Bukan pencitraan, tapi bukti
nyata. Bagaimana caranya? Sangat mudah kalau memang punya tekad. Di setiap kampung
pasti ada orang atau figur yang dipercaya selama bertahun-tahun sebagai orang
baik. Masyarakat memepercayainya bukan karena orang tersebut mencalonkan diri
dan mencintrakan diri sebagai orang baik. Akan tetapi, masyarakat mengenalnya
dari kehidupa sehari-hari yang tidak direkayasa.
Orang seperti itu pasti ada. Kalau
ingin memilih pemimpin, caranya cukup menunjuk orang tersebut. Misalnya pada
Pemilihan Umum, tidak perlu melalui partai politik. Setiap orang bebas memilih
siapapun yang dianggap baik. Bebas terbuka dan bukan bebas rahasia.
Setiap warga negara sudah
memiliki KTP. Jadi, mereka bisa memilih dengan menggunakan nomor yang ada di KTP masing-masing sehingga tidak memilih dua kali. Dan itu bisa dilakukan di manapun tanpa harus pulang kampung.
Hubungan antar manusia yang terjadi masyarakat, seperti: dosen dan mahasiswa, kyai dan santri, tetangga sekitar, imam dan makmum, penjual dan pembeli/pelanggan, semua itu lebih erat dibandingkan dengan hubungan antara parpol dengan keseluruhan wargan negara Indonesia. Jadi, kalau harus mempercayai seseorang untuk memimpin, maka syaratnya harus mengenal. Tapi selama ini kita memilih seseorang tanpa mengenal kecuali melalui media massa. Padahal hubungan kita dengan orang-orang yang kita kenal lebih menjamin keamanan hak-hak kita sebagai warga negara.
Memilih kepala negara atau orang yang diamanati untuk mewakili rakyat-kalau memang ingin demokrasi-maka caranya adalah demikian. Kalaupun yang terpilih ternyata tidak mampu memimpun, paling tidak, cara memilihnya sudah benar.
Hubungan antar manusia yang terjadi masyarakat, seperti: dosen dan mahasiswa, kyai dan santri, tetangga sekitar, imam dan makmum, penjual dan pembeli/pelanggan, semua itu lebih erat dibandingkan dengan hubungan antara parpol dengan keseluruhan wargan negara Indonesia. Jadi, kalau harus mempercayai seseorang untuk memimpin, maka syaratnya harus mengenal. Tapi selama ini kita memilih seseorang tanpa mengenal kecuali melalui media massa. Padahal hubungan kita dengan orang-orang yang kita kenal lebih menjamin keamanan hak-hak kita sebagai warga negara.
Memilih kepala negara atau orang yang diamanati untuk mewakili rakyat-kalau memang ingin demokrasi-maka caranya adalah demikian. Kalaupun yang terpilih ternyata tidak mampu memimpun, paling tidak, cara memilihnya sudah benar.
Misalnya, warga datang ke TPS
kemudian satu-persatu menyatakan pilihannya. Terserah memilih siapa yang
dianggap baik. Yang terpilih nantinya
adalah yang paling banyak suaranya.
Di desa A misalnya, ada orang
yang bernama Agan. Satu desa mengenalnya sebagai orang baik. Dari satu desa
kemudian satu kecamatan akan mengenalnya sebagai pemimpin yang baik. Dari satu
kecamatan kemudian ke kabupaten. Dan begitu seterusnya.
Beginilah metode pemilihan umum
yang seharusnya. Hemat biaya, tanpa perlu kampanye apalagi pencitraan dan
pembuatan baleho-baleho. Betapapun demokratisnya, cara tersebut tetap tidak
mampu mencerdaskan masyarakat karena masyarakat hanya menjadi sasaran.
Berbeda dengan cara yang sudah
saya paparkan di atas. Cara tersebut lebih sesuai dengan tradisi yang sudah
mengakar di masyarakat. Cara tersebut terjadi dalam berbagai acara yang
tersenggara dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti tahlilan, imam
sholat di masjid atau musholla. Semua itu lebih murni dibandingkan dengan apa
yang terjadi dalam Pemilu selama ini.
Pemimpin adalah orang yang malu
untuk mencalonkan diri. Apalagi dengan mengeluarkan banyak uang untuk menjadi
yang terpilih. Namun system yang sudah terlanjur berjalan telah berhasil
menyerang cara berpikir masyarakat luas sehingga sesuatu yang salah pun
dianggap biasa-biasa saja.
Bagi yang ingin berpolitik dengan
alasan ingin mengabdi untuk rakyat, saya ingin bertanya: benarkah berniat untuk
mengabdi kepada rakyat? Kalau memang ingin mengabdi kenapa tidak menggunakan
cara yang sudah ada dan dipraktekkan oleh masyarakat (seperti dalam acara
Tahlilan misalnya)?
Tradisi blusukan yang sering kita
saksikan saat ini adalah contoh bagaimana seseorang ingin melakukan hipnotis
terhadap masyarakat agar memilihnya. Padahal, blusukan yang benar-benar
blusukan adalah tidak tertangkap oleh kamera. Blusukan adalah kehidupan sehari-hari,
bukan yang tertangkap oleh wartawan.
Tanpa parpol pun sebenarnya kita
mampu untuk memilih pemimpin secara bebas dan terbuka, bukan bebas rahasia. Terbuka
berarti bebas, kalau rahasia berarti tidak bebas.
Kalau memang memilih itu bebas
dan demokratis, seharusnya tidak melalui parpol. Karena dengan melalui tokoh
yang dicalonkan parpol, pilihan kita hanya terbatas pada apa yang suguhkan. Padahal
di luar itu banyak orang-orang baik yang lebih membuktikan dirinya sebagai
orang baik dan dikenal di masyarakat tanpa proses pencitraan, tapi karena
masyarakat menjadi saksi selama bertahun-tahun atas kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar