Sabtu, 21 Desember 2013

Memilih Pemimpin




Bukan pencitraan, tapi bukti nyata. Bagaimana caranya? Sangat mudah kalau memang punya tekad. Di setiap kampung pasti ada orang atau figur yang dipercaya selama bertahun-tahun sebagai orang baik. Masyarakat memepercayainya bukan karena orang tersebut mencalonkan diri dan mencintrakan diri sebagai orang baik. Akan tetapi, masyarakat mengenalnya dari kehidupa sehari-hari yang tidak direkayasa.

Orang seperti itu pasti ada. Kalau ingin memilih pemimpin, caranya cukup menunjuk orang tersebut. Misalnya pada Pemilihan Umum, tidak perlu melalui partai politik. Setiap orang bebas memilih siapapun yang dianggap baik. Bebas terbuka dan bukan bebas rahasia.

Setiap warga negara sudah memiliki KTP. Jadi, mereka bisa memilih dengan menggunakan nomor yang ada di KTP masing-masing sehingga tidak memilih dua kali. Dan itu bisa dilakukan di manapun tanpa harus pulang kampung.

Hubungan antar manusia yang terjadi masyarakat, seperti: dosen dan mahasiswa, kyai dan santri, tetangga sekitar, imam dan makmum, penjual dan pembeli/pelanggan, semua itu lebih erat dibandingkan dengan hubungan antara parpol dengan keseluruhan wargan negara Indonesia. Jadi, kalau harus mempercayai seseorang untuk memimpin, maka syaratnya harus mengenal. Tapi selama ini kita memilih seseorang tanpa mengenal kecuali melalui media massa. Padahal hubungan kita dengan orang-orang yang kita kenal lebih menjamin keamanan hak-hak kita sebagai warga negara.


Memilih kepala negara atau orang yang diamanati untuk mewakili rakyat-kalau memang ingin demokrasi-maka caranya adalah demikian. Kalaupun yang terpilih ternyata tidak mampu memimpun, paling tidak, cara memilihnya sudah benar.

Misalnya, warga datang ke TPS kemudian satu-persatu menyatakan pilihannya. Terserah memilih siapa yang dianggap baik.  Yang terpilih nantinya adalah yang paling banyak suaranya.

Di desa A misalnya, ada orang yang bernama Agan. Satu desa mengenalnya sebagai orang baik. Dari satu desa kemudian satu kecamatan akan mengenalnya sebagai pemimpin yang baik. Dari satu kecamatan kemudian ke kabupaten. Dan begitu seterusnya.

Beginilah metode pemilihan umum yang seharusnya. Hemat biaya, tanpa perlu kampanye apalagi pencitraan dan pembuatan baleho-baleho. Betapapun demokratisnya, cara tersebut tetap tidak mampu mencerdaskan masyarakat karena masyarakat hanya menjadi sasaran.

Berbeda dengan cara yang sudah saya paparkan di atas. Cara tersebut lebih sesuai dengan tradisi yang sudah mengakar di masyarakat. Cara tersebut terjadi dalam berbagai acara yang tersenggara dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti tahlilan, imam sholat di masjid atau musholla. Semua itu lebih murni dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam Pemilu selama ini.

Pemimpin adalah orang yang malu untuk mencalonkan diri. Apalagi dengan mengeluarkan banyak uang untuk menjadi yang terpilih. Namun system yang sudah terlanjur berjalan telah berhasil menyerang cara berpikir masyarakat luas sehingga sesuatu yang salah pun dianggap biasa-biasa saja.

Bagi yang ingin berpolitik dengan alasan ingin mengabdi untuk rakyat, saya ingin bertanya: benarkah berniat untuk mengabdi kepada rakyat? Kalau memang ingin mengabdi kenapa tidak menggunakan cara yang sudah ada dan dipraktekkan oleh masyarakat (seperti dalam acara Tahlilan misalnya)?

Tradisi blusukan yang sering kita saksikan saat ini adalah contoh bagaimana seseorang ingin melakukan hipnotis terhadap masyarakat agar memilihnya. Padahal, blusukan yang benar-benar blusukan adalah tidak tertangkap oleh kamera. Blusukan adalah kehidupan sehari-hari, bukan yang tertangkap oleh wartawan.

Tanpa parpol pun sebenarnya kita mampu untuk memilih pemimpin secara bebas dan terbuka, bukan bebas rahasia. Terbuka berarti bebas, kalau rahasia berarti tidak bebas.

Kalau memang memilih itu bebas dan demokratis, seharusnya tidak melalui parpol. Karena dengan melalui tokoh yang dicalonkan parpol, pilihan kita hanya terbatas pada apa yang suguhkan. Padahal di luar itu banyak orang-orang baik yang lebih membuktikan dirinya sebagai orang baik dan dikenal di masyarakat tanpa proses pencitraan, tapi karena masyarakat menjadi saksi selama bertahun-tahun atas kehidupannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar