun harus baik (apakah mereka tidak mengenal  prinsip ini)

    7.    Masa kecil adalah masa di mana seseorang sangat kuat dalam merekam pengalaman. Kalau dengan “teologi kezaliman” orang tua merasa berhak sepenuhnya untuk melakukan apa saja kepada anak-anaknya, tidakkah mereka berpikir bahwa kezaliman mereka adalah pengalaman yang akan sangat direkam oleh anak-anak tersebut hingga dewasa?


Menjalani hidup berarti membenahi kesalahan-kesalahan. Tulisan ini merupakan caraku untuk membenahi praktek kehidupan yang kualami sendiri, referensinya tidak dari orang lain maupun dari professor manapun, tapi dari pengalaman sendiri. Mungkin banyak orang yang mengalami akan tetapi tidak mengambilnya sebagai pelajaran hidup yang harus diteliti kembali.


Aku menghormat orang-orang tua, tapi aku juga punya hati dan akal yang selalu selalu ingin kembali ke fitrahnya. Tidak bisa aku menjalani hidup di atas landasan cara berpikir yang tidak benar. Aku akan selalu mencari kebenaran sampai aku menemukan apa sebenarnya dikehendaki oleh Tuhan.


Konsep bahwa “keridhoan Allah berbanding lurus dengan keridhoan orang tua”, bukanlah alasan untuk melegitimasi kezaliman. Sama sekali bukan. Semua hubungan itu bersyarat. Keridhoan orang tua yang berbanding lurus dengan keridhoan Allah, harus didahului dengan kelengkapan orang tua sebagai manusia yang diberi amanah.

Jika orang tua sudah menjaga amanah dengan baik, barulah kemudian tanggungjawab anak untuk berbakti. Kenapa orang tua diberi kewajiban mendahului anak? Karena factor akal yang dimiliki orang tua. Sedangkan anak yang dilahirkan belum berakal, maka orang tuanyalah yang seharusnya belajar terlebih dahulu mengenai tanggungjawab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar